Kembali ke Halaman Utama

Kembali ke Halaman Utama
Klik Gambar ini

Selasa, 04 November 2008

Pembaruan Gerakan dan Pemikiran Kaum Muda:

Sebuah Harmonisasi Perbedaan Demi Kebenaran dan Kehidupan


Oleh: Denni Pinontoan

Banyak orang dengan disiplin ilmunya atau dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya telah dan terus mencoba mencari tahu apa kebenaran itu? Para Filsuf berusaha mencari kebenaran dalam diskursus pemikiran dengan terus berusaha menelaah sedalam-dalamnya arti di balik sebuah fenomen. Para teolog berusaha menyusun kebenaran berangkat dari apa kata kitab suci agama. Teolog Krisen dari Alkitab, ulama Islam dari Al Qur’an, para resi Hindu dari Kitab Weda, para pendeta Budha dari Kitab Tripitaka (kitab tiga keranjang) dan lain sebagainya. Telah berabad-abad kebenaran berusaha diungkap oleh manusia, dan kitab suci, tradisi agama serta teori yang dominan dianggap sebagai sumber kebenaran. Tapi mengapa orang terus mendiskusikan kebenaran?

Secara harafiah, kata “kebenaran” dapat diartikan sebagai sesuatu yang mencirikan atau menunjukkan hal-hal yang benar. Tapi, ini belum menjadi pengertian yang memuaskan Sebab, hal yang benar menurut si A belum tentu benar menurut si B. Menurut para ilmuwan, sesuatu dapat disebut benar jika sesuatu itu dapat dibuktikan secara ilmiah, yaitu sistematis, metodis, kritis, koheren dan objektif. Para filsuf hingga sekarang terus menerangkan apa yang disebut kebenaran menurut perenungan dan refleksinya. Para teolog mengembangkan kebenaran dari kitab suci, yang kebanyakan di antaranya menyebut bahwa sesuatu yang diperbuat manusia benar jika mematuhi dan tunduk apa pesan firman. Tapi, kebenaran ini belum tentu dapat dipahami dengan benar oleh para awam, rakyat kebanyakan dan para proletar. Itulah sehingga kebenaran seolah seperti proses pencarian yang tiada akhir. Dari situ muncullah pendapat bahwa di dunia ini kebenaran sifatnya relatif, sebab kebenaran yang mutlak hanya ada pada Yang Maha Benar, Yang Trasendental, yang disapa oleh manusia beragama dengan beragam nama.

Tapi kebenaran sebenarnya ada dan mestinya berada dalam interaksi dan sinergitas kehidupan manusia. Kebenaran yang dipahami beragam, bagaimanapun menegaskan satu yang sama, yaitu kehidupan. Filsuf, Teolog, dan Ilmuwan dalam perenungan, pemikiran dan penelitiannya, selalu berusaha menyusun pemahaman-pemahaman standar tentang kebenaran. Dalam perenungan, pemikiran dan penelitian itu, yang diusahakan sebenarnya adalah bagaimana agar kehidupan di dunia ini lestari. Sehingga yang berbeda dari antara mereka hanyalah soal cara atau metode. Semangat dan prinsipnya tetap sama. Begitu juga dengan para awam, rakyat dan proletar yang berjuang hidup dengan kemampuan yang dia miliki, mereka pun dalam rangka melestarikan kehidupan.

Sehingga, kebenaran mestinya adalah kehidupan itu sendiri. Tapi, kehidupan yang merupakan kebenaran itu, adalah kehidupan yang manusiawi. Artinya, dalam memperjuangkan kehidupan, manusia kemudian tak boleh mengabaikan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan persamaan hak. Seniman yang mengusahakan keindahan dalam karya seninya, adalah juga sedang melukiskan kebenaran dalam jejak-jejak kehidupan di dunia ini. Sebab, sebuah karya seni yang benar mestinya berisi nilai keadilan, kemanusiaan dan persamaan hak. Dalam sebuah karya seni lukis misalnya, keadilan adalah soal warna-warni yang berbeda tapi saling berharmonisasi membentuk keindahan. Dalam karya seni sastra kalimat-kalimat yang beraneka arti akan saling bersinergi untuk membentuk keindahan bahasa. Dalam seni gerak, gerakan tubuh manusia yang naik turun seperti grafik akhirnya menunjukkan sebuah keindahan. Dan, dalam seni suara, nada do, re, mi, fa, so, la, dan si berpacu dalam irama yang indah, untuk sebuah lagu yang menyenangkan hati.

Kebenaran akhirnya adalah semua gerak manusia yang mencirikan keadilan, kemanusiaan, dan persamaan hak untuk sebuah kehidupan yang terus berproses menuju kesempurnaan. Dan kesempurnaan itu sendiri ada dalam gerak manusia seperti warna-warni, gerak tubuh dan tangga nada dalam seni yang memancarkan keindahan. Sehingga, kebenaran tidak hanya untuk diucap, tapi harus dilakonkan dalam kehidupan. Setiap denyut kehidupan mestinya adalah proses pencarian kebenaran. Begitulah sehingga Yesus tidak memisahkan “kebenaran” dan “kehidupan” ketika Dia berbicara, “Akulah Jalan dan Kebenaran dan Hidup”, karena Yesus memang sedang berbicara kehidupan yang benar, bukan kehidupan yang membinasakan. Muhammad, membawa agama Islam, yang berarti damai, dan penyerahan diri kepada kehendak Ilahi. Ulfat Aziz-us-Samad, cendekiawan Islam asal Pakistan mengatakan, tujuan agama yang benar, seperti yang dibawa Muhammad adalah perdamaian. Perdamaian yang tak terelakkan dari ruh ini adalah keselarasan dengan Ilahi, dan kemauan baik di antara sesama manusia, serta cara untuk mencapai kedamaian ummat manusia. Begitu juga dengan Sidharta Gautama, Zarathustra, Nabi Kong Hu Cu, Sokrates, bahkan Gandhi, yang telah hadir dengan semangat dan spiritnya untuk kehidupan yang dilandasi pada usaha pembaruan demi kebenaran yang dicari.

Ketidakbenaran tentu lawan dari kebenaran. Ketidakbenaran adalah kegagalan manusia dalam mengharmonisasikan perbedaan. Dan, kita kaum muda ada dalam perlawanan terhadap ketidakbenaran yang dibuat oleh negara, yang telah membelenggu kita dan rakyat kebanyakan dengan kekuasaannya. Maurice Duverger, bahkan mengambarkan Negara dengan kekuasaannya seperti dewa Janus, yang bewajah ganda itu. Negara, dalam pengambaran Duverger itu adalah, “…dalam setiap dan di setiap tempat adalah alat dominasi sekelompok tertentu atas kelompok lain, dipergunakan oleh yang disebut pertama demi keuntungan sendiri dan demi kerugian bagi yang lain” (Duverger: 2005, 28). Selain idealnya, negara mestinya adalah alat untuk menjamin ketertiban social demi kepentingan umum.

Ruang politik, social dan ekonomi kita yang besar adalah Negara Indonesia. Pada ruang yang lebih kecil, kita ada di daerah Sulut ini. Tapi, lebih kecil dari itu, tapi memiliki daya gerak yang besar, adalah komunitas kita sendiri yang meski berbeda-beda ideology, tapi dalam pemikiran dan gerakan ternyata bertemu dalam keprihatinan yang sama terhadap penderitaan rakyat.

Tapi, Indonesia masih dipenuhi dengan berbagai ketidakbenaran. Para kapitalis yang dilindungi negara terus melakukan aksinya mengekploitasi sumber daya alam milik bersama dan tak hentinya menjajah kehidupan rakyat kecil. Sementara pembangunan yang digalakkan agaknya bukan untuk rakyat, tapi hanya untuk mereka sendiri saja (para elit itu). Krisis ekonomi di tahun 1997 sepertinya menggambarkan kepada kita kegagalan pembangunanisme yang digalakkan oleh negara (lihat tulisan Mansour Fakih dalam Jurnal Wacana Edisi 2 tahun 2000, hal. 3.). Setelah sadar dengan kegagalan itu, Negara-negara di dunia ketiga, hampir terpesona dengan globalisasi yang telah melembaga sejak tahun 1994, ketika ditandataganinya perjanjian pedagangan bebas di Marrakesh, Maroko.

Reformasi 1998 – setelah kegagalan pembangunisme yang ditandai dengan krisis ekonomi tahun 1997 – hadir dengan apa yang disebut dengan desentralisasi atau pembagian kewenangan kekuasaan dari pusat ke daerah. Reformasi itu semacam memberi harapan untuk perbaikan tata politik dan ekonomi Indonesia. Namun, meski setuju dengan desentralisasi, tapi Francis Fukuyama mengingatkan untuk juga mewaspadai resiko yang muncul daripadanya. Menurut Fukuyama, pendelegasian otoritas kepada pemerintah pusat ke pemerintahan lokal di negara-negara berkembang sering kali penguatan para elit local. Ini memungkinkan elite local untuk terus memegang kendali atas berbagai kepentingan mereka tanpa ada kontrol dari luar (Fukuyama, Jakarta: 2005, 92). Sementara Henk Schulte Nordhot dan Gerry van Klinken ketika menulis pendahuluan dalam buku Politik Lokal di Indonesia (Jakarta: 2007) agaknya harus mempertimbangkan pendapat para pengamat lain yang menyangkal optimisme terhadap desentralisasi. Seperti dituliskan mereka, desentraliasi itu tak akan berhasil karena usaha ini berhadapan dengan apa yang mereka sebut: ”...sabotase birokratis, politik kekuasaan yang korup, oportunisme jangka-pendek, dan tiadanya kesamaan visi yang luas tentang masa depan.”

Di tingkat local, selain sejumlah persoalan imbas dari ketidakberesen tata politik dan ekonomi nasional, kita juga berhadapan dengan semakin tak terkendalinya kerakusan elit kita untuk mendirikan dinasti-dinasti politik baru. Di masa baru lewat, kita mengenal ada istilah “AMPG” (anak, mama, papa golkar), sekarang ternyata bukan cuma itu, malahan lebih gila lagi. Petinggi-petinggi partai, bukan hanya Golkar, juga telah melakukan itu, papa, mama, anak, menantu, saudara dan bahkan teman selingkuh dijadikan Calon Anggota Legislatif (caleg). Sementara caleg yang banyak lainnya sangat diragukan komitmen kerakyatannya. Mau jadi apa daerah ini ke depan kalau wajah politik kita begitu? Sementara kehadiran FPI (Front Pembela Islam) di Sulut akhirnya menambah daftar milisi-milisi (yang lainnya Brigade Manguni, LC, dsb) yang berideologikan sektarian.

Setidaknya beberapa fakta ini (kita masih bisa menambah daftar persoalan yang lain) dapat menyadarkan kita akan tantangan yang semakin berat. Maka mestinya, selain kita harus terus bergerak, dan merenung dan berefleksi dari nalar yang sadar, yang terpenting lainnya adalah membangun kekuatan bersama dengan menyatukan segala daya yang kita miliki. Penyatuan ini mestinya harus dipahami sebagai upaya harmonisasi perbedaan yang kita miliki. Sumpah Pemuda 80 tahun yang lalu (1928-2008) adalah juga dalam semangat itu. Dari semangat itulah kita mendiskusikan pembaruan pemikiran dan gerakan kaum muda dalam usaha memberi peran bagi perbaikan tata politik dan ekonomi yang lebih baik di Indonesia dan terutama Sulut. Saya mengusulkan agar kita juga memikirkan ulang sistem NKRI kita.

Tomohon, Minggu 26 Oktober 2008

Tidak ada komentar: