Kembali ke Halaman Utama

Kembali ke Halaman Utama
Klik Gambar ini

Jumat, 26 September 2008

Menanti Janji Kaya di Masa Depan

Oleh Daniel A Kaligis

[www.kabarindonesia.com]


LETUP bom bunuh diri, kedasyatan yang mewakili irama kematian karena mesin pembasmi mencari mangsa mereka yang diincar keberingasan. Oh betapa secerca harapan dari puing-puing krisis berkepanjangan, yang menguatkan suara kelaparan dan kekurangan gizi di banyak lokasi, daya beli terpuruk, kekerasan dalam pemaksaan kehendak menumpukkan lebih banyak lagi persoalan sosial di muka bumi ini. Dana berbandrol miliaran terkucur untuk sedih yang tak berujung, tapi tangis tak berakhir, tawa mereka yang berpesta atas nama demokrasi sudah mencuatkan kegusaran yang tinggi di andrenalin ragu-ragu, sebab hukum terbeli bukan cuma perkara moral dan kebiasaan belaka. Tanyakan berapa banyak lagi pemekaran yang diumumkan untuk melaksanakan “panas” suara hati yang terbeli. Kita masih sok religius membisikan ketertindasan sistem, dan kenyataan derita selalu dipelintirkan show debat publik yang menggelitik ketersinggungan. Sumbu api ditarik dari kompor demokrasi berbingkai tirani. Ia sudah lama menyala, dan titiknya semakin memanas.

Padamkan arti kebimbangan. Bila sejenak satu bumi hening apalagi tanpa gerak dan diam, maka, seperti itu terobosan panas matahari akan melenyapkan semesta kita. Seiring letup petaka, masih ada yang tersumbat menghambat alir. Sampah-sampah berserakan di mana-mana. Tapi, kita menatap kegentingan issue yang berseliweran dalam proposal masa depan. Infrastruktur terbengkalai, ketiadaan mengumumkan pesona mimpi. Di sini kota menjadi janji abadi. Negeri dibelit kusut benang sejarah seakan hari ini masih kemarin bersama sejuta teori kemakmuran. Sorot cahaya untuk persoalan hari ini mendekam dalam kebisuan transparansi dan informasi tersumbat laksana drainase di kota kita. Pakar ekonom negeri kita di masa lampau diberi beasiswa untuk melanjutkan studi pascasarjana di negara adi kuasa. Mereka lalu getol mempelajari ‘ilmu pembangunan’ yang dalam dekade 1950 hingga 1960-an ilmu itu sedang populer, antara lain ilmu ekonominya Rostow, “5-Stages of Economic Growth”. Ini tingkatannya: tahap tradisional, persiapan untuk tinggal landas, tinggal landas, tahap matang, dan tahap konsumsi massal. Ilmu ekonomi pembangunan ini kemudian disebarkan dan merasuk hingga detik ini di masyarakat yang doyan mimpi. Sayang, hingga sekarang kita belum juga ‘tinggal landas’. Kita kandas oleh guratan hari penuh issue dan janji gombal pembangunan. Menjadi kota yang diwisatai karena sudah ada banyak orang yang boleh bicara dengan bahasa itu-itu saja, dipaksakan issue yang itu-itu saja, dan ditanyai menyangkut yang itu-itu saja. Sehingga setiap isi gedung menyuarakan bahasa yang itu-itu saja supaya boleh dibilang loyal pada atasan dan bisa terima bantuan yang luar biasa. Ini akan menjadi “bom waktu” kemerosotan idea dan kreasi di masa akan datang.

Peta kita dibom investasi. Sejurus ilmu penunda lapar, supaya rakyat tahu bahwa ada kepastian bagi masa depannya yang akan dijual. Sumbu persoalan ekonomi sudah dipendekkan dengan hilangnya subsidi. Dengan demikian, ketergantungan akan memainkan perannya dalam opera zaman ini. Tidak! Kita masih kaya sumberdaya alam. Ini silsilah yang pernah dituliskan beberapa tahun silam tentang milik kita itu, yang mana “selama lebih dari tiga puluh tahun Caltex sudah menambang dua lapangan minyak terbesar di Asia Tenggara, lapangan Minas dan Duri di Riau yang pernah diselamatkan marinir dan RPKAD pada tahun 1958. Mobil Oil sudah hampir menghabiskan lapangan gas Arun di Aceh. Perusahaan migas Total dari Perancis menambang di Delta Mahakam. Lebih dari 90 persen produksi minyak dan gas Indonesia dilakukan oleh perusahaan asing. Migas itu kemudian dieksport, sebagian besar ke Jepang, Korea dan Taiwan.”

Kita masih kaya. Pada tahun 1990-an diprediksi keuntungan bersih perusahan migas mencapai sekitar lima juta dolar per hari. Minyak dan gas Indonesia, sebagian besar dari Pulau Sumatra, sudah berhasil dipakai mengembangkan industri Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Tahun 2000, “katanya” minyak Indonesia tidak bisa lagi dieksport karena hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hanya beberapa saat lalu sudah ada perjanjian untuk gas padat kembali dieksport ke luar negeri. Juga pada era 2000-an gas Indonesia di dekat Pulau Natuna, sudah mulai dikerjakan Exxon. Kontrak pengembangan lapangan gas Natuna ditandatangani ketika presiden Clinton yang berkunjung dalam rangka APEC beberapa tahun silam. Keuntungan dari penggalian barang tambang seperti di Freeport misalnya, dan dari penebangan hutan Kalimantan juga sudah mengalir ke perusahaan-perusahaan Amerika Serikat, Jepang, Korea atau Taiwan. “Tenaga buruh Indonesia dipakai untuk mendatangkan keuntungan bagi konglomerat Barat dan partner lokal mereka.” Betapa kita kaya?

Barisan gusar menyemut di mana-mana tempat. Menanti janji kaya masa depan. Cerita di atas hanya peran membingungkan yang dipertahankan sampai kebenaran membuka tirai misteri kematian tanpa alasan jelas di muka bumi kita ini. Bahwa, ada petaka yang sementara dirancang demi ketidakadilan yang langgeng di bumi berdosa ini, dan ketamakan adalah sumbu dari perkara ini.(*)


Tanah Minahasa, 2008

Senin, 22 September 2008

Desa, Negara dan Partai Politik di Indonesia

Oleh Denni Pinontoan


Sungguh menarik ketika menyaksikan program siaran Debat Partai di TVOne (Kamis, 5 September) yang menghadirkan Partai Bintang Reformasi (PBR) dan Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK). Salah satu topik menarik yang didebatkan oleh dua partai itu melalui masing-masing juru bicara adalah soal eksistensi desa. Masing-masing pembicara berbicara seolah-olah paham benar tentang persoalan ribuan desa di Indonesia. Tapi, itu kan debat partai, jadi yang ditampilkan adalah retorika yang kosong dan justru berbahaya bagi sekitar 70 persen rakyat Indonesia yang hidup di pedesaan.

Tapi sebenarnya bukan hanya dua partai itu yang “menjual” isu desa yang hanya membohongi rakyat. Prabowo dalam iklan kampanye di sejumlah TV swasta nasional juga menjual isu yang sama. Bagus iklannya, karena sebelum mengungkap janji-janji manis untuk rakyat, Prabowo - yang sekarang sudah kentara menggunakan Partai Gerindra untuk berusaha menjadi presiden – terlebih dahulu menjelaskan sejumlah keprihatinan yang menimpa kebanyakan rakyat di Indonesia. Materi kampanye ini bahkan diperkuat dengan kapasitasnya sebagai ketua Himpunan Keluarga Tani Indonesia (HKTI). Tapi, menurut saya, dengan iklan itu Prabowo juga melakukan pembenaran diri. Pertanyaannya, selama menjabat ketua HKTI, apa yang telah diperbuat oleh Prabowo untuk memperkuat posisi hidup rakyat petani dan nelayan yang kebanyakan hidup di pedesaaan? Apakah ada sesuatu perubahan di Tanah Minahasa ini atas jasa dari Prabowo?

Tapi, begitulah yang harus terjadi. Namanya juga iklan dan kampanye. Yang terjadi memang adalah jual kecap. Seribu janji manis diucap tanpa beban. Laksana seorang laki-laki buaya darat mengungkap janji dan cinta kepada seorang gadis belia. Sebenarnya ini tergantung yang digoda (baca: rakyat) mau percaya atau tidak. Kalau percaya, mudah-mudahan saja kita punya keyakinan bahwa kita tidak sedang dibodohi. Kalau tidak percaya, syukur karena ternyata kita sudah pinter dan cerdas menilai.

Desa Sebagai Komunitas Adat

Desa, sejatinya adalah komunitas adat, yang kekuatannya untuk survive antara lain adalah modal sosial, yaitu solidaritas, religiusitas, kepemilikan terhadap sumber daya alam, dan semangat hidup yang tinggi. Masyarakat desa dengan modal sosial yang bersumber dari nilai-nilai dan kearifan budaya menata, mengolah manajemen pemerintahannya secara demokratis, mengelolah sumber daya alam yang berbasis ekologis, berekonomi secara egaliter dan beragama secara inklusif dan tolerir. Itu romantisme kita tentang desa yang sebenarnya di masa-masa yang sudah sangat lampau. Dan desa di awal sejarahnya memang tidak dilahirkan sebagai komunitas politik, sebagaimana misalnya para pendiri negara ini mendirikan Indonesia.

Tapi, proses politisasi dan kapitalisme yang berhasil memperlemah posisi desa dalam rangka politik kekuasaan dan hegemoni akhirnya memang memberangus modal sosial masyarakat desa itu. Rezim orde baru paling berhasil melakukan dominasi atas desa dengan meneruskan kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mengubah pemerintahan desa yang sangat demokratis berbasis kearifan lokal menjadi pemerintahan desa yang feodalistik dan elitis. Institusi desa akhirnya menjadi sruktur paling bawah dalam sebuah negara, yang kemudian membuat warganya menjadi korban pembangunisme dan politik kekuasaan rezim. Sentralisme, hegemoni dan politik kekuasaan negara serta kekejaman kapitalisme, akhirnya telah berhasil membuat desa rapuh dalam berhadapan dengan perubahan zaman. Contoh dekat dengan kita apa yang terjadi di Tanah Minahasa ini. Sekarang ini pemilihan hukum tua, bukan lagi sebagai pesta demokrasi khas Minahasa melainkan telah berubah menjadi seremonial rebut merebut kekuasaan. Orang di wanua, tak lagi menilai kualitas diri seorang calon hukum tua, yaitu Ngaasan, Mawai dan Niatean, melainkan lebih ke soal uang. Siapa yang banyak uang, dia yang punya peluang besar menjadi hukum tua. Apa beda fenomena ini dengan pemilihan calon anggota legislatif di zaman reformasi ini?

Pun, era reformasi yang hadir dengan semangat desentralisasinya tak bisa berbuat banyak untuk memperkuat masyarakat desa. Henk Schutle Nordhlot dan Gerry van Klinken ketika menuliskan Pendahuluan dalam buku Politik Lokal di Indonesia (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, 2007) mengatakan, “Pergeseran dari pemerintahan yang sentralisasi ke pemerintahan desentralisasi tidak sinonim dengan pergeseran dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis, juga tidak secara otomatis mengisyaratkan pergeseran dari negara yang kuat ke negara masyarakat sipil. Melemahnya negara pusat tidak secara otomatis membuahkan demokrasi lokal yang lebih kuat. Sebaliknya desentralisasi di bawah kondisi-kondisi tertentu bisa dibarengi dengan bentuk-bentuk pemerintahan otoriter.”

Artinya, reformasi belum secara otomatis mengangkat derajat hidup rakyat pedesaan di Indonesia. Ini karena yang terjadi di Indonesia adalah reformasi bukan revolusi, yang kalau revolusi sebenarnya lebih kepada usaha melakukan perubahan secara radikal, termasuk sebenarnya sistem negara yang sentralistik dan feodalistik ke sistem pemerintahan yang berbasis daerah dengan keragamannya. Mengapa tidak kalau revolusi itu akhirnya menjadikan Indonesia sebagai negara federal?

Sehingga, kalau memang niat kita tulus untuk membangun desa, maka yang harus dituntaskan pertama adalah model dan paradigma pembangunan negara ini. Desentralisasi memang sementara berlangsung, tapi seperti kata banyak orang bahwa desentralisasi yang berwujud dalam kebijakan otonomi daerah sebenarnya belum sepenuhnya menjadikan daerah sebagai subjek. Yang terjadi memang seperti kepala sudah di lepas, tapi ekor masih dipegang. Buktinya, meski beberapa kebijakan politik sifatnya sudah bottom up, tapi kebanyakan perundang-udangan negara ini masih dalam rangka pemusatan kekuasaan. Kita akhirnya belum bisa mendapatkan partai politik yang berbasis daerah dalam rangka membangun Indonesia. Partai Politik sudah begitu nasibnya, apalagi presiden dan perangkat kabinetnya.

Partai Politik Instrumen Hegemoni Negara

Sehingga, nantinya Pemilu 2009 dan Pilpres 2010 sangat pasti belum bisa memberi harapan perubahan bagi rakyat desa? Ya, karena sentralisme dan hegemoni politik elit masih akan terus ada. Potensi itu sudah bisa kita lihat mulai dari sekarang. Meski katanya sudah desentralisasi, tapi semua instrumen politik kita masih terpusat. Lihat saja, Pengurus Pusat partai politik masih harus di Jakarta. Berikut Presiden masih sangat sulit di luar Jawa dan Islam. Maka dari itu, visi misi partai politik nasional semuanya bersifat sentralistik dan masih menyembah NKRI dengan terus mempercayai doktrin nasionalisme yang buta. Harapan sebenarnya ada kalau Partai Lokal seperti di Aceh juga diberlakukan di semua daerah di Indonesia.

Tapi, begitulah adanya negara. Negara seperti Dewa Janus yang berwajah ganda. Satu sisi katanya untuk kebaikan, tapi sisi lainnya adalah keburukan. Tapi sebenarnya negara bukanlah kenyataan yang objektif. Negara adalah sesuatu yang abstrak, termasuk janji-janji tujuan kesejahteraannya. Institusi negara hanya mereduksi kebebasan manusia untuk berinovasi dan berkreasi menuju pada tujuan hidupnya yang sejahtera. Hukum dan perundang-undangan negara yang sifatnya memaksa itu, akhirnya mengganti kedisiplinan masyarakat adat yang dibangun oleh solidaritas, kepercayaan dan komitmen untuk mencapai tujuan bersama. Sisi baik negara di zaman sekarang ini rupanya hampir sulit kita temukan. Kalau ada yang bicara bahwa negara telah berhasil mengadakan pembangunan dan modernisasi, toh dua hal itu akhirnya harus memakan korban, yaitu alam yang sejuk menjadi gersang dan solidaritas sosial masyarakat adat menjadi individualistik. Buruk juga hasilnya. Di sini relevansi para pemikir anarkhis, yang berusaha menghancurkan esksistensi negara,

Sementara dalam usaha negara mendominsi kesadaran manusia dengan propaganda nasionalismenya, Partai Politik adalah sesuatu yang menjadi kenyataan objektif sebagai alat negara untuk usaha penundukan dan penguasaan selain militer. Tapi, bukankah partai politik alat untuk menyuarakan aspirasi rakyat? Begitu kata mereka. Tapi yang kita lihat dalam prakteknya apa? Bukankah, anggota-anggota dewan di legislatif yang semuanya adalah kader partai akhirnya berselingkuh mesra dengan eksekutif yang membagi-bagi kekayaan milik rakyat. Kalau ada anggota dewan yang berani menentang praktek sesat itu, ia harus bersiap-siap ditendang ke luar sistem itu. Lihat saja, sekarang ini di luar gaji rutin biaya makan, minum, perumahan dan bahkan uang untuk berselingkuh dengan pelacur di hotel rasa-rasanya juga harus dibiayai oleh negara. Sungguh memiriskan!

Tapi sebenarnya problem ini bukan terutama pada manusia-manusianya, melainkan pada struktur yang membentuk si manusia itu. Kita juga harus jujur mengatakan bahwa masih banyak manusia setengah lurus yang berkeinginan memperjuangan hak-hak hidup rakyat melalui partai. Tapi karena partai akhirnya hanya menjadi alat negara yang sentralistik dan hegemonistik untuk penundukkan maka si manusia yang bercita-cita mulia itu harus kalah juga. Partai yang menjadi alat itu pada dasarnya selalu memaksa diri untuk menjadi tujuan. Apa mungkin kita bisa memperjuangkan aspirasi rakyat, kalau menjadi caleg saja kita harus menyetor uang jutaan rupiah kepada partai? Atau, apa bisa kita bicara mengangkat derajat hidup rakyat daerah dan desa, sementara partai-partai kita orientasinya masih Jakarta? Mana mungkin kita berjuang untuk menegakkan HAM sementara Ketua Umum atau Pendiri partai kita pelanggar HAM dan fasis. Mana mungkin kita memperjuangkan hidup damai untuk semua rakyat Indonesia kalau partai kita bercita-cita ingin menguasai negara ini dengan ideologinya yang eksklusif. Apalagi kalau ide kita untuk memperbaiki negara ini dengan sistem federal, sementara sekarang ini tidak boleh ada partai yang memiliki visi dan misi itu.

Ramlan Surbakti (http://www.knaw.nl/indonesia/) sebenarnya telah coba mengindentifikasi sekurang-kurangnya ada tiga kelemahan utama secara internal dan eksternal Partai Politik di Indonesia, yaitu: (1) ideologi partai yang tidak operasional sehingga tidak saja sukar mengidentifikasi pola dan arah kebijakan publik yang diperjuangkannya tetapi juga sukar membedakan partai yang satu dengan partai lain; (2) secara internal organisasi partai kurang dikelola secara demokratis sehingga partai politik lebih sebagai organisasi pengurus yang bertikai daripada suatu organisme yang hidup sebagai gerakan anggota; (3) secara eksternal kurang memiliki pola pertanggungjawaban yang jelas kepada publik.

Akhirnya memang, partai yang berteriak-teriak memperjuangkan rakyat daerah dan desa hanyalah ilusi politik saja. Kecuali, kalau ada kader partai yang menjadi caleg, yang berani menghadapi resiko dan penuh komitmen memperjuangkan hak-hak hidup rakyat desa. Kalau ada caleg begitu, dia yang kita harus dorong bahkan pilih nanti. Tapi sayang, dari ratusan atau bahkan ribuan caleg yang ada di daerah kita ini, hanya satu dua orang yang begitu. Dan kalau ada caleg semacam itu, rakyat mestinya mengawal dia agar tidak jatuh dalam godaan kaya dan berkuasa sendiri, dan perkuat dia menghadapi dominasi partai yang sering berlebihan.

Kampus Fak. Teologi UKIT (YPTK) Tomohon,

Jumat, 5 September 2008

Rabu, 17 September 2008

LARA:

Cerpen Daniel Laligis


"Pergi....pergi...pergi..................

Pergilah Lara,

Air mata sudah kering, semata memandangi kisah tanah kita yang tergadai

Tabung bencimu di negeri seberang"


AKU MEMANGGIL DIA LARA, SEPERTI IA MENYEBUT DIRINYA. Lara baru dari sungai. Tergopoh-gopoh ia memasuki ruang berbatas tiang-tiang bambu berlantai tanah sambil menggendong bungkusan kain yang berisi kain juga. “Kamu habis nyuci pakaian Lara?

Lara tidak menjawab hanya mengangguk. Ia menunduk di perapian, merapatkan kayu bakar sambil meniup-niup mengundang api menyala kembali. Tangan perempuan muda itu cekatan meminggirkan bara yang sudah mulai mengabu. Air yang ia masak sudah mendidih, uap mengepul dari belalai ceret aluminium. Ia merapatkan belanga yang berisi nasi ke dekat api, demikian juga belanga tanah berisi lauk sisa semalam.

Ini kebiasaan Lara saban pagi. Pergi ke pancuran di hulu kuala untuk nyuci dan mandi, sambil membiarkan api menyala di perapian mendidihkan air minum dan memanaskan penganan. Semua dalam perhitungan yang sudah terbiasa ia lakukan. Tangan tak pernah diam. Selepas membenah perapian, Lara mengambil cucian yang tadi lalu menjemurnya di belukar keras yang membatasi ladang dengan kaki gunung. Aku menajamkan pisau dan parang sambil memandangi Lara. Mataku tak lepas dari geliat tubuh perempuan yang sudah empat purnama hidup seatap dengan aku.

Hari ini aku bangun agak siang karena semalam terlalu banyak minum saguer asang di rumah Ukung. Iya, tadi malam aku ingat, bicaraku dengan nada tinggi memperingatkan warga Wanua bahwa hutan sudah dipatok untuk proyek dari pusat, dan kita di Wanua tidak tahu apa yang akan dikerjakan oleh orang-orang yang mengaku pemilik negara ini di hutan itu. Nanti malam masih ada pertemuan lagi di rumah Ukung. Semua laki-laki dewasa warga Wanua diundang. Aku berharap Lara tidak ke sana membantu istri Ukung membagi-bagi kue dan minuman pada peserta rapat. Bila Lara ke sana, rasanya kelaki-lakianku musnah karena aku selalu dicemoh. “Yang baru kawin tidak usah repot-repot ikut rapat, apalagi malam-malam begini...., pulang saja dan langsung tidur biar cepat dapat keturunan.” Oceh inilah yang membuat aku tidak tahan.

Pagi ini ketika ocehan itu mengiang di telinga, aku jadi ingin tidur lagi. Lara masih bergerak-gerak di belukar menebar jemuran, aku membasuh diri dengan air di tempayan lalu kembali bilik pondok di bagian atas menunggu Lara yang sebentar lagi datang untuk menukar pakaiannya yang basah.


* * * * * * *

LADANG SETEKTEK PENINGGALAN MENDIANG ORANG TUA ADALAH JUGA HALAMAN RUMAH KAMI. Aku sengaja membiarkan rumpun bambu dan empat batang klutuk tumbuh di dekat pondok, agar walau angin menderas pondok tetap kokoh. Pondok dibuat agak tinggi, agar dari sana boleh mengintai jalan dan siapa saja yang lewat.

Di ladang ini, di sana-sini kutanami cabe, kunyit, jahe, seledri, kemangi, jagung, dan ketela. Sereh dan talas tumbuh liar di antara rumpun bambu dan di batas-batas ladang, meliar hingga masuk ke pelosok hutan. Panen tak kenal musim. Kemarin aku dan Lara ke kota membawa sekeranjang cabe dan sekitar empat ratus ikat sereh yang dipadu daun kunyit dan daun limau dan kemangi. Bumbu campur ini harganya seribu per ikat. Hasil yang lumayan, apalagi sekarang harga cabe lagi bagus. Kami membawa pulang beberapa lembar pakaian dan uang sebagai ganti jualan hasil ladang.

Tapi, itu sudah silam. Tahun kemarin memang masih lebih baik nasibnya dari hari ini. Aku lebih banyak mengurusi politik di kampung. Semenjak masuk proyek yang katanya ingin menghutankan kembali tanah adat di Wanua, kami lebih banyak berkumpul dan membahas strategi. Waktu banyak sekali yang disita kegiatan itu. Walau dapat uang ketika berkumpul, namun ladang sudah mulai terbiar. Bagaimana aku bisa bangun subuh, sering kami berdiskusi hingga lewat tengah malam. Lara juga ikut berdiskusi, ia malah sekarang sudah berani memprotes jika aku minta tolong untuk mencuci pakaianku. “Kamu juga punya tangan, tangan Lara cuma dua!” Ketus sekali ia sekarang, ia terlihat tidak bernafsu melihat aku, ia malah jadi genit sekali jika mandor proyek datang ke Wanua.


* * * * * * *

SUDAH TIGA BAIT KUNYANYIKAN LANTUN DONCI MAENGKET. Berharap Lara dapat mengingat kenangan sewaktu pacaran. Harum rimba di mana kami berkejaran memacu hari, seakan kembali dalam inspirasiku. Terbayang air menetes satu-satu ketika embun baru dijilati sinar fajar dan aku mengintip Lara menyeruak dari pondok orangtuanya di ujung Wanua. Lara yang mungil empat tahun silam begitu menggemaskan, pun hingga hari ini. Bila ia datang ke pancuran untuk menimbah air atau mandi aku selalu menyempatkan diri untuk menggodanya. Lara....Lara....

“Tongkoran ne wene wailan lakerreeeee, .............koko luri si timeka moooooo.....” Aku melantun donci maengket lebih keras. Saguer asang satu kokok, hampir tandas di ceret plastik.

Lara sudah memutuskan untuk pergi. Semalaman aku membujuk Lara supaya ia memberikan kesempatan di mana aku boleh hidup bersama dengan dirinya. Bersama lagi mengusahakan ladang setetek. Menanam cabe, kunyit, jahe, seledri, kemangi, jagung, dan ketela.

Aku mengulang hayalanku beberapa tahun silam dengan Lara. “Kita akan membangun Wanua. Di tanah ini, kita akan berketurunan dan menjadikan tanah ini sebagai berkat bagi keturunan kita. Setidaknya biarlah kemarin pergi Lara.”

“Tidak! ......Lara perempuan merdeka. Lara juga punya cita-cita bagi tanah ini. Lara harus keluar dari Wanua. Lara akan mencari uang yang banyak dan entah kapan kembali ke sini, Lara belum tahu pasti. Lara akan mengingat semua kenangan.” Lara berbicara seperti singa betina yang lapar. Lara tak tertahan. Pergi....pergi........pergilah!

Minahasa, Januari 07

Sebuah Sikap Bagi Tangan Tengadah

Oleh: Daniel Kaligis

TELAPAK masih menadah. Ada juga tangan-tangan yang mengisyaratkan rela terus memberi. Pada sebuah pedoman yang terdiam jutaan ketika menyebut, “bila tangan kanan memberi, janganlah tangan kiri mengetahuinya”. Tetapi, pemberian yang selalu disebut-sebut sekarang ini adalah sesuatu yang dimaklumi dan supaya diketahui banyak manusia, apalagi ketika dipublikasikan media masssa. Dan memberi yang saat ini sudah membuka sejumlah keresahan, bahkan ada yang terkapar sebelum harapan terkabul.

Saya coba mengutip berita yang disiarkan via layar kaca, demikian juga apa yang dikumandangkan berbagai suratkabar. belumkah hal ini membuat kita tersadar? “Korban tewas pada peristiwa pembagian zakat di Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo Kota Pasuruan, Jawa Timur, Senin (15/9), terus bertambah.” Karena seperti itu pula kabar kemarin menjadi gunda dan diumbar berlebihan. Tanda-tanda darah serupa bendera ditera sebagai peringatan, dan mereka yang bertugas mencari tahu sebab-sebab, memberi kesimpulan sementara terhadap alasan-alasan kematian. Sejauh ini, belum ada pasal-pasal belum dikenakan pada peran berlebihan, selain menyalahkan keadaan.

Takala anda melihat dalam soal yang kemarin itu, menurut anda, siapa yang harusnya jadi penanggungjawab utama dalam eskalasi antara si pemberi dan si penerima? Antara yang punya dan yang hampa? Atau kita akan menyalahkan situasi ketika acara sudah berujung dan sisanya adalah keteledoran yang harus dimaafkan dan dilupakan? Sekarang hanya murung menunggu kejadian berikutnya, bila senyum sudah dipaksakan bagi keraguan-keraguan yang berlanjut. Di sini kita melihat kemunafikan berjalan, berkeliling ke segala tempat, memamerkan tiap senti di tubuhnya yang boleh merampok perhatian.

Ini mungkin salah satu sebab. Menurut IMF, mungkin saja resesi ekonomi dunia itu terjadi apabila pertumbuhan ekonomi global rata-rata berada di bawah 3 persen. Tahun silam, lembaga itu mencatat pertumbuhan ekonomi dunia mencapai 4,9 persen dan diperkirakan melemah menjadi 3,7 persen dan angka revisi baru dari prediksi sebelumnya 4,1 persen yang katanya dapat tercapai pada tahun ini.

Tudung berita, sekelit peristiwa yang jadi catatan sejarah usang adalah kenangan pahit yang masih akan berulang di lain hari. Mendaur resah yang silih berganti di setiap zaman dan peradaban, dan jadi sandungan bagi mereka yang belum berpengalaman dan kurang pengertian. Setelah kejadian ini, ada pertanyaan mendesak namun hanya dapat dijawab hati.

Bagaimana mengurai segala sebab yang sementara dilahap hari ini? “DPR dan MPR hanya simbol belaka. Berita seputar gizi buruk, nasi aking, orangtua mengajak keluarga bunuh diri akibat tekanan ekonomi yang sangat berat tidak pernah bisa menyentuh nalar dan nurani DPR-MPR yang telah terbentengi oleh tembok materialisme. Bukan dampak kenaikan harga BBM yang mereka diagnosa-analisa secara lebih seksama dan menyeluruh bagi kehidupan ratusan juta warga negara, melainkan menuntut kenaikan gaji dan tunjangan mereka sendiri. Memang beginilah nasib republik munafik. Rezim Orba ternyata bukan satu-satunya rezim bobrok di Indonesia karena selama rezim Orba memerintah Indonesia masih bisa berswasembada beras dan tidak terjadi rutinitas antrian minyak tanah. Runtuhnya Orba dulu ternyata memunculkan rezim yang tak kalah rakus dan bengisnya. 100 tahun Kebangkitan Nasional menjelma Kebangkrutan Nasional. Kebangkrutan mentalitas penyelenggara negara hingga seluruh pelosok ruang di republik munafik ini, dan bagaimana dengan rakyat yang telah memilih mereka melalui pesta demokrasi dengan konvoi kendaraan berbahan bakar gratis dan nasi bungkus? Itulah kini yang menjadi tuaian sebagian rakyat yang menjadi simpatisan partai dan capres dengan kampanye berbahan bakar gratis itu.” Sambungan dari kutipan itu ada di paragraf selanjutnya.

Seberapa yang boleh kita beri, janganlah dengan berat hati dan keterpaksaan, agar tingkap-tingkap langit tetap terbuka. Ada yang bersuara setelah menatap realita hari ini dan boleh beroleh sedikit pengertian. Ini sedikit kutipannya yang kritis tentang sebab-sebab kemiskinan. “Pakar harta, pengusaha kelas paus, lembaga kehartaan, lembaga sosial, departemen kekayaan, dan lain-lain pun bisa mahir berbusa-busa bila bicara soal definisi miskin, dan strategi jitu menaklukkan kemiskinan. Data-data valid, teori-teori ampuh, bukti-bukti sahih di luar negeri bahkan ayat-ayat sakti kitab suci pun dipakai sebagai elemen materi pembicaraan, baik dalam skala warung kopi maupun ballroom hotel bintang sejuta di ibukota negara bahkan di ibukota luar negara.” Dan hari ini kemiskinan itu terus saja ditelanjangi. Maka, ia berujar lebih lanjut. “Selama ini angka kemiskinan – yang dikeluarkan lembaga manapun – merupakan angka yang sama sekali jauh dari realitas. Entah secara kriteria, validitas, maupun rekayasa yang keterlaluan. Dan kemiskinan di Indonesia seringkali hanya menjadi semacam obyek mati-kurang gizi yang seenak perut dapat dicabik-cabik di mimbar-mimbar atau seminar-seminar, lantas ditendang langsung ke tong sampah.” Itulah kata-kata Wahono dalam republik munafik.

Segulung soal tentang pemberian. Coba berkaca pada bantuan langsung tunai yang sudah jadi candu kemiskinan dan ketergantungan. Berapa banyak lagi program yang akan kita semai di ladang rakyat dan membekas di otak sebagai kepasrahan? Bait-bait ini hadir untuk kembali menegaskan sebuah sikap yang akan bersahabat dengan siapa saja yang masih bernurani dan sudah memberi sepenuh hati bagi musnahnya kemelaratan dan tumbuhnya kerja keras.(*)



Senin, 08 September 2008

Negara Gagal

Benni E. Matindas*

Menyusul peristiwa rusuh massa yang menimpa para mahasiswa sebuah sekolah tinggi theologi di Jakarta Timur belum lama ini, sebuah stasiun televisi memasukkan warta itu dalam rubrik tetapnya berupa interaksi dengan pemirsa yang memilih sendiri berita yang ingin ditayangkan ulang. Telepon berdering. Dan suara seorang perempuan terdengar memberi salam. Ia seorang ibu, tinggal di Bogor.

Menanggapi peristiwa di STT Setia Arastamar itu, dan peristiwa-peristiwa sejenis yang nyaris rutin, misalnya seorang Camat yang ikut dengan massa yang menuntut penutupan sebuah gereja, si ibu menyimpulkan: “Negara ini sudah gagal!”

Tak ada yang lebih telak, tepat, utama, dan penting, daripada simpulan demikian dalam menanggapi fakta menjadi rutinnya perlakuan tak adil atas kaum minoritas.

Kita sama tahu raison d’etre atau that’s why adanya Negara yang dijelaskan Hobbes dan kemudian disempurnakan oleh banyak pemikir lain termasuk Sumual: Setiap manusia dilahirkan dengan hak asasi; termasuk hak mempertahankan hidupnya dan miliknya dari serangan orang lain. Tapi usaha pertahanan diri itu tak boleh sepenuhnya diserahkan kepada warga, karena demi menjamin keberhasilan pertahanan tersebut setiap orang akan saling curiga, menyerang lebih dulu, membangun kekuasaan sendiri-sendiri tanpa batas, atau mengusahakan bala bantuan sebanyaknya dari luar. Dan itu niscaya menjurus pada bellum omnium contra omnes — perang semua melawan semua. Maka, semua warga itu mengadakan kontrak untuk membentuk satu badan pemegang kekuasaan bersama — yakni Negara — dan memilih pemerintah serta organ lain buat menyelenggarakan negara itu. Fungsi negara yang utama dan minimal adalah menjaga keamanan warga beserta hak-hak mereka, dan harus adil agar kekuasaan itu tak dimanfaatkan kelompok warga lainnya untuk hanya menguntungkan keamanan pihak mereka. Karenanya, negara harus dinilai gagal bila fungsi minimal — keamanan dan keadilan — itu kenyataannya tak tertangani.

Sampai di situ, di tataran konsep, siapapun (termasuk ibu penelepon tadi) setujuan. Tetapi praktiknya yang selalu jadi lain itu semestinya menyadarkan siapapun bahwasanya ada tataran konseptual yang lain lagi, yang selama ini mengarahkan praktikal aktual.

Lain? Ya, misalnya, di tataran “iman”. Di sini ada “perintah agama” yang, walau bertentangan dengan keharusan menjaga keamanan dan keadilan, dinilai “harus ditunaikan”. Amanat agama melampaui harkat hukum negara maupun negara itu sendiri. Dan penghayatan iman serta pengamalannya yang seperti ini bukan saja dalam satu agama tertentu di wilayah negara tertentu. Juga tak hanya di masa tertentu, seperti penyalahgunaan kekuasaan gereja untuk menebar teror dan ketidakadilan di sepanjang Zaman Pertengahan, atau Afghanistan di masa rezim Taliban. Para penganut Budhisme di Thailand dan Srilanka menyesak kaum minoritas Islam dan Hindu. Para penganut Yudaisme di Israel, pada hari Sabath, memukuli orang-orang di jalan yang tidak pergi ke sinagoge. Sejumlah orang Hindu di India berlomba membunuh warga Muslim dan membakar masjid.

Masalah ini hanya dapat selesai secara tuntas bila masyarakat telah mencapai taraf kecerdasan memadai. Lebih cerdas dalam beragama. Lebih tahu mana wujud takwa yang utama di mata Allah, yakni meneladani sifat-sifatNya yang rahmani dan rahimi. Bukan mengutamakan lain-lain berdasar bermacam tafsir manusia. Rahmani dan rahimi, pengasih dan penyayang. Jauh dari laku kekerasan dan ketidakadilan.

Untuk mencapai taraf kecerdasan memadai itu pun adalah fungsi negara. Bukan fungsi minimal, melainkan fungsi ideal — yang seharusnya sudah beres, mengingat kebudayaan homo sapiens ini sudah menggauli negara dan agama selama beribu tahun. Fungsi ideal ini — yang dirumuskan lewat bermacam kata-kata oleh Plato, Al-Farabi, Martin Luther dan Rousseau — masih gagal diperankan negara. Tepatnya: bangsa. Bangsa-bangsa.

Warga bangsa belum pernah berhasil mengajukan konsep negara yang sebenarnya — yang antaranya mengenai fungsi minimal sampai fungsi ideal Negara — sehingga tak pernah bisa mencapai kondisi ideal itu. Yang kendati oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa — melalui International Covenan on Economic, Social and Culture Rights (ICESCR) — sebetulnya sudah pula diabsahkan sebagai kewajiban minimal suatu negara.

Negara harus menjadi lokomotif dari apa yang oleh UUD 45 dirumus “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Termasuk di dalamnya: kehidupan beragama yang cerdas. Lebih mampu mensistematisir ajaran agama — jelas mana inti dan mana implementasi berdasar kondisi situasional, kultural, historis — sehingga lebih ajeg, konsisten, menumbuhkan takwa. Dengan demikian, sebagai inti dan dasar, agama tetap bisa diposisikan pada harkat lebih tinggi di atas hukum dan negara, dan secara ajeg serta konsisten. Dengan kecerdasan pun maka setiap insan dapat mencapai kemajuan puncak tanpa harus meluncur ke sekularisme dan hambar imannya.

Beragama secara lebih cerdas, dan seterusnya membina agama yang mencerdaskan generasi-generasi selanjutnya.

*) Benni E.Matindas,

penulis buku “Negara Sebenarnya”,

dosen filsafat.