Kembali ke Halaman Utama

Kembali ke Halaman Utama
Klik Gambar ini

Rabu, 17 September 2008

Sebuah Sikap Bagi Tangan Tengadah

Oleh: Daniel Kaligis

TELAPAK masih menadah. Ada juga tangan-tangan yang mengisyaratkan rela terus memberi. Pada sebuah pedoman yang terdiam jutaan ketika menyebut, “bila tangan kanan memberi, janganlah tangan kiri mengetahuinya”. Tetapi, pemberian yang selalu disebut-sebut sekarang ini adalah sesuatu yang dimaklumi dan supaya diketahui banyak manusia, apalagi ketika dipublikasikan media masssa. Dan memberi yang saat ini sudah membuka sejumlah keresahan, bahkan ada yang terkapar sebelum harapan terkabul.

Saya coba mengutip berita yang disiarkan via layar kaca, demikian juga apa yang dikumandangkan berbagai suratkabar. belumkah hal ini membuat kita tersadar? “Korban tewas pada peristiwa pembagian zakat di Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo Kota Pasuruan, Jawa Timur, Senin (15/9), terus bertambah.” Karena seperti itu pula kabar kemarin menjadi gunda dan diumbar berlebihan. Tanda-tanda darah serupa bendera ditera sebagai peringatan, dan mereka yang bertugas mencari tahu sebab-sebab, memberi kesimpulan sementara terhadap alasan-alasan kematian. Sejauh ini, belum ada pasal-pasal belum dikenakan pada peran berlebihan, selain menyalahkan keadaan.

Takala anda melihat dalam soal yang kemarin itu, menurut anda, siapa yang harusnya jadi penanggungjawab utama dalam eskalasi antara si pemberi dan si penerima? Antara yang punya dan yang hampa? Atau kita akan menyalahkan situasi ketika acara sudah berujung dan sisanya adalah keteledoran yang harus dimaafkan dan dilupakan? Sekarang hanya murung menunggu kejadian berikutnya, bila senyum sudah dipaksakan bagi keraguan-keraguan yang berlanjut. Di sini kita melihat kemunafikan berjalan, berkeliling ke segala tempat, memamerkan tiap senti di tubuhnya yang boleh merampok perhatian.

Ini mungkin salah satu sebab. Menurut IMF, mungkin saja resesi ekonomi dunia itu terjadi apabila pertumbuhan ekonomi global rata-rata berada di bawah 3 persen. Tahun silam, lembaga itu mencatat pertumbuhan ekonomi dunia mencapai 4,9 persen dan diperkirakan melemah menjadi 3,7 persen dan angka revisi baru dari prediksi sebelumnya 4,1 persen yang katanya dapat tercapai pada tahun ini.

Tudung berita, sekelit peristiwa yang jadi catatan sejarah usang adalah kenangan pahit yang masih akan berulang di lain hari. Mendaur resah yang silih berganti di setiap zaman dan peradaban, dan jadi sandungan bagi mereka yang belum berpengalaman dan kurang pengertian. Setelah kejadian ini, ada pertanyaan mendesak namun hanya dapat dijawab hati.

Bagaimana mengurai segala sebab yang sementara dilahap hari ini? “DPR dan MPR hanya simbol belaka. Berita seputar gizi buruk, nasi aking, orangtua mengajak keluarga bunuh diri akibat tekanan ekonomi yang sangat berat tidak pernah bisa menyentuh nalar dan nurani DPR-MPR yang telah terbentengi oleh tembok materialisme. Bukan dampak kenaikan harga BBM yang mereka diagnosa-analisa secara lebih seksama dan menyeluruh bagi kehidupan ratusan juta warga negara, melainkan menuntut kenaikan gaji dan tunjangan mereka sendiri. Memang beginilah nasib republik munafik. Rezim Orba ternyata bukan satu-satunya rezim bobrok di Indonesia karena selama rezim Orba memerintah Indonesia masih bisa berswasembada beras dan tidak terjadi rutinitas antrian minyak tanah. Runtuhnya Orba dulu ternyata memunculkan rezim yang tak kalah rakus dan bengisnya. 100 tahun Kebangkitan Nasional menjelma Kebangkrutan Nasional. Kebangkrutan mentalitas penyelenggara negara hingga seluruh pelosok ruang di republik munafik ini, dan bagaimana dengan rakyat yang telah memilih mereka melalui pesta demokrasi dengan konvoi kendaraan berbahan bakar gratis dan nasi bungkus? Itulah kini yang menjadi tuaian sebagian rakyat yang menjadi simpatisan partai dan capres dengan kampanye berbahan bakar gratis itu.” Sambungan dari kutipan itu ada di paragraf selanjutnya.

Seberapa yang boleh kita beri, janganlah dengan berat hati dan keterpaksaan, agar tingkap-tingkap langit tetap terbuka. Ada yang bersuara setelah menatap realita hari ini dan boleh beroleh sedikit pengertian. Ini sedikit kutipannya yang kritis tentang sebab-sebab kemiskinan. “Pakar harta, pengusaha kelas paus, lembaga kehartaan, lembaga sosial, departemen kekayaan, dan lain-lain pun bisa mahir berbusa-busa bila bicara soal definisi miskin, dan strategi jitu menaklukkan kemiskinan. Data-data valid, teori-teori ampuh, bukti-bukti sahih di luar negeri bahkan ayat-ayat sakti kitab suci pun dipakai sebagai elemen materi pembicaraan, baik dalam skala warung kopi maupun ballroom hotel bintang sejuta di ibukota negara bahkan di ibukota luar negara.” Dan hari ini kemiskinan itu terus saja ditelanjangi. Maka, ia berujar lebih lanjut. “Selama ini angka kemiskinan – yang dikeluarkan lembaga manapun – merupakan angka yang sama sekali jauh dari realitas. Entah secara kriteria, validitas, maupun rekayasa yang keterlaluan. Dan kemiskinan di Indonesia seringkali hanya menjadi semacam obyek mati-kurang gizi yang seenak perut dapat dicabik-cabik di mimbar-mimbar atau seminar-seminar, lantas ditendang langsung ke tong sampah.” Itulah kata-kata Wahono dalam republik munafik.

Segulung soal tentang pemberian. Coba berkaca pada bantuan langsung tunai yang sudah jadi candu kemiskinan dan ketergantungan. Berapa banyak lagi program yang akan kita semai di ladang rakyat dan membekas di otak sebagai kepasrahan? Bait-bait ini hadir untuk kembali menegaskan sebuah sikap yang akan bersahabat dengan siapa saja yang masih bernurani dan sudah memberi sepenuh hati bagi musnahnya kemelaratan dan tumbuhnya kerja keras.(*)



Tidak ada komentar: