Oleh Daniel A Kaligis
[www.kabarindonesia.com]
LETUP bom bunuh diri, kedasyatan yang mewakili irama kematian karena mesin pembasmi mencari mangsa mereka yang diincar keberingasan. Oh betapa secerca harapan dari puing-puing krisis berkepanjangan, yang menguatkan suara kelaparan dan kekurangan gizi di banyak lokasi, daya beli terpuruk, kekerasan dalam pemaksaan kehendak menumpukkan lebih banyak lagi persoalan sosial di muka bumi ini. Dana berbandrol miliaran terkucur untuk sedih yang tak berujung, tapi tangis tak berakhir, tawa mereka yang berpesta atas nama demokrasi sudah mencuatkan kegusaran yang tinggi di andrenalin ragu-ragu, sebab hukum terbeli bukan cuma perkara moral dan kebiasaan belaka. Tanyakan berapa banyak lagi pemekaran yang diumumkan untuk melaksanakan “panas” suara hati yang terbeli. Kita masih sok religius membisikan ketertindasan sistem, dan kenyataan derita selalu dipelintirkan show debat publik yang menggelitik ketersinggungan. Sumbu api ditarik dari kompor demokrasi berbingkai tirani. Ia sudah lama menyala, dan titiknya semakin memanas.
Padamkan arti kebimbangan. Bila sejenak satu bumi hening apalagi tanpa gerak dan diam, maka, seperti itu terobosan panas matahari akan melenyapkan semesta kita. Seiring letup petaka, masih ada yang tersumbat menghambat alir. Sampah-sampah berserakan di mana-mana. Tapi, kita menatap kegentingan issue yang berseliweran dalam proposal masa depan. Infrastruktur terbengkalai, ketiadaan mengumumkan pesona mimpi. Di sini kota menjadi janji abadi. Negeri dibelit kusut benang sejarah seakan hari ini masih kemarin bersama sejuta teori kemakmuran. Sorot cahaya untuk persoalan hari ini mendekam dalam kebisuan transparansi dan informasi tersumbat laksana drainase di kota kita. Pakar ekonom negeri kita di masa lampau diberi beasiswa untuk melanjutkan studi pascasarjana di negara adi kuasa. Mereka lalu getol mempelajari ‘ilmu pembangunan’ yang dalam dekade 1950 hingga 1960-an ilmu itu sedang populer, antara lain ilmu ekonominya Rostow, “5-Stages of Economic Growth”. Ini tingkatannya: tahap tradisional, persiapan untuk tinggal landas, tinggal landas, tahap matang, dan tahap konsumsi massal. Ilmu ekonomi pembangunan ini kemudian disebarkan dan merasuk hingga detik ini di masyarakat yang doyan mimpi. Sayang, hingga sekarang kita belum juga ‘tinggal landas’. Kita kandas oleh guratan hari penuh issue dan janji gombal pembangunan. Menjadi kota yang diwisatai karena sudah ada banyak orang yang boleh bicara dengan bahasa itu-itu saja, dipaksakan issue yang itu-itu saja, dan ditanyai menyangkut yang itu-itu saja. Sehingga setiap isi gedung menyuarakan bahasa yang itu-itu saja supaya boleh dibilang loyal pada atasan dan bisa terima bantuan yang luar biasa. Ini akan menjadi “bom waktu” kemerosotan idea dan kreasi di masa akan datang.
Peta kita dibom investasi. Sejurus ilmu penunda lapar, supaya rakyat tahu bahwa ada kepastian bagi masa depannya yang akan dijual. Sumbu persoalan ekonomi sudah dipendekkan dengan hilangnya subsidi. Dengan demikian, ketergantungan akan memainkan perannya dalam opera zaman ini. Tidak! Kita masih kaya sumberdaya alam. Ini silsilah yang pernah dituliskan beberapa tahun silam tentang milik kita itu, yang mana “selama lebih dari tiga puluh tahun Caltex sudah menambang dua lapangan minyak terbesar di Asia Tenggara, lapangan Minas dan Duri di Riau yang pernah diselamatkan marinir dan RPKAD pada tahun 1958. Mobil Oil sudah hampir menghabiskan lapangan gas Arun di Aceh. Perusahaan migas Total dari Perancis menambang di Delta Mahakam. Lebih dari 90 persen produksi minyak dan gas Indonesia dilakukan oleh perusahaan asing. Migas itu kemudian dieksport, sebagian besar ke Jepang, Korea dan Taiwan.”
Kita masih kaya. Pada tahun 1990-an diprediksi keuntungan bersih perusahan migas mencapai sekitar lima juta dolar per hari. Minyak dan gas Indonesia, sebagian besar dari Pulau Sumatra, sudah berhasil dipakai mengembangkan industri Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Tahun 2000, “katanya” minyak Indonesia tidak bisa lagi dieksport karena hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hanya beberapa saat lalu sudah ada perjanjian untuk gas padat kembali dieksport ke luar negeri. Juga pada era 2000-an gas Indonesia di dekat Pulau Natuna, sudah mulai dikerjakan Exxon. Kontrak pengembangan lapangan gas Natuna ditandatangani ketika presiden Clinton yang berkunjung dalam rangka APEC beberapa tahun silam. Keuntungan dari penggalian barang tambang seperti di Freeport misalnya, dan dari penebangan hutan Kalimantan juga sudah mengalir ke perusahaan-perusahaan Amerika Serikat, Jepang, Korea atau Taiwan. “Tenaga buruh Indonesia dipakai untuk mendatangkan keuntungan bagi konglomerat Barat dan partner lokal mereka.” Betapa kita kaya?
Barisan gusar menyemut di mana-mana tempat. Menanti janji kaya masa depan. Cerita di atas hanya peran membingungkan yang dipertahankan sampai kebenaran membuka tirai misteri kematian tanpa alasan jelas di muka bumi kita ini. Bahwa, ada petaka yang sementara dirancang demi ketidakadilan yang langgeng di bumi berdosa ini, dan ketamakan adalah sumbu dari perkara ini.(*)
Tanah Minahasa, 2008
1 komentar:
Kalau kita melihat dan mengeluh, lalu menangis dan mengepal-ngepalkan tinju. Lalu kita tinju langit itu! Apakah ada hujan turun selain di mata kita?
Kalau kita bermimpi, dan menyentuh mimpi itu dengan jari, lalu merasanya dengan hati, lalu juga hendak memberinya pada anak-anak jalanan yang meminta-minta nasi, apakah ada substansi dari mimpi itu yang dapat mengubah rasa lapar mereka?
Karena kita bicara tentang raksasa besar, sebesar perusahaan multinasional yang sedang menggerogoti, tidak hanya bumi, tapi jiwa manusia-manusia yang terlalu lugu, hanya tahu bicara tentang yang ilahi.
Tapi memang kita harus bicara, dan dari bicara kita berbuat, dan dari berbuat kita membangun mimpi dari setiap guratan hari yang kita isi untuk mengubah masa depan. Karena kalau bukan kita, siapa lagi?
Ada anak-anak kecil yang sedang bermain-main di danau dan di pematang sawah. Mungkin mereka tahu apa yang bisa kita lakukan...
Posting Komentar