Kembali ke Halaman Utama

Kembali ke Halaman Utama
Klik Gambar ini

Selasa, 26 Agustus 2008

Dusta di Energi yang Tak Lagi Milik Kita

Oleh Daniel Kaligis


KEMELARATAN energi dalam kabar di media tiga dimensi, disebut sebagai upaya untuk mengikuti trend harga energi di tingkat dunia dan keinginan untuk menyetarakannya dengan harga yang berlaku di negara kita. Walau kini harga minyak dunia lagi turun, namun, itulah, kabar kita kemarin menyinggung harga elpiji yang terus meroket. Beberapa bulan silam, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, ketika menerima utusan khusus perdagangan dan investasi kerajaan Inggris, Pangeran Andrew, di Istana Wapres, Jakarta, menyampaikan bahwa harga gas yang diminta harus mengikuti fluktuasi harga gas dunia. Inilah yang terus disadur media untuk membenarkan kenaikan harga yang terjadi di mana-mana.

Energi sering terbuang percuma, kenyataan yang bergelut bersama nasib jutaan orang miskin di seluruh dunia. Alasan yang selalu disodor terlampau jauh dari kenyataan dan sudah sangat miring membelokkan soal tentang kemelaratan yang bersumber dari sistem. Sudah kita ketahui yang mana tata kelola bahan mineral Indonesia masih carut marut. Dari mulai penetapan perusahaan pengelola yang sebagian besar perusahaan asing, kontrak kerja yang tidak adil dan cendrung merugikan negara kita, penetapan harga gas yang tidak sesuai dengan harga gas dunia, kebijakan ekpor gas yang berlebihan, dan kebijakan Undang-Undang Migas yang merugikan Indonesia.

Namun, coba perhatikan apa sebenarnya yang dilakukan di negeri ini dengan cadangan energi yang tersisa di perut bumi kita. Ekspor gas Indonesia berdasarkan jenis pada 2002, berupa LNG sebesar 1.656.472 MSCF (66,12 persen), LPG 2.474 MSCF(0,10 persen), pipanisasi ke Singapura 82.619 MSCF (3,30 persen) dan sisanya untuk kebutuhan dalam negeri. Nilai ekspor LNG pada 2002 mencapai US$5,595 miliar, kontrak ekspor LNG Indonesia periode 1999-2007 mencapai 29,46 miliar metrik ton, realisasi ekspor hingga kini 3,51 metrik ton. Data 2002 menyebutkan, 69 persen produksi gas Indonesia diekspor ke luar negeri dalam bentuk LNG, LPG dan distribusi gas melalui pipa (ke Singapura).

Dalam kelangkaan sumber-sumber energi dunia saat ini, baik itu kenaikan harga gas alam, kenaikan harga minyak dunia, batu bara, panas bumi dan sumber-sumber lainnya yang secara umum mengalami kenaikan luar biasa. Kita masih berada di titik lupa, padahal negara kita merupakan penghasil gas terbesar di dunia, bahkan ada ahli yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia tidur di atas gas bumi dan panas bumi.

Ini ada sebuah contoh pembenaran dengan argumen yang terlihat berpihak rakyat. “Pemerintah akan mengizinkan penambahan investasi di Proyek LNG Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat. Namun, Pemerintah akan meminta sejumlah syarat yang lebih menguntungkan bangsa Indonesia, yaitu dengan meninjau harga gas alamnya.” Segalanya seperti bersyarat bagi mengentas melarat, tapi melarat itu tak mau juga usai. Data dari BPPT, sesungguhnya produksi gas dalam negeri lebih banyak dijual ke pasar internasional melalui mekanisme ekspor. Data ini menyebut ekspor gas yang dikemas dalam bentuk LNG menyapurata hampir seluruh produksi gas di negara kita.

Alasan yang tepat mengapa kemelaratan itu tetap bersarang di Indonesia. “Hasil produksi gas perusahaan-perusahaan gas seperti PT Arun (Aceh) dan PT Badak (Bontang). Pada 2000 lalu produksi Arun mencapai 6.706.100 metrik ton, jumlah yang diekspor mencapai 6.747.000 metrik ton. Ladang gas Badak, berproduksi mencapai 20.614.900 metrik ton pada tahun 2000. Sebagian besar produksi dialokasikan untuk kepentingan ekspor, mencapai 20.243.100 metrik ton, rata-rata produksi pada tahun-tahun berikutnya tetap bertahan sampai tahun 2008 ini. Setidaknya data 2002 menyebutkan ekspor mencapai 6.249.700 metrik ton dari total produksi ladang gas Arun yang mencapai 6.242.600 metrik ton. Sedangdkan ladang gas Badak berproduksi hingga kisaran 19.942.200 metrik ton, namun kapasitas ekspornya melampaui produksi mencapai 19.964.800 metrik ton.” (http://tim-ti-waykanan.blogspot.com).

Layaknya gudang yang maha besar, negara kita adalah gudang persoalan. Dari yang masih dalam perut, hingga mereka yang sudah dalam liang kubur masih menyisakan soal bagi yang ia tinggalkan.

Masih tentang krisis enegri. Issue yang memang lagi mengemuka dewasa ini ialah menipisnya persediaan bahan bakar fosil, tetapi, kandungan perut bumi akan terus dieksploitasi guna menjawab kebutuhan energi bagi industri dan rumah tangga.

Kwik Kian Gie, pernah membahas tentang negara kaya yang menjadi miskin kembali karena terjerumus ke dalam mental kuli yang oleh penjajah Belanda disebut mental inlander. “Mental para pengelola ekonomi sejak 1966 yang tidak mengandung keberanian sedikit pun, yang menghamba, yang ngapurancang ketika berhadapan dengan orang-orang bule. Ibu pertiwi yang perut buminya mempunyai kandungan minyak sangat besar dibanding kebutuhan nasionalnya, setelah lebih 60 tahun merdeka hanya mampu menggarap minyaknya sendiri sekitar 8 persen. Sisanya diserahkan kepada eksplorasi dan eksploitasi perusahaan-perusahaan asing. Apa pekerjaan dan sampai seberapa jauh daya pikir para pengelola ekonomi kita sejak merdeka sampai sekarang?”

Dalam bahasannya yang bertajuk Terjajah ExxonMobil di Cepu, mantan Menteri Negara PPN dan Kepala Bappenas itu menyinggung tentang posisi tawar Indonesia di masa orde lama. “Istana Bung Karno dibanjiri para kontraktor minyak asing yang sangat berkeinginan mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak bumi di Indonesia. Bung Karno menugaskan Chairul Saleh supaya mengizinkannya hanya sangat terbatas. Putrinya, Megawati, bertanya kepada ayahnya, mengapa begitu? Jawaban Bung Karno kepada putrinya yang baru berumur 16 tahun, “Nanti kita kerjakan sendiri semuanya kalau kita sudah cukup mempunyai insinyur-insinyur sendiri.”

Kita terus mengumumkan bimbang, negara kaya. Seperti kata-kata dari surga yang mana, enegri dan segala teori kemakuran berbenturan dengan kenyataan bahwa semua sudah tergadai, dan kita tetap melarat, terusir, serta cuma punya dengkul berotak untuk menyembah ‘penguasa dunia’ yang sudah meratatanahkan segala keterampilan adat.

Kita tak mungkin membalik realita untuk kembali ke orde yang sudah berlalu itu. Namun, di masa sekarang, kita tentu layak memikirkan alternatif energi yang mampu dijangkau rakyat. Salah satu yang dapat kita buat di daerah kita yaitu bagaimana menggantikan ‘listrik yang tidak bersahabat’. Karena kebutuhan energi menjadi penting, dan manusia tak sekedar sejahtera ketika telah terpenuhi kebutuhan dasarnya yang berupa kecukupan mutu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan dasar lainnya seperti lingkungan yang bersih, aman dan nyaman.

Masih ada saja kebutuhan yang menyusul ketika suatu kebutuhan terpenuhi, dan untuk itulah kiat berhemat memang sudah semestinya terus dikumandangkan, caranya yaitu pembatasan kontrak dengan asing yang hanya memanjangkan tali kemelaratan di negara ini dan di muka bumi. Dan memang sudah saatnya dan sudah sepantasnya perlu ada implementasi kebijakan yang revolusioner ke arah inovasi energi nonmigas. Ketakutan dunia selama ini yang berhembus hanya karena ada negara yang ingin menguasai energi secara monopoli, dengan demikian ia merasa layak “murka” bila ada saingannya.

Tidak ada komentar: