Sebuah Pengkhianatan
PERS, pada mulanya lahir dari kebutuhan untuk saling tahu apa yang terjadi dan saling menukar informasi. Tanpa kepentingan berkuasa dan kaya, suatu peristiwa atau kejadian secara sengaja disebarkan berupa ca-tatan-catatan singkat. Tapi, dalam perkembangannya, ketika urusan saling tukar informasi itu ternyata berpotensi ekono-mis, maka jadilah media
Pers, yang adalah kegiatan ko-munikasi, baik yang dilakukan dengan media cetak maupun media elektronik seperti radio, televisi maupun internet, dalam perkembangannya, ternyata memiliki potensi yang luar biasa dalam mempengaruhi publik se-cara massal dan massif. Pers mampu membuat opini publik dan mempengaruhi publik da-lam memandang dan melakukan tindakan terhadap sesuatu. Bahkan, sebuah kebohongan rezim (penguasa) yang diberita-kan secara asal-asalan oleh me-dia bisa menjadi “kebenaran” beberapa waktu lamanya bagi publik. Pers di Indonesia di za-man Orde Baru barangkali bisa membuktikan betapa kekuatan pers itu untuk dapat menjadi alat penguasa untuk mencuci otak rakyatnya. Pada wujudnya yang kini, pers sarat dengan ke-pentingan modal dan kepenti-ngan penguasa. Dengan demi-kian, berita atau informasi yang disebarluaskan oleh koran, radio, televisi maupun internet, ti-dak lagi berupa fakta yang diproduksi dalam bentuk berita untuk diketahui orang banyak. Berita, pada telah sarat dengan muatan kepentingan pemilik modal dan penguasa.
Eriyanto dalam bukunya Ana-lisis Wacana: Pengantar Ana-lisis Teks Media (Yogyakarta, LKiS: 1999) memakai paradigma kritis untuk menganalisis wa-cana yang dibentuk oleh media. Paradigma kritis ini, tidak per-tama-tama hanya melihat berita itu sebagai hasil produksi ter-akhir dari kerja jurnalistik se-buah media, tapi juga “… mene-kankan konstelasi kekuataan yang terjadi pada proses pro-duksi dan reproduksi makna.” Paradigma kritis sangat perca-ya bahwa konteks sosial, eko-nomi, politik dan budaya sangat mempengaruhi kerja produksi berita oleh sebuah media. Kare-na begitu, opini atau wacana publik yang terbentuk dari kerja jurnalistik sebuah media, dilihat sebagai proses atau usaha men-dominasi atau menghegemoni oleh kelompok dominan (kapita-lis dan penguasa) terhadap kaum lemah, yaitu rakyat.
Dengan memakai pendekatan paradigma kritis ini, kita akan tahu bahwa media
Sebuah perusahaan pers adalah salah satu institusi sosial di masyarakat kita yang penuh de-ngan pertentangan kelas. De-ngan demikian seorang warta-wan/reporter yang bekerja di se-buah perusahaan pers juga be-rada di dalam sebuah komunitas yang terbangun dari struktur-struktur kelas yang berbeda dan berusaha saling mendominasi. Seorang wartawan/reporter ber-ada di struktur paling bawah dalam sebuah perusahaan pers, ia tentu jauh di bawah dari pemi-lik perusahaan. Dan seorang pe-mimpin redaksi tentu sedang menjalankan apa yang diingin-kan oleh sang pemilik modal. Se-orang pemred, tentu secara struktur berada di atas beberapa orang redaktur. Dan akhirnya, wartawan yang berada di stru-ktur paling bawah dalam sebuah perusahaan pers tidak sedang bekerja (meliputi dan menulis berita) sebagaimana ia seorang yang bebas dan berdaulat pada kerjanya. Seorang wartawan dalam struktur modal seperti itu tak lebih dari seorang pesuruh untuk melayani keinginan pemi-lik modal. Dengan begitu, berita yang diliput dan ditulisnya tentu adalah berita pesanan sang pe-milik untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Berita media pun menjadi bias dari fakta yang sebenarnya.
Pers di Manado: Sebuah Contoh Kasus
Di zaman pra kemerdekaan, dan orde lama, pers terutama berfungsi sebagai alat propaganda melawan penjajah. Meski tidak independen dan objektif, tapi pers di zaman ini lebih berarti dibanding pers di zaman orde baru. Di zaman rezim Soeharto pers benar-benar di bawah tekanan penguasa. Perusahaan pers yang coba-coba kritis dan tidak sejalan dengan kebijakan politik rezim harus siap-siap dibredel. Kebebasan pers dikekang memang. Hanya dua perusahaan pers yang hidup senang waktu itu, TVRI dan RRI. Dua media inilah yang dipakai rezim untuk mencuci otak rakyatnya. Media
Reformasi 98 sebenarnya telah memberi angin segar bagi kebe-basan pers. Salah satu buah dari reformasi adalah terjaminnya kebebasan pers untuk bisa berfungsi sebagai alat kontrol, alat pendidikan dan alat hiburan.
Namun, seperti kuda yang lepas dari kandangnya setelah lama dikurung, pers di zaman refor-masi agaknya harus mengalami euforia menikmati kebebasan yang lama dirindu itu. Berbagai macam perusahaan pers, televisi, radio,
Sejumlah televisi swasta yang hingga sekarang telah menjadi akrab dengan publik kita, beberapa di antaranya adalah milik pemilik modal yang juga punya kepentingan dengan kekuasaan. Yang lainnya, meski murni sebagai pengusaha, tapi karena itulah yang sehingga berita atau informasi yang disebarluaskan kepada publik sangat komersil sifatnya. Dan, televisi swasta nasional tersebut, kebanyakan sifatnya sentralistik nilai terhadap daerah-daerah yang ada di Nusantara ini.
Dalam konteks Sulut, sekitar 8
Sama dengan media nasional, media lokal pun di zaman refor-masi ini, kepemilikannya akhir-nya jatuh kepada pemilik modal yang juga berkepentingan de-ngan kekuasaan politik dan yang lainnya murni sebagai peng-usaha media. Pers lokal pun akhirnya tak berproses dengan idealisme persnya karena selain berada di bawah tekanan pemilik modal yang sudah tentu mencari untung, tapi juga tekanan kepentingan politik, baik dari pemilik perusahaan pers yang terkait dengan politik kekuasaan maupun dari pemerintah yang sangat berkepentingan dengan kekuatan massif pers.
Selingkuh antara pers, modal dan kekuasaan terjadi karena pers disadari memiliki potensi yang luar biasa untuk memengaruhi secara massal publik atau rakyat. Dengan begitu, pemilik modal bisa menjadikan pers alat untuk mendapatkan keuntungan, dan penguasa memerlukan pers untuk mencari popularitas dan sebagai sarana kampanye kamuflase politik.
Berikut, di era sekarang ini ketika Pilkada menjadi marak, maka urusan popularitas dan kekuasaan, kadang menjadi urusan satu dua orang politisi saja, dan orang-orang itu rata-rata punya kekayaan yang lebih. Begitupula bagi kepala daerah hasil pilsung yang akhirnya menjadikan institusi pemerin-tahan mirip perusahaan pribadi. Pemerintah daerah akhirnya membutuhkan sarana atau media untuk kampanye, pencitra-an dan penyebaran kamuflase-kamuflase politiknya.
Nah, perusahaan pers yang sejak awalnya hadir untuk mem-peroleh keuntungan melihat ini sebagai peluang yang tidak boleh disia-siakan. Maka, pada ujungnya selain berfungsi memburu dan menulis berita, wartawan atau reporter di masing-masing biro peliputan kabupaten dan
Akibat dari proses jurnalistik yang tidak benar ini, maka yang terjadi adalah pembodohan terhadap publik secara massif. Berikut, di tengah kebodohan itu rakyat pun kehilangan daya kritisnya untuk menilai kerja para pemimpinnya. Selanjutnya, kemiskinan akan semakin lestari, penggusuran dan eksploitasi terjadi berulang, seperti ritual untuk sebuah kematian massal. Pers sekarang ini sudah kehilangan orientasinya untuk fungsi kontrol, dan pendidikan bagi usaha pencerdasan rakyat. Untuk melawan ini, kita perlu memikirkan pers alternatif yang kritis, dan berpihak kepada rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar