Kembali ke Halaman Utama

Kembali ke Halaman Utama
Klik Gambar ini

Senin, 15 Desember 2008

”Mesias Lahir di Pinabetengan”

Sebuah Usaha Memaknai Natal Yesus Kristus dalam Konteks Minahasa Kontemporer

Oleh Denni Pinontoan

Selasa (9/12) malam lalu, di Watu Pinabetengan sekelompok anak muda Minahasa merayakan Natal Yesus Kristus dengan cara mereka sendiri. Tidak ada lagu Natal. Tidak tampak hiasan yang khas perayaan Natal, semisal pohon Natal, lampu kelap-kelip, dan tidak ada lilin-lilin yang diatur berbentuk salib untuk secara bergantin dinyalakan oleh orang-orang berkelas. Dan juga tidak ada khotbah dan doa yang dogmatis dari seorang pendeta atau evangelis. Khotbah diganti dengan diskusi intelektual, pujian-pujian diganti dengan pembacaan puisi secara bergantian, terang lilin diganti dengan nyala lampu petromaks.

Di bagian depan bangunan yang menutup Watu Pinabetengan yang monumental itu, sekelompok anak muda Minahasa ini duduk melingkar. Ada yang bersila sambil menyandarkan badan di dinding beton bangunan itu, dan yang lainnya bersila di atas lantai yang terbuat dari semen. Malam itu memang tidak tampak ada sekelompok orang yang sedang merayakan Natal Yesus Kristus, sebagaimana lazimnya umat Kristen merayakan Pohon Terang. Tapi bagaimanapun, bagi mereka itu adalah perayaan Natal. Tapi, apapun bentuknya acara malam itu, yang jelas, bagi mereka inilah cara praktis tapi bermakna dalam usaha memaknai Natal Yesus Kristus dalam konteks Minahasa.

Sekelompok anak muda Minahasa ini terdiri dari berbagai elemen, antaranya dari Komunitas Pinabetengan Muda (anggotanya kebanyakan dari pemuda Desa Pinabetengan), Mawale Movement dan perwakilan Teater Unggu UNIMA. Mereka memang berada dalam komunitasnya masing-masing, tapi semua berada dalam spirit yang sama, yaitu sedang dalam usaha melakukan pergerakkan Keminahasaan.

Tema perayaan Natal Yesus Kristus oleh anak muda Minahasa di malam itu adalah: ”Mesiah Lahir di Pinabetengan”. Sebuah tema yang provokatif tapi sebenarnya relevan dan penuh makna dalam usaha memaknai Injil Yesus Kritus dalam konteks penggerakan Minahasa. Barangkali bagi banyak orang ini kontroversi, sebab sejak sekolah Minggu umat Kristen telah diajarkan bahwa Yesus lahir di Betlehem bukan di tempat lain, apalagi di Pinabetengan. Tapi tema ini sebenarnya sedang usaha memaknai makna dalam dalam kekinian dan kedisinian Minahasa.

Watu Pinabetengan sengaja dijadikan sebagai tempat untuk melakukan ritual intelektual itu mengingat dalam pemaknaan sekarang bagi Tou Minahasa Watu ini memiliki nilai historis dan kultural yang tidak bisa dilepaskan dalam merefleksikan keminahasaan. Menurut Freddy Wowor dan Greenhill Weol (penggiat Mawale Movement) dan Fryski Tandaju (dari Pinabetengan Muda), ini adalah cara yang tepat dalam memaknai nilai Watu itu. Sebab menurut mereka, Watu Pinabetengan sejatinya adalah tempat berdiskusi dan bermusyawarah seperti yang dilakukan oleh para dotu Minahasa tempo dulu.

Diskusi malam itu berlangsung alot dan penuh makna dalam usaha memikirkan keminahasaan kontemporer. Pembicaraan yang serius mengarah ke dua pertanyaan, yaitu, ”Siapakah Yesus dalam Konteks Minahasa?” dan ”Siapa Tou Minahasa itu?” Dua pertanyaan ini akhirnya menjadi pemicu dalam usaha menginterpretasi ulang makna kelahiran Yesus, dan usaha menjawab tentang jati diri Tou Minahasa yang terus berdialektika dalam sejarah.

Ketika mendiskusikan pertanyaan, ”Siapakah Yesus dalam Konteks Minahasa?” saya kemudian teringat pertanyaan Yesus kepada murid-murid-Nya yang ditulis oleh para penulis Injil. Lukas 9:20-21 (dapat juga dibaca dalam Mat. 16:15-6 dan Mrk. 8:29) menulis: ”Yesus bertanya kepada mereka: ’Menurut kamu, siapakah Aku ini?’ Jawab Petrus: ’Mesias dari Allah.’” Matius menulis jawaban Petrus itu dengan: ”Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Sementara Markus menulis: ”Engkau adalah Mesias!”

Inilah pertanyaan yang mestinya dijawab oleh gereja (sebagai sistem nilai maupun sebagai lembaga) sepanjang abad. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya ingin menegaskan pengakuan iman dan kepercayaan atas kemesiasan Yesus, Raja yang diurapi, pembebas dari segala bentuk kuasa yang mencengkeram dan menindas. Injil Yesus Kristus mestinya berkisar pada spirit atau semangat pembebasan, pemerdekaan, keadilan dan damai sejahtera bagi yang tertindas, kaum yang lemah karena diskriminasi dan marginalisasi oleh kuasa apapun termasuk kekuasaan negara yang represif.

Pertanyaan siapakah Yesus menurut kita, sekarang ini menjadi pokok pembicaraan dalam diskusi-diskusi gereja-gereja Asia. Dalam usaha menemukan siapa Yesus dalam konteks Asia itu akhirnya mengarahkan kita pada apa makna Injil Yesus dalam konteks yang plural (SARA), totaliterianisme kekuasaan negara, kemiskinan, kuasa neoliberalisme dan berbagai persoalan lainnya. Ini sebenarnya sama juga dengan bertanya: ”Siapa Yesus dalam konteks kebudayaan kita?” Akhirnya, mau tidak mau, jawaban atas pertanyaan ini akan menyentuh persoalan sosial, politik, ekonomi dan budaya kita. Dengan demikian, Injil Yesus Kristus dan makna pengosongan diri Allah melalui kelahiran Yesus tidak hanya akan menjadi kata-kata indah untuk disyairkan yang hanya membuat umat atau rakyat tertidur secara terpaksa dalam keadaan lapar akibat pemiskinan oleh kuasa neoliberalisme, menderita karena konflik/peperangan, dan tertindas di tanah sendiri akibat kamuflase politik negara.

Natal dan Injil Yesus Kristus akhirnya harus bermakna pembebasan, pemerdekaan, penerimaan, keadilan dan damai sejahtera. Dalam konteks kebudayaan kita Minahasa, Natal dan Injil Yesus tentu bukan lagi bermakna mendikte dan menvonis salah nilai dan bentuk budaya yang dipahami dan dipraktekkan Tou Minahasa, melainkan lebih sebagai spirit dan semangat dalam usaha penggerakkan keminahasaan yang berhadapan dengan ancaman neoliberalisme, kekuasaan negara yang mutlak, dan perilaku pragmatis dalam Pilkada, Pilcaleg, serta kerja politik elit kita di lembaga eksekutif dan legislatif. Dengan penuh keyakinan kita mestinya merumuskan pengakuan iman kita orang Minahasa dengan memaknai Natal dan Injil Yesus sebagai spirit perlawanan terhadap segala kuasa yang menyesatkan itu. Itulah jawaban kita Tou Minahasa atas pertanyaan Yesus: ”Menurut Kamu, Siapakah Aku ini?” Dengan demikian, sebuah pengakuan iman khas kebudayaan Minahasa telah kita rumuskan.

Terkait dengan itu, kita juga harus menjawab pertanyaan: ”Sei sia se tou Minahasa?”, ”Siapa Orang Minahasa?” Dalam diskusi di Watu Pinabetengan itu berhasil disimpulkan bahwa orang Minahasa bisa berdasarkan geneologis, berdarah Minahasa dan juga bisa siapapun dia, dari manapun asalnya, tapi tinggal di Tanah Minahasa dan mampu membuktikkan komitmennya atas perjuangan Minahasa untuk mencapai cita-citanya. Minahasa memang bermakna pluralisme. Minahasa berarti bersatu dalam perbedaan, atau keberagaman yang berkomitmen berjuang bersama-sama untuk mencapai cita-cita yang sama. Itulah bangsa Minahasa secara kultural. Sehingga Minahasa tidaklah harus diidentikkan dengan agama Kristen. Bahwa nilai kekristenan telah mempengaruhi atau memberi isi bagi kebudayaan Minahasa sampai hari ini, ya, tapi agama Kristen identik dengan Minahasa secara teritorial dan politik barangkali tidak, dan keliru kalau kita menyamakannya.

Pertanyaan Yesus, ”Menurut kamu, siapakah Aku ini?”, memberi ruang bagi manusia dalam ruang dan waktunya untuk mengekspresikan imannya kepada Yesus sebagai Mesias Anak Allah, yang membawa kabar damai sejahtera, kebebasan dan keadilan. Jawaban yang diberikan tentu akan bermacam-macam. Tapi bentuk jawaban itu akan selalu berdasar pada dua hal, yaitu siapa yang memberi jawab dan dalam kebudayaan (ruang dan waktu) apa si pemberi jawab itu hidup. Injil Yesus Kristus sebagai spirit melampaui ruang dan waktu manusia, tapi cara mengekspresikannya mestinya berbentuk hasil dialog antara makna Injil yang tetap itu dengan ruang dan waktu manusia yang selalu berubah.

Makna Natal dan Injil Yesus Kristus mestinya bukan hanya soal ”surga” yang akan datang dan konon itu, tapi terutama adalah soal sekarang, hari ini. Minahasa hari ini, adalah Minahasa yang sedang bergolak hebat dengan persoalan sentralisme kekuasaan negara, serbuan kuasa kapitalisme dan neoliberalisme yang memakai perangkat globalisasi, serta pragmatisme elitnya – yang kebanyakan adalah Tou Minahasa – dalam jabatan-jabatan politik serta ekonomi yang dengannya terbentuk kelas-kelas sosial yang saling menindas. Spirit Natal dan Injil Yesus Kristus mestinya bermakna perlawanan terhadap segala kuasa yang sesat itu. Sebab keselamatan mestinya juga bermakna hari ini, yaitu keselamatan atau pembebasan atas segala kuasa dunia yang menindas dan memiskinkan (Luk. 4:18-19).

Rabu, 12 November 2008

Menggagas Gerakan Kultural Orang Muda Minahasa:

Sebuah Usaha Melanjutkan Pemikiran Sam Ratu Langie

Oleh: Denni Pinontoan

(Disampaikan pada diskusi terbuka bertajuk “Sam Ratu Langie, Siapa yang Melanjutkan?” yang diselenggarakan oleh Gerakam Minahasa Muda (GMM), Selasa, 11 November 2006 di Hotel Tou Dano, Tondano - Minahasa)


I. Tantangan Kita

Sejumlah pertanyaan tentang eksistensi Orang Muda Minahasa dan manusia Minahasa pada umumnya dalam pergaulan nasional, baik soal gerakan dan pemikirannya beberapa waktu terakhir ini kembali mengemuka. Pertanyaan ini bukan tanpa alasan yang rasional. Sebab, sebagai sebuah bangsa yang terkenal cerdas dan berani, tentu ketika suara-suara dari Minahasa hampir tidak lagi terdengar di level nasional bahkan internasional, maka ini tentu memunculkan pertanyaan. Soal siapa bangsa Minahasa tempo dulu, seorang jurnalis sekaliber Rosihan Anwar, yang waktu itu pemimpin Harian Pedoman dan Mingguan Siasat Djakarta, dalam Ipphos Report tahun 1949, memuji Minahasa dengan berkata, ”Satu-satunya daerah agaknya juga diseluruh Indonesia yang ketjerdasan penduduknja rata-rata sangat tinggi adanja.”

Meski memang kedatangan bangsa Barat yang bersamaan dengan Kekristenan pada abad 16 (Portugis dan Spanyol) dan setelah itu Belanda telah menggeser sejumlah sistem nilai budaya Minahasa, tapi karena kecerdasannya, maka invasi politik itu bisa dimanfaatkan oleh orang Minahasa untuk membangun peradabannya. Karena itulah sehingga pendidikan modern yang diperkenalkan bangsa Barat itu bisa membuat kecerdasan orang Minahasa semakin meningkat. Dari tanah Lumimuut-Toar inilah kemudian dikirim guru-guru ke sejumlah pelosok daerah. Bahkan dari Tanah Minahasa inilah lahir seorang Sam Ratu Langie, pemikir dan tokoh pergerakan Indonesia. Dari tanah inilah lahir juga sejumlah generasi yang pernah duduk di kabinet Orde Lama dan beberapa di antaranya di zaman Orde Baru. Dan sejumlah kenangan kejayaan bangsa Minahasa yang bisa kita tambah lagi.

Tapi, kejayaan-kejayaan itu agaknya hampir menjadi kenangan indah untuk hanya menjadi bunga tidur bagi generasi Muda Minahasa kini. Fenomena terkini yang bisa kita lihat, anak muda kita lebih gampang ber­-loe gue, dari pada ber-makatana. Atau kenapa kemudian para keke-keke yang cantik dan pinter-pinter itu lebih dikenal sebagai wanita penghibur di club-club malam di Papua atau di pulau Jawa, bahkan yang lainnya menjadi korban trafiking? Dan lebih dari pada itu, kenapa kemudian para generasi muda lulusan perguruan-perguruan tinggi terbaik di Tanah Minahasa dan atau bahkan dari luar negeri yang menguasai disiplin ilmunya masing-masing tampak tak berselera untuk menjadi pelopor bagi sebuah pembaruan dan kebangkitan massal di Tanah Minahasa? Bahkan barangkali beberapa di antaranya akhirnya menjadi kaki tangan rezim di Jakarta untuk melemahkan semangat ke-Minahasa-an. Mereka lebih suka memakai bahasa politik rezim di Jakarta, ketimbang bersikap kritis terhadap banyak yang hal yang mengancam identitas Minahasa dengan semangat dan spirit ke-Minahasa-an. Ini barangkali beberapa persoalan yang ada di hadapan kita sebagai gambaran betapa Minahasa kini telah menjadi sangat jauh dari kejayaannya masa lalu. Tapi, untuk suatu kebangkitan, tentu kita tidak perlu mengulang dan memoleas-moles masa lalu itu, melainkan terpenting adalah melakukan sebuah pembaruan pemikiran dan gerakan untuk sebuah lompatan yang jauh ke depan.

Tapi, menurut hemat saya, persoalan-persoalan ini, tidak sekali jadi. Dia terjadi secara sistematis dalam waktu yang cukup panjang. Ada 3 faktor yang bisa saya rangkum sebagai penyebab dari kebuntuan peran Tou Minahasa pasca era kolonial Belanda, yaitu: 1). Sentralisme kekuasaan negara; 2). bersamaan dengan itu semakin menguatnya gerakan sektarian kelompok agama tertentu, 3). Dan terakhir semakin berwujudnya globalisasi ekonomi dalam bentuk pasar bebas (liberalisme pasar)

1. Sentralisme Kekuasaan Negara

Sentralisme kekuasaan negara, pertama-tama sebenarnya terjadi di wilayah politik, yaitu sejak UUD 45 kita memfinalkan sistem kesatuan (NKRI) untuk Tata Negara Indonesia. Tapi ini kemudian berdampak juga pada sentralisme di bidang ekonomi, dan bahkan budaya. Dengan sistem yang sentralistik ini, cara pikir akhirnya harus berkiblat ke pusat, begitu juga dengan sumber daya alam daerah yang di masa-masa orde baru sebagian besarnya di angkut ke pusat. Sistem yang sentralistik ini telah menyebabkan rezim yang korup dan terberangusnya nilai-nilai budaya lokal. Dan, sistem yang masih di anut oleh Indonesia sampai sekarang ini seolah-seolah sedang melanjutan hegemoni dan imprealisme bangsa Barat di masa kolonial.

Terkait soal dampak pada masyarakat adat, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan pada peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia 9 Agustus 2007 silam menyebutkan tiga persoalan besar yang dihadapi masyarakat adat. “Pertama, berlangsungnya kolonisasi di wilayah masyarakat adat dan sangat sarat berbagai kepentingan. Kedua, masyarakat adat juga mengalami eksploitasi sumber daya alam, mengingat sumber kekayaan seperti hutan dan bahan tambang berada dalam wilayah tanah adat. Ketiga, masyarakat adat mengalami pemaksaan nilai-nilai. Ada nilai-nilai global yang merampas nilai-nilai mereka. Masyarakat adat, misalnya, dipaksa untuk menyangkal kepercayaan yang dianut sejak lama dan memilih satu dari lima agama yang diakui di Indonesia.” (Kompas, Jumat, 10/8/2007). Sementara Sekretaris Bersama Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh Budi Arif menyebut sejumlah kebijakan pemerintah pusat yang telah menghancurkan kearifan lokal dalam membentuk struktur sosial dan pemerintahannya (Kompas, 23 Maret 2007).

Persoalan-persoalan ini juga terjadi pada masayarakat adat Minahasa selama berpuluh-puluh tahun ini. Sudah bergeser sejumlah sistem nilai budaya Minahasa akibat kolonialisme Belanda, diperparah lagi dengan hegemoni dan dominasi kekuasaan negara yang sentralistik itu selama orde lama, orde baru bahkan masih berlanjut hingga sekarang. Makanya sekarang ini telah sangat jarang Tou Minahasa yang melakukan aksi dan gerakannya dengan berpijak pada kearifan lokal Minahasa. Kita bahkan telah dipaksa untuk menyembah nasionalisme Indonesia yang sangat Jawanistik yang feodal. Sekarang pun, partai politik yang banyak itu tidak lebih dari sebagai alat hegemoni negara untuk membius kesadaran kita agar tak lagi berpikir dan bertindak lokal. Sehingga perlu barangkali didiskusikan lebih lanjut tentang wacana partai lokal untuk membendung arus politik yang hegemonistik itu. Dalam kondisi inilah perlu kembali ada usaha pencarian dan penggalian identitas Minahasa yang fungsional menghadapi sejumlah kebuntuan itu.

Tapi kita barangkali akan berkata, “Sekarang ‘kan telah diterapkan sistem desentralisasi lewat otonomi daerah?” Ya, benar! Tapi, desentralisasi pun tidak lebih dari sebuah usaha resentralisasi. Henk Schulte Nordhot dan Gerry van Klinken ketika menulis pendahuluan dalam buku Politik Lokal di Indonesia (Jakarta: 2007) agaknya harus mempertimbangkan pendapat para pengamat lain yang menyangkal optimisme terhadap desentralisasi. Seperti dituliskan mereka, desentraliasi itu tak akan berhasil karena usaha ini berhadapan dengan apa yang mereka sebut: ”...sabotase birokratis, politik kekuasaan yang korup, oportunisme jangka-pendek, dan tiadanya kesamaan visi yang luas tentang masa depan.” Sementara meski setuju dengan desentralisasi, tapi Francis Fukuyama mengingatkan untuk juga mewaspadai resiko yang muncul daripadanya. Menurut Fukuyama, pendelegasian otoritas kepada pemerintah pusat ke pemerintahan lokal di negara-negara berkembang sering kali penguatan para elit lokal. Ini memungkinkan elite lokal untuk terus memegang kendali atas berbagai kepentingan mereka tanpa ada kontrol dari luar (Fukuyama, Jakarta: 2005, 92).

Dalam logika berpikir seperti ini, pemekaran daerah yang menurut saya merupakan salah tafsir atas kebijakan desentralisasi (pembagian kewenangan) barangkali perlu dipertimbangkan lagi. Pemekaran daerah pada akhirnya hanya memunculkan sejumlah persoalan baru, antara lain semakin mewabahnya praktek korupsi oleh elit-elit lokal, dan juga pada banyak hal mengancam kesadaran dan persatuan kultural kita bangsa Minahasa. Namun, kalau kita masih menaruh harapan dengan desentralisasi dan otonomi daerah barangkali perlu juga kita diskusikan lebih lanjut tentang wacana Provinsi Minahasa Raya yang telah diwacanakan oleh sejumlah kalangan di Minahasa sejak awal tahun 2000-an lalu.

2. Gerakan Sektarian Kelompok Agama

Kondisi bernegara yang sentralistik seperti yang digambarkan di atas seolah-olah selalu menyediakan ruang bagi menguatnya gerakan sektarian kelompok dalam Islam yang sejak negara ini terbentuk tahun 1945 lalu sangat getol memperjuangkan syariat Islam menjadi ideologi negara. Agaknya, usaha sejak tahun 1945 itu tidak kemudian selesai ketika Pancasila sebagai dasar negara menjadikan Indonesia bukan sebagai negara agama dan juga bukan sebagai negara sekuler. Tapi ternyata semangat kelompok Islam konservatif di masa pra kemerdekaan terus berlanjut hingga sekarang di kalangan kelompok Islam yang fundamentalis. Terakhir kita dikejutkan dengan pengesahan UU Pornografi yang kontroversial itu.

Selain kita memang selalu dibuat was-was dengan gerakan kelompok Islam fundamentalis yang konservatif untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasar syariat Islam, tapi juga lebih pada itu, kita masih harus selalu waspada dengan aksi brutal para terorisme kelompok radikal Islam. Meski Minggu (9/11) dini hari tiga orang teroris telah dihukum mati, tapi barangkali kita belum yakin kalau terorisme di Indonesia sudah berakhir.

Persoalan menguatnya sektarian kelompok agama ini, secara langsung tentu telah berdampak pada kehidupan sosial dan politik kita. Kosentrasi berpikir untuk membuat pembaruan pemikiran dan gerakan bagi Tanah Minahasa dalam konteks Indonesia tentu sangat terganggu dengan adanya persoalan tersebut. Barangkali, selain kita tetap berharap ketegasan dari aparat untuk menyikapi persoalan kekerasan akibat menguatnya paham-paham yang sektarian kelompok keagamaan itu, ini juga tentu bisa menjadi semacam evaluasi dalam model beragama kita semua. Bagaimanapun primodialisme keagamaan yang sempit menjadi ancaman besar bagi pluralisme Indonesia.

3. Globalisasi

Perubahan politik dan ekonomi dunia bagaimanapun sangat berpengaruh pada kehidupan bernegara dan lokalitas kita. Sebagai negara berkembang, Indonesia rupanya masih terjebak pada politik ekonomi negara-negara kapitalis. Ini terjadi karena sistem negara yang diterapkan selama ini keliru sehingga negara menjadi lemah menghadapi gempuran kapitalisme global. Coba kalau Indonesia yang terdiri dari bangsa-bangsa ini menerapkan prinsip negara persatuan¸ yang sejak dari berdirinya telah memberi otonomi penuh pada masing-masing daerah barangakali kondisinya tak akan separah seperti sekarang ini. Logikanya, negara akan menjadi kuat kalau daerah-daerahnya kuat pula. Begitu juga daerah akan menjadi kuat kalau desa-desanya sebagai komunitas masyarakat adat juga kuat karena negara tidak menjadikannya murni sebagai komunitas politik.

Istilah globalisasi yang ramai dibicarakan sekarang terutama menunjuk pada semakin terglobalnya masyarakat dunia yang diakibatkan runtuhnya tembok-tembok pemisah antar negara dan bangsa dengan adanya kemajuan teknologi informasi serta pasar bebas (liberalisme).

Globalisasi, meski memang mengancam pada kehidupan kita di sini, antara lain karena pasar bebas yang menyertainya, tapi bagaimanapun dia adalah sesuatu yang tak bisa ditolak lagi. Yang harus kita lakukan adalah memaknai fenomena ini secara cerdas dengan memperkuat persatuan kultur kita. Faisal Basri ketika menuliskan kata pengantar dalam buku karya Thomas L. Friedman, The World is Flat, terjemahan dalam bahasa Indonesia mengatakan, globalisasi yang merupakan keniscayaan itu, tak semua aspeknya harus kita hadapi secara pasrah. Basri kemudian merujuk pada potensi-potensi lokal sebagai antara lain kekuatan dalam menghadapi globalisasi.

Salah satu yang menjadi ancaman dari globalisasi adalah pasar bebas. Pasar bebas atau liberalisme telah membuat negara-negara di dunia ketiga harus tunduk pada kekuatan pasar global yang dikuasai oleh negara-negara maju yang kapitalistik seperti Amerika. Para kapitalis dalam negeri maupun perusahan-perusahan transnasional yang sangat sulit dihadapi oleh negara kita, terus saja melakukan aksinya mengekploitasi sumber daya alam negara ini dan tak hentinya menjajah kehidupan rakyat kecil. Sementara pembangunan yang digalakkan agaknya bukan untuk rakyat, tapi hanya untuk mereka sendiri saja (para elit itu). Krisis ekonomi di tahun 1997 sepertinya menggambarkan kepada kita kegagalan pembangunanisme yang digalakkan oleh negara (lihat tulisan Mansour Fakih dalam Jurnal Wacana Edisi 2 tahun 2000, hal. 3.). Setelah sadar dengan kegagalan itu, negara-negara di dunia ketiga, hampir terpesona dengan globalisasi yang telah melembaga sejak tahun 1994, ketika ditandataganinya perjanjian pedagangan bebas di Marrakesh, Maroko. Tapi, bagaimanapun globalisasi bukan hanya ancaman tapi juga mengandung peluang.

II. Melawan dengan Gerakan Kultural: Bangkit dengan Spirit Sam Ratu Langie

Gerakan kultural yang saya maksudkan adalah gerakan pembaruan pemikiran dan aksi dalam melawan berbagai ancaman yang berpotensi menaklukan identitas kultur yang berpijak dari spirit dan semangat kearifan budaya Minahasa. Yang dimaksud dengan kearifan budaya Minahasa tentu tidak secara harafiah hanya menunjuk pada waruga, maengket, kabasaran, mazani dan sejumlah artefak kebudayaan Minahasa lainnya, tapi lebih kepada sistem nilai, kesadaran intelektual dan komitmen diri yang diperoleh dari kerja interpretasi terhadap Minahasa secara utuh.

Hampir mirip dengan logika berpikirnya Basri, menghadapi semua itu (maksudnya tiga persoalan besar yang diuraikan di atas), Mansour Fakih dalam Jurnal Wacana Edisi 2 tahun 2000, menguraikan trend gerakan kultural dalam menghadapi globalisasi. Thomas L. Friedman dalam bukunya The World is Flat (2006), juga mengatakan, meski ketakutan banyak orang globalisasi berbahaya terciptanya keseragaman global, namun dia berkeyakinan bahwa globalisasi lebih berpotensi untuk menumbuhkan suburkan keanekaraman yang ada di masing-masing kebudayaan. Kenapa bisa begitu? Salah satunya, menurut Friedman, karena perkembangan teknologi informasi, misalnya internet yang menyediakan fasilitas bagi masyarakat dunia yang ada di lokalnya masing-masing untuk meng-­upload pemikiran, karya tulis, dan opininya yang bersifat lokal tapi menjangkau dunia global. Friedman kemudian memberi contoh India dan China yang bisa memaknai globalisasi secara bijak dengan berangkat dari kesadaran kulturnya.

Tapi, tak hanya untuk menghadapi globalisasi, gerakan kultural juga ampuh melawan sentralisme kekuasaan negara dan bahkan paham sektarian kelompok agama tertentu. Sam Ratu Langie bersama sejumlah tokoh pemikir di Indonesia Bagian Timur, di tahun 1945, ketika UUD 45 akan diresmikan untuk dijadikan sebagai dasar hukum Indonesia, dengan kesadaran kulturalnya memberikan penegasan untuk menolak bergabung dengan Indonesia kalau Piagam Jakarta dipakai dalam UUD. Aksi ini berhasil! Piagam Jakarta tidak jadi dipakai, meski ternyata bagi kelompok konservatif Islam masih menganggap itu hanya untuk menunda cita-cita mereka.

Maka, gerakan kultural agaknya masih menjadi pilihan tepat dan jitu untuk usaha melawan semua usaha pemberangusan identitas Minahasa. Dr. GSSJ Sam Ratu langie (5 Nopember 1890 - 30 Juni 1949), barangkali bisa kita sebut sebagai salah satu anak keturunan Lumimuut-Toar yang merepresentasi nilai-nilai khas budaya Minahasa. Nilai-nilai budaya Minahasa tersebut adalah egaliter, demokratis dan pluralis. Nilai-nilai ini kemudian melembaga dalam praktek dan system nilai mapalus. Semuanya itu terangkum dalam prinsip hidup “Si Tou Timou Tumou Tou”.

Sam Ratu Langie lahir dan menemukan banyak inspirasi tentang makna hidup di Minahasa, sebuah masyarakat adat yang demokratis dan egaliter. Budaya Mapalus yang masih tumbuh subur di zamannya memperlihatkan keterbukaan terhadap partisipasi aktif anggota kelompok dalam memikirkan tujuan bersama. Sam Ratu Langie, seperti juga yang disebut oleh sejumlah literatur, akhirnya menjadikan semangat ke-Minahasa-an dalam usahanya mencari makna hidup di dunia yang lebih luas, nasional dan internasional.

Nasionalisme Sam Ratu Langie berproses dari kesadaran pada jati diri bangsa Minahasa yang demokratis dan egaliter. Nilai kekristenan sebagai agama yang dipercayainya, adalah juga unsur penting dalam membentuk karakter dan watak tegas nasionalisme seorang Sam Ratu Langie. Kolonialisme yang adalah musuh besar semua bangsa di nusantara pada masa pra kemerdekaan, memicu Sam Ratu Langie untuk melakukan refleksi terhadap kesadaran berbangsa dan bernegara. Eropa sebagai ruang dan waktu pada zaman itu adalah medan juang Sam Ratu Langie dalam usaha pembentukan intelektualnya yang brilian. Sehingga nasionalisme Sam Ratu Langie dalam wujudnya terakhir dan ini yang kemudian menginspirasikan dia untuk aktif terlibat dalam pergerakan Indonesia merdeka adalah nasionalisme hasil dialektika antara regionalisme Minahasa, kekristenan, Indonesia dan internasionalisme. (lih. B.A. Supit, Melawan Arus: Wacana Federalisme untuk Indonesia, Manado, Yayasan Suara Nurani, 2004, hal. 43-56)

Keunikan nasionalisme Sam Ratu Langie terletak pada keteguhannya pada usaha menjaga identitas diri Keminahasaan, keterbukaanya pada yang lain di bumi nusantara ini, kekritisan dan ketegasan menolak dominasi asing (kolonialisme) dan kepinterannya dalam membaca dan membuat proyeksi perubahan politik internasional. Sam Ratu Langie dalam tulisannya pada harian “Fikiran”, Manado, 31 Mei 1930 dan juga terbitan yang dikelolahnya Nationale Commentaren (26 November 1938) berkata: ”Persatuan nasional dari bangsa Indonesia adalah suatu persatuan politis. Kenyataan ini disadarkan pada kemauan politis yang sukarela untuk membentuk suatu persatuan bangsa dan negara Indonesia yang berdaulat. Dengan mengakui dan menghormati akan perbedaan etnis dan budaya pluralitas bangsa Indonesia yang bersatu dengan segala konsekuensinya...”

Interpretasi terhadap pemikiran dan karya Sam Ratu Langie barangkali bisa kita rangkum pada beberapa nilai, yaitu spirit anti penjajahan, spirit berintelektual (ngaasan) dengan kesadaran sumekolah, dan spirit nasionalisme yang pluralis (nasionalisme yang menghargai kemajemukan, beda dengan Soekarno yang tampil dengan nasionalisme yang intergralistik). Inilah barangkali modal social atau kearifan lokal kita dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman terhadap Minahasa.

Spirit anti penjajahan memang bukan khas seorang Sam Ratu Langie, sebab siapapun manusia itu ketika berada dalam kondisi terjajah, selalu ada usaha melawannya. Tapi, yang khas dari seorang Sam Ratu Langie adalah kesadaran untuk membangun kekuatan dalam melakukan perlawanan. Penjajahan dalam bentuk apapun, termasuk kekuasaan negara yang berpotensi untuk menaklukan identitas kultur Minahasa, harus dilawan. Minahasa adalah bangsa Merdeka, bukan bangsa jajahan, dan sebisa mungkin tak boleh menjadi bangsa penjajah. Gerakan kultural yang hendak kita bangun haruslah berjuang dalam semangat itu.

Spirit berintelektual atau sumekolah adalah kesadaran berpengatahuan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan cerdas dan taktis dalam menyiasati kondisi. Kegagalan yang dihadapi oleh sejumlah kelompok gerakan Minahasa beberapa waktu terakhir ini selain karena tidak kuat berpijak pada kearifan dan semangat ke-Minahasa-an, dan tapi juga karena tidak ber-ngaasan dalam arti cerdas, komit dan idealis memperjuangkan cita-cita. Berintelektual yang dimaksud di sini tentu tidak hanya terbatas dalam pengertian berpengetahuan secara teoritis dari bangku-bangku pendidikan secara formal (misalnya dengan gelar-gelar yang mentereng seperti bergelar Sarjana, Magister, Doktor dan bahkan Profesor), tapi cerdas, berkomitmen dan idealis serta paham pada persoalan yang dihadapi sehingga selalu berusaha membangun strategi untuk keluar dari persoalan itu.

Spirit Nasionalisme yang pluralis, adalah penghargaan terhadap kemajemukan. Nama Minahasa dalam pemaknaannya bahkan adalah pluralisme itu sendiri. Dalam gerakan kultural yang hendak kita bangun, mestinya juga bersemangatkan keberagaman, karena keberagaman sesungguhnya mengandung potensi yang besar dalam menghadapi tantangan dan ancaman. Dan karena memang juga gerakan kultural kita lahir dari refleksi atas usaha penyeragaman terhadap keberagaman oleh paham dan ideologi kelompok tertentu dalam negara ini.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip apa yang pernah dikatakan oleh Sam Ratu Langie di “Fikiran” (31 Mei 1930): “Setiap bangsa yang ingin mempertahankan jati dirinya, harus menghargai warisan suci tradisi dan budaya para leluhurnya; kita harus mempertahankan tradisi dan budaya bangsa Minahasa dengan segenap kemampuan dan semangat, karena semangat itu sendiri tidak lain mengandung tradisi dan budaya Minahasa.”

Tomohon, 9 November 2008

Selasa, 04 November 2008

Pembaruan Gerakan dan Pemikiran Kaum Muda:

Sebuah Harmonisasi Perbedaan Demi Kebenaran dan Kehidupan


Oleh: Denni Pinontoan

Banyak orang dengan disiplin ilmunya atau dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya telah dan terus mencoba mencari tahu apa kebenaran itu? Para Filsuf berusaha mencari kebenaran dalam diskursus pemikiran dengan terus berusaha menelaah sedalam-dalamnya arti di balik sebuah fenomen. Para teolog berusaha menyusun kebenaran berangkat dari apa kata kitab suci agama. Teolog Krisen dari Alkitab, ulama Islam dari Al Qur’an, para resi Hindu dari Kitab Weda, para pendeta Budha dari Kitab Tripitaka (kitab tiga keranjang) dan lain sebagainya. Telah berabad-abad kebenaran berusaha diungkap oleh manusia, dan kitab suci, tradisi agama serta teori yang dominan dianggap sebagai sumber kebenaran. Tapi mengapa orang terus mendiskusikan kebenaran?

Secara harafiah, kata “kebenaran” dapat diartikan sebagai sesuatu yang mencirikan atau menunjukkan hal-hal yang benar. Tapi, ini belum menjadi pengertian yang memuaskan Sebab, hal yang benar menurut si A belum tentu benar menurut si B. Menurut para ilmuwan, sesuatu dapat disebut benar jika sesuatu itu dapat dibuktikan secara ilmiah, yaitu sistematis, metodis, kritis, koheren dan objektif. Para filsuf hingga sekarang terus menerangkan apa yang disebut kebenaran menurut perenungan dan refleksinya. Para teolog mengembangkan kebenaran dari kitab suci, yang kebanyakan di antaranya menyebut bahwa sesuatu yang diperbuat manusia benar jika mematuhi dan tunduk apa pesan firman. Tapi, kebenaran ini belum tentu dapat dipahami dengan benar oleh para awam, rakyat kebanyakan dan para proletar. Itulah sehingga kebenaran seolah seperti proses pencarian yang tiada akhir. Dari situ muncullah pendapat bahwa di dunia ini kebenaran sifatnya relatif, sebab kebenaran yang mutlak hanya ada pada Yang Maha Benar, Yang Trasendental, yang disapa oleh manusia beragama dengan beragam nama.

Tapi kebenaran sebenarnya ada dan mestinya berada dalam interaksi dan sinergitas kehidupan manusia. Kebenaran yang dipahami beragam, bagaimanapun menegaskan satu yang sama, yaitu kehidupan. Filsuf, Teolog, dan Ilmuwan dalam perenungan, pemikiran dan penelitiannya, selalu berusaha menyusun pemahaman-pemahaman standar tentang kebenaran. Dalam perenungan, pemikiran dan penelitian itu, yang diusahakan sebenarnya adalah bagaimana agar kehidupan di dunia ini lestari. Sehingga yang berbeda dari antara mereka hanyalah soal cara atau metode. Semangat dan prinsipnya tetap sama. Begitu juga dengan para awam, rakyat dan proletar yang berjuang hidup dengan kemampuan yang dia miliki, mereka pun dalam rangka melestarikan kehidupan.

Sehingga, kebenaran mestinya adalah kehidupan itu sendiri. Tapi, kehidupan yang merupakan kebenaran itu, adalah kehidupan yang manusiawi. Artinya, dalam memperjuangkan kehidupan, manusia kemudian tak boleh mengabaikan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan persamaan hak. Seniman yang mengusahakan keindahan dalam karya seninya, adalah juga sedang melukiskan kebenaran dalam jejak-jejak kehidupan di dunia ini. Sebab, sebuah karya seni yang benar mestinya berisi nilai keadilan, kemanusiaan dan persamaan hak. Dalam sebuah karya seni lukis misalnya, keadilan adalah soal warna-warni yang berbeda tapi saling berharmonisasi membentuk keindahan. Dalam karya seni sastra kalimat-kalimat yang beraneka arti akan saling bersinergi untuk membentuk keindahan bahasa. Dalam seni gerak, gerakan tubuh manusia yang naik turun seperti grafik akhirnya menunjukkan sebuah keindahan. Dan, dalam seni suara, nada do, re, mi, fa, so, la, dan si berpacu dalam irama yang indah, untuk sebuah lagu yang menyenangkan hati.

Kebenaran akhirnya adalah semua gerak manusia yang mencirikan keadilan, kemanusiaan, dan persamaan hak untuk sebuah kehidupan yang terus berproses menuju kesempurnaan. Dan kesempurnaan itu sendiri ada dalam gerak manusia seperti warna-warni, gerak tubuh dan tangga nada dalam seni yang memancarkan keindahan. Sehingga, kebenaran tidak hanya untuk diucap, tapi harus dilakonkan dalam kehidupan. Setiap denyut kehidupan mestinya adalah proses pencarian kebenaran. Begitulah sehingga Yesus tidak memisahkan “kebenaran” dan “kehidupan” ketika Dia berbicara, “Akulah Jalan dan Kebenaran dan Hidup”, karena Yesus memang sedang berbicara kehidupan yang benar, bukan kehidupan yang membinasakan. Muhammad, membawa agama Islam, yang berarti damai, dan penyerahan diri kepada kehendak Ilahi. Ulfat Aziz-us-Samad, cendekiawan Islam asal Pakistan mengatakan, tujuan agama yang benar, seperti yang dibawa Muhammad adalah perdamaian. Perdamaian yang tak terelakkan dari ruh ini adalah keselarasan dengan Ilahi, dan kemauan baik di antara sesama manusia, serta cara untuk mencapai kedamaian ummat manusia. Begitu juga dengan Sidharta Gautama, Zarathustra, Nabi Kong Hu Cu, Sokrates, bahkan Gandhi, yang telah hadir dengan semangat dan spiritnya untuk kehidupan yang dilandasi pada usaha pembaruan demi kebenaran yang dicari.

Ketidakbenaran tentu lawan dari kebenaran. Ketidakbenaran adalah kegagalan manusia dalam mengharmonisasikan perbedaan. Dan, kita kaum muda ada dalam perlawanan terhadap ketidakbenaran yang dibuat oleh negara, yang telah membelenggu kita dan rakyat kebanyakan dengan kekuasaannya. Maurice Duverger, bahkan mengambarkan Negara dengan kekuasaannya seperti dewa Janus, yang bewajah ganda itu. Negara, dalam pengambaran Duverger itu adalah, “…dalam setiap dan di setiap tempat adalah alat dominasi sekelompok tertentu atas kelompok lain, dipergunakan oleh yang disebut pertama demi keuntungan sendiri dan demi kerugian bagi yang lain” (Duverger: 2005, 28). Selain idealnya, negara mestinya adalah alat untuk menjamin ketertiban social demi kepentingan umum.

Ruang politik, social dan ekonomi kita yang besar adalah Negara Indonesia. Pada ruang yang lebih kecil, kita ada di daerah Sulut ini. Tapi, lebih kecil dari itu, tapi memiliki daya gerak yang besar, adalah komunitas kita sendiri yang meski berbeda-beda ideology, tapi dalam pemikiran dan gerakan ternyata bertemu dalam keprihatinan yang sama terhadap penderitaan rakyat.

Tapi, Indonesia masih dipenuhi dengan berbagai ketidakbenaran. Para kapitalis yang dilindungi negara terus melakukan aksinya mengekploitasi sumber daya alam milik bersama dan tak hentinya menjajah kehidupan rakyat kecil. Sementara pembangunan yang digalakkan agaknya bukan untuk rakyat, tapi hanya untuk mereka sendiri saja (para elit itu). Krisis ekonomi di tahun 1997 sepertinya menggambarkan kepada kita kegagalan pembangunanisme yang digalakkan oleh negara (lihat tulisan Mansour Fakih dalam Jurnal Wacana Edisi 2 tahun 2000, hal. 3.). Setelah sadar dengan kegagalan itu, Negara-negara di dunia ketiga, hampir terpesona dengan globalisasi yang telah melembaga sejak tahun 1994, ketika ditandataganinya perjanjian pedagangan bebas di Marrakesh, Maroko.

Reformasi 1998 – setelah kegagalan pembangunisme yang ditandai dengan krisis ekonomi tahun 1997 – hadir dengan apa yang disebut dengan desentralisasi atau pembagian kewenangan kekuasaan dari pusat ke daerah. Reformasi itu semacam memberi harapan untuk perbaikan tata politik dan ekonomi Indonesia. Namun, meski setuju dengan desentralisasi, tapi Francis Fukuyama mengingatkan untuk juga mewaspadai resiko yang muncul daripadanya. Menurut Fukuyama, pendelegasian otoritas kepada pemerintah pusat ke pemerintahan lokal di negara-negara berkembang sering kali penguatan para elit local. Ini memungkinkan elite local untuk terus memegang kendali atas berbagai kepentingan mereka tanpa ada kontrol dari luar (Fukuyama, Jakarta: 2005, 92). Sementara Henk Schulte Nordhot dan Gerry van Klinken ketika menulis pendahuluan dalam buku Politik Lokal di Indonesia (Jakarta: 2007) agaknya harus mempertimbangkan pendapat para pengamat lain yang menyangkal optimisme terhadap desentralisasi. Seperti dituliskan mereka, desentraliasi itu tak akan berhasil karena usaha ini berhadapan dengan apa yang mereka sebut: ”...sabotase birokratis, politik kekuasaan yang korup, oportunisme jangka-pendek, dan tiadanya kesamaan visi yang luas tentang masa depan.”

Di tingkat local, selain sejumlah persoalan imbas dari ketidakberesen tata politik dan ekonomi nasional, kita juga berhadapan dengan semakin tak terkendalinya kerakusan elit kita untuk mendirikan dinasti-dinasti politik baru. Di masa baru lewat, kita mengenal ada istilah “AMPG” (anak, mama, papa golkar), sekarang ternyata bukan cuma itu, malahan lebih gila lagi. Petinggi-petinggi partai, bukan hanya Golkar, juga telah melakukan itu, papa, mama, anak, menantu, saudara dan bahkan teman selingkuh dijadikan Calon Anggota Legislatif (caleg). Sementara caleg yang banyak lainnya sangat diragukan komitmen kerakyatannya. Mau jadi apa daerah ini ke depan kalau wajah politik kita begitu? Sementara kehadiran FPI (Front Pembela Islam) di Sulut akhirnya menambah daftar milisi-milisi (yang lainnya Brigade Manguni, LC, dsb) yang berideologikan sektarian.

Setidaknya beberapa fakta ini (kita masih bisa menambah daftar persoalan yang lain) dapat menyadarkan kita akan tantangan yang semakin berat. Maka mestinya, selain kita harus terus bergerak, dan merenung dan berefleksi dari nalar yang sadar, yang terpenting lainnya adalah membangun kekuatan bersama dengan menyatukan segala daya yang kita miliki. Penyatuan ini mestinya harus dipahami sebagai upaya harmonisasi perbedaan yang kita miliki. Sumpah Pemuda 80 tahun yang lalu (1928-2008) adalah juga dalam semangat itu. Dari semangat itulah kita mendiskusikan pembaruan pemikiran dan gerakan kaum muda dalam usaha memberi peran bagi perbaikan tata politik dan ekonomi yang lebih baik di Indonesia dan terutama Sulut. Saya mengusulkan agar kita juga memikirkan ulang sistem NKRI kita.

Tomohon, Minggu 26 Oktober 2008

Jumat, 26 September 2008

Menanti Janji Kaya di Masa Depan

Oleh Daniel A Kaligis

[www.kabarindonesia.com]


LETUP bom bunuh diri, kedasyatan yang mewakili irama kematian karena mesin pembasmi mencari mangsa mereka yang diincar keberingasan. Oh betapa secerca harapan dari puing-puing krisis berkepanjangan, yang menguatkan suara kelaparan dan kekurangan gizi di banyak lokasi, daya beli terpuruk, kekerasan dalam pemaksaan kehendak menumpukkan lebih banyak lagi persoalan sosial di muka bumi ini. Dana berbandrol miliaran terkucur untuk sedih yang tak berujung, tapi tangis tak berakhir, tawa mereka yang berpesta atas nama demokrasi sudah mencuatkan kegusaran yang tinggi di andrenalin ragu-ragu, sebab hukum terbeli bukan cuma perkara moral dan kebiasaan belaka. Tanyakan berapa banyak lagi pemekaran yang diumumkan untuk melaksanakan “panas” suara hati yang terbeli. Kita masih sok religius membisikan ketertindasan sistem, dan kenyataan derita selalu dipelintirkan show debat publik yang menggelitik ketersinggungan. Sumbu api ditarik dari kompor demokrasi berbingkai tirani. Ia sudah lama menyala, dan titiknya semakin memanas.

Padamkan arti kebimbangan. Bila sejenak satu bumi hening apalagi tanpa gerak dan diam, maka, seperti itu terobosan panas matahari akan melenyapkan semesta kita. Seiring letup petaka, masih ada yang tersumbat menghambat alir. Sampah-sampah berserakan di mana-mana. Tapi, kita menatap kegentingan issue yang berseliweran dalam proposal masa depan. Infrastruktur terbengkalai, ketiadaan mengumumkan pesona mimpi. Di sini kota menjadi janji abadi. Negeri dibelit kusut benang sejarah seakan hari ini masih kemarin bersama sejuta teori kemakmuran. Sorot cahaya untuk persoalan hari ini mendekam dalam kebisuan transparansi dan informasi tersumbat laksana drainase di kota kita. Pakar ekonom negeri kita di masa lampau diberi beasiswa untuk melanjutkan studi pascasarjana di negara adi kuasa. Mereka lalu getol mempelajari ‘ilmu pembangunan’ yang dalam dekade 1950 hingga 1960-an ilmu itu sedang populer, antara lain ilmu ekonominya Rostow, “5-Stages of Economic Growth”. Ini tingkatannya: tahap tradisional, persiapan untuk tinggal landas, tinggal landas, tahap matang, dan tahap konsumsi massal. Ilmu ekonomi pembangunan ini kemudian disebarkan dan merasuk hingga detik ini di masyarakat yang doyan mimpi. Sayang, hingga sekarang kita belum juga ‘tinggal landas’. Kita kandas oleh guratan hari penuh issue dan janji gombal pembangunan. Menjadi kota yang diwisatai karena sudah ada banyak orang yang boleh bicara dengan bahasa itu-itu saja, dipaksakan issue yang itu-itu saja, dan ditanyai menyangkut yang itu-itu saja. Sehingga setiap isi gedung menyuarakan bahasa yang itu-itu saja supaya boleh dibilang loyal pada atasan dan bisa terima bantuan yang luar biasa. Ini akan menjadi “bom waktu” kemerosotan idea dan kreasi di masa akan datang.

Peta kita dibom investasi. Sejurus ilmu penunda lapar, supaya rakyat tahu bahwa ada kepastian bagi masa depannya yang akan dijual. Sumbu persoalan ekonomi sudah dipendekkan dengan hilangnya subsidi. Dengan demikian, ketergantungan akan memainkan perannya dalam opera zaman ini. Tidak! Kita masih kaya sumberdaya alam. Ini silsilah yang pernah dituliskan beberapa tahun silam tentang milik kita itu, yang mana “selama lebih dari tiga puluh tahun Caltex sudah menambang dua lapangan minyak terbesar di Asia Tenggara, lapangan Minas dan Duri di Riau yang pernah diselamatkan marinir dan RPKAD pada tahun 1958. Mobil Oil sudah hampir menghabiskan lapangan gas Arun di Aceh. Perusahaan migas Total dari Perancis menambang di Delta Mahakam. Lebih dari 90 persen produksi minyak dan gas Indonesia dilakukan oleh perusahaan asing. Migas itu kemudian dieksport, sebagian besar ke Jepang, Korea dan Taiwan.”

Kita masih kaya. Pada tahun 1990-an diprediksi keuntungan bersih perusahan migas mencapai sekitar lima juta dolar per hari. Minyak dan gas Indonesia, sebagian besar dari Pulau Sumatra, sudah berhasil dipakai mengembangkan industri Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Tahun 2000, “katanya” minyak Indonesia tidak bisa lagi dieksport karena hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hanya beberapa saat lalu sudah ada perjanjian untuk gas padat kembali dieksport ke luar negeri. Juga pada era 2000-an gas Indonesia di dekat Pulau Natuna, sudah mulai dikerjakan Exxon. Kontrak pengembangan lapangan gas Natuna ditandatangani ketika presiden Clinton yang berkunjung dalam rangka APEC beberapa tahun silam. Keuntungan dari penggalian barang tambang seperti di Freeport misalnya, dan dari penebangan hutan Kalimantan juga sudah mengalir ke perusahaan-perusahaan Amerika Serikat, Jepang, Korea atau Taiwan. “Tenaga buruh Indonesia dipakai untuk mendatangkan keuntungan bagi konglomerat Barat dan partner lokal mereka.” Betapa kita kaya?

Barisan gusar menyemut di mana-mana tempat. Menanti janji kaya masa depan. Cerita di atas hanya peran membingungkan yang dipertahankan sampai kebenaran membuka tirai misteri kematian tanpa alasan jelas di muka bumi kita ini. Bahwa, ada petaka yang sementara dirancang demi ketidakadilan yang langgeng di bumi berdosa ini, dan ketamakan adalah sumbu dari perkara ini.(*)


Tanah Minahasa, 2008

Senin, 22 September 2008

Desa, Negara dan Partai Politik di Indonesia

Oleh Denni Pinontoan


Sungguh menarik ketika menyaksikan program siaran Debat Partai di TVOne (Kamis, 5 September) yang menghadirkan Partai Bintang Reformasi (PBR) dan Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK). Salah satu topik menarik yang didebatkan oleh dua partai itu melalui masing-masing juru bicara adalah soal eksistensi desa. Masing-masing pembicara berbicara seolah-olah paham benar tentang persoalan ribuan desa di Indonesia. Tapi, itu kan debat partai, jadi yang ditampilkan adalah retorika yang kosong dan justru berbahaya bagi sekitar 70 persen rakyat Indonesia yang hidup di pedesaan.

Tapi sebenarnya bukan hanya dua partai itu yang “menjual” isu desa yang hanya membohongi rakyat. Prabowo dalam iklan kampanye di sejumlah TV swasta nasional juga menjual isu yang sama. Bagus iklannya, karena sebelum mengungkap janji-janji manis untuk rakyat, Prabowo - yang sekarang sudah kentara menggunakan Partai Gerindra untuk berusaha menjadi presiden – terlebih dahulu menjelaskan sejumlah keprihatinan yang menimpa kebanyakan rakyat di Indonesia. Materi kampanye ini bahkan diperkuat dengan kapasitasnya sebagai ketua Himpunan Keluarga Tani Indonesia (HKTI). Tapi, menurut saya, dengan iklan itu Prabowo juga melakukan pembenaran diri. Pertanyaannya, selama menjabat ketua HKTI, apa yang telah diperbuat oleh Prabowo untuk memperkuat posisi hidup rakyat petani dan nelayan yang kebanyakan hidup di pedesaaan? Apakah ada sesuatu perubahan di Tanah Minahasa ini atas jasa dari Prabowo?

Tapi, begitulah yang harus terjadi. Namanya juga iklan dan kampanye. Yang terjadi memang adalah jual kecap. Seribu janji manis diucap tanpa beban. Laksana seorang laki-laki buaya darat mengungkap janji dan cinta kepada seorang gadis belia. Sebenarnya ini tergantung yang digoda (baca: rakyat) mau percaya atau tidak. Kalau percaya, mudah-mudahan saja kita punya keyakinan bahwa kita tidak sedang dibodohi. Kalau tidak percaya, syukur karena ternyata kita sudah pinter dan cerdas menilai.

Desa Sebagai Komunitas Adat

Desa, sejatinya adalah komunitas adat, yang kekuatannya untuk survive antara lain adalah modal sosial, yaitu solidaritas, religiusitas, kepemilikan terhadap sumber daya alam, dan semangat hidup yang tinggi. Masyarakat desa dengan modal sosial yang bersumber dari nilai-nilai dan kearifan budaya menata, mengolah manajemen pemerintahannya secara demokratis, mengelolah sumber daya alam yang berbasis ekologis, berekonomi secara egaliter dan beragama secara inklusif dan tolerir. Itu romantisme kita tentang desa yang sebenarnya di masa-masa yang sudah sangat lampau. Dan desa di awal sejarahnya memang tidak dilahirkan sebagai komunitas politik, sebagaimana misalnya para pendiri negara ini mendirikan Indonesia.

Tapi, proses politisasi dan kapitalisme yang berhasil memperlemah posisi desa dalam rangka politik kekuasaan dan hegemoni akhirnya memang memberangus modal sosial masyarakat desa itu. Rezim orde baru paling berhasil melakukan dominasi atas desa dengan meneruskan kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mengubah pemerintahan desa yang sangat demokratis berbasis kearifan lokal menjadi pemerintahan desa yang feodalistik dan elitis. Institusi desa akhirnya menjadi sruktur paling bawah dalam sebuah negara, yang kemudian membuat warganya menjadi korban pembangunisme dan politik kekuasaan rezim. Sentralisme, hegemoni dan politik kekuasaan negara serta kekejaman kapitalisme, akhirnya telah berhasil membuat desa rapuh dalam berhadapan dengan perubahan zaman. Contoh dekat dengan kita apa yang terjadi di Tanah Minahasa ini. Sekarang ini pemilihan hukum tua, bukan lagi sebagai pesta demokrasi khas Minahasa melainkan telah berubah menjadi seremonial rebut merebut kekuasaan. Orang di wanua, tak lagi menilai kualitas diri seorang calon hukum tua, yaitu Ngaasan, Mawai dan Niatean, melainkan lebih ke soal uang. Siapa yang banyak uang, dia yang punya peluang besar menjadi hukum tua. Apa beda fenomena ini dengan pemilihan calon anggota legislatif di zaman reformasi ini?

Pun, era reformasi yang hadir dengan semangat desentralisasinya tak bisa berbuat banyak untuk memperkuat masyarakat desa. Henk Schutle Nordhlot dan Gerry van Klinken ketika menuliskan Pendahuluan dalam buku Politik Lokal di Indonesia (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, 2007) mengatakan, “Pergeseran dari pemerintahan yang sentralisasi ke pemerintahan desentralisasi tidak sinonim dengan pergeseran dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis, juga tidak secara otomatis mengisyaratkan pergeseran dari negara yang kuat ke negara masyarakat sipil. Melemahnya negara pusat tidak secara otomatis membuahkan demokrasi lokal yang lebih kuat. Sebaliknya desentralisasi di bawah kondisi-kondisi tertentu bisa dibarengi dengan bentuk-bentuk pemerintahan otoriter.”

Artinya, reformasi belum secara otomatis mengangkat derajat hidup rakyat pedesaan di Indonesia. Ini karena yang terjadi di Indonesia adalah reformasi bukan revolusi, yang kalau revolusi sebenarnya lebih kepada usaha melakukan perubahan secara radikal, termasuk sebenarnya sistem negara yang sentralistik dan feodalistik ke sistem pemerintahan yang berbasis daerah dengan keragamannya. Mengapa tidak kalau revolusi itu akhirnya menjadikan Indonesia sebagai negara federal?

Sehingga, kalau memang niat kita tulus untuk membangun desa, maka yang harus dituntaskan pertama adalah model dan paradigma pembangunan negara ini. Desentralisasi memang sementara berlangsung, tapi seperti kata banyak orang bahwa desentralisasi yang berwujud dalam kebijakan otonomi daerah sebenarnya belum sepenuhnya menjadikan daerah sebagai subjek. Yang terjadi memang seperti kepala sudah di lepas, tapi ekor masih dipegang. Buktinya, meski beberapa kebijakan politik sifatnya sudah bottom up, tapi kebanyakan perundang-udangan negara ini masih dalam rangka pemusatan kekuasaan. Kita akhirnya belum bisa mendapatkan partai politik yang berbasis daerah dalam rangka membangun Indonesia. Partai Politik sudah begitu nasibnya, apalagi presiden dan perangkat kabinetnya.

Partai Politik Instrumen Hegemoni Negara

Sehingga, nantinya Pemilu 2009 dan Pilpres 2010 sangat pasti belum bisa memberi harapan perubahan bagi rakyat desa? Ya, karena sentralisme dan hegemoni politik elit masih akan terus ada. Potensi itu sudah bisa kita lihat mulai dari sekarang. Meski katanya sudah desentralisasi, tapi semua instrumen politik kita masih terpusat. Lihat saja, Pengurus Pusat partai politik masih harus di Jakarta. Berikut Presiden masih sangat sulit di luar Jawa dan Islam. Maka dari itu, visi misi partai politik nasional semuanya bersifat sentralistik dan masih menyembah NKRI dengan terus mempercayai doktrin nasionalisme yang buta. Harapan sebenarnya ada kalau Partai Lokal seperti di Aceh juga diberlakukan di semua daerah di Indonesia.

Tapi, begitulah adanya negara. Negara seperti Dewa Janus yang berwajah ganda. Satu sisi katanya untuk kebaikan, tapi sisi lainnya adalah keburukan. Tapi sebenarnya negara bukanlah kenyataan yang objektif. Negara adalah sesuatu yang abstrak, termasuk janji-janji tujuan kesejahteraannya. Institusi negara hanya mereduksi kebebasan manusia untuk berinovasi dan berkreasi menuju pada tujuan hidupnya yang sejahtera. Hukum dan perundang-undangan negara yang sifatnya memaksa itu, akhirnya mengganti kedisiplinan masyarakat adat yang dibangun oleh solidaritas, kepercayaan dan komitmen untuk mencapai tujuan bersama. Sisi baik negara di zaman sekarang ini rupanya hampir sulit kita temukan. Kalau ada yang bicara bahwa negara telah berhasil mengadakan pembangunan dan modernisasi, toh dua hal itu akhirnya harus memakan korban, yaitu alam yang sejuk menjadi gersang dan solidaritas sosial masyarakat adat menjadi individualistik. Buruk juga hasilnya. Di sini relevansi para pemikir anarkhis, yang berusaha menghancurkan esksistensi negara,

Sementara dalam usaha negara mendominsi kesadaran manusia dengan propaganda nasionalismenya, Partai Politik adalah sesuatu yang menjadi kenyataan objektif sebagai alat negara untuk usaha penundukan dan penguasaan selain militer. Tapi, bukankah partai politik alat untuk menyuarakan aspirasi rakyat? Begitu kata mereka. Tapi yang kita lihat dalam prakteknya apa? Bukankah, anggota-anggota dewan di legislatif yang semuanya adalah kader partai akhirnya berselingkuh mesra dengan eksekutif yang membagi-bagi kekayaan milik rakyat. Kalau ada anggota dewan yang berani menentang praktek sesat itu, ia harus bersiap-siap ditendang ke luar sistem itu. Lihat saja, sekarang ini di luar gaji rutin biaya makan, minum, perumahan dan bahkan uang untuk berselingkuh dengan pelacur di hotel rasa-rasanya juga harus dibiayai oleh negara. Sungguh memiriskan!

Tapi sebenarnya problem ini bukan terutama pada manusia-manusianya, melainkan pada struktur yang membentuk si manusia itu. Kita juga harus jujur mengatakan bahwa masih banyak manusia setengah lurus yang berkeinginan memperjuangan hak-hak hidup rakyat melalui partai. Tapi karena partai akhirnya hanya menjadi alat negara yang sentralistik dan hegemonistik untuk penundukkan maka si manusia yang bercita-cita mulia itu harus kalah juga. Partai yang menjadi alat itu pada dasarnya selalu memaksa diri untuk menjadi tujuan. Apa mungkin kita bisa memperjuangkan aspirasi rakyat, kalau menjadi caleg saja kita harus menyetor uang jutaan rupiah kepada partai? Atau, apa bisa kita bicara mengangkat derajat hidup rakyat daerah dan desa, sementara partai-partai kita orientasinya masih Jakarta? Mana mungkin kita berjuang untuk menegakkan HAM sementara Ketua Umum atau Pendiri partai kita pelanggar HAM dan fasis. Mana mungkin kita memperjuangkan hidup damai untuk semua rakyat Indonesia kalau partai kita bercita-cita ingin menguasai negara ini dengan ideologinya yang eksklusif. Apalagi kalau ide kita untuk memperbaiki negara ini dengan sistem federal, sementara sekarang ini tidak boleh ada partai yang memiliki visi dan misi itu.

Ramlan Surbakti (http://www.knaw.nl/indonesia/) sebenarnya telah coba mengindentifikasi sekurang-kurangnya ada tiga kelemahan utama secara internal dan eksternal Partai Politik di Indonesia, yaitu: (1) ideologi partai yang tidak operasional sehingga tidak saja sukar mengidentifikasi pola dan arah kebijakan publik yang diperjuangkannya tetapi juga sukar membedakan partai yang satu dengan partai lain; (2) secara internal organisasi partai kurang dikelola secara demokratis sehingga partai politik lebih sebagai organisasi pengurus yang bertikai daripada suatu organisme yang hidup sebagai gerakan anggota; (3) secara eksternal kurang memiliki pola pertanggungjawaban yang jelas kepada publik.

Akhirnya memang, partai yang berteriak-teriak memperjuangkan rakyat daerah dan desa hanyalah ilusi politik saja. Kecuali, kalau ada kader partai yang menjadi caleg, yang berani menghadapi resiko dan penuh komitmen memperjuangkan hak-hak hidup rakyat desa. Kalau ada caleg begitu, dia yang kita harus dorong bahkan pilih nanti. Tapi sayang, dari ratusan atau bahkan ribuan caleg yang ada di daerah kita ini, hanya satu dua orang yang begitu. Dan kalau ada caleg semacam itu, rakyat mestinya mengawal dia agar tidak jatuh dalam godaan kaya dan berkuasa sendiri, dan perkuat dia menghadapi dominasi partai yang sering berlebihan.

Kampus Fak. Teologi UKIT (YPTK) Tomohon,

Jumat, 5 September 2008

Rabu, 17 September 2008

LARA:

Cerpen Daniel Laligis


"Pergi....pergi...pergi..................

Pergilah Lara,

Air mata sudah kering, semata memandangi kisah tanah kita yang tergadai

Tabung bencimu di negeri seberang"


AKU MEMANGGIL DIA LARA, SEPERTI IA MENYEBUT DIRINYA. Lara baru dari sungai. Tergopoh-gopoh ia memasuki ruang berbatas tiang-tiang bambu berlantai tanah sambil menggendong bungkusan kain yang berisi kain juga. “Kamu habis nyuci pakaian Lara?

Lara tidak menjawab hanya mengangguk. Ia menunduk di perapian, merapatkan kayu bakar sambil meniup-niup mengundang api menyala kembali. Tangan perempuan muda itu cekatan meminggirkan bara yang sudah mulai mengabu. Air yang ia masak sudah mendidih, uap mengepul dari belalai ceret aluminium. Ia merapatkan belanga yang berisi nasi ke dekat api, demikian juga belanga tanah berisi lauk sisa semalam.

Ini kebiasaan Lara saban pagi. Pergi ke pancuran di hulu kuala untuk nyuci dan mandi, sambil membiarkan api menyala di perapian mendidihkan air minum dan memanaskan penganan. Semua dalam perhitungan yang sudah terbiasa ia lakukan. Tangan tak pernah diam. Selepas membenah perapian, Lara mengambil cucian yang tadi lalu menjemurnya di belukar keras yang membatasi ladang dengan kaki gunung. Aku menajamkan pisau dan parang sambil memandangi Lara. Mataku tak lepas dari geliat tubuh perempuan yang sudah empat purnama hidup seatap dengan aku.

Hari ini aku bangun agak siang karena semalam terlalu banyak minum saguer asang di rumah Ukung. Iya, tadi malam aku ingat, bicaraku dengan nada tinggi memperingatkan warga Wanua bahwa hutan sudah dipatok untuk proyek dari pusat, dan kita di Wanua tidak tahu apa yang akan dikerjakan oleh orang-orang yang mengaku pemilik negara ini di hutan itu. Nanti malam masih ada pertemuan lagi di rumah Ukung. Semua laki-laki dewasa warga Wanua diundang. Aku berharap Lara tidak ke sana membantu istri Ukung membagi-bagi kue dan minuman pada peserta rapat. Bila Lara ke sana, rasanya kelaki-lakianku musnah karena aku selalu dicemoh. “Yang baru kawin tidak usah repot-repot ikut rapat, apalagi malam-malam begini...., pulang saja dan langsung tidur biar cepat dapat keturunan.” Oceh inilah yang membuat aku tidak tahan.

Pagi ini ketika ocehan itu mengiang di telinga, aku jadi ingin tidur lagi. Lara masih bergerak-gerak di belukar menebar jemuran, aku membasuh diri dengan air di tempayan lalu kembali bilik pondok di bagian atas menunggu Lara yang sebentar lagi datang untuk menukar pakaiannya yang basah.


* * * * * * *

LADANG SETEKTEK PENINGGALAN MENDIANG ORANG TUA ADALAH JUGA HALAMAN RUMAH KAMI. Aku sengaja membiarkan rumpun bambu dan empat batang klutuk tumbuh di dekat pondok, agar walau angin menderas pondok tetap kokoh. Pondok dibuat agak tinggi, agar dari sana boleh mengintai jalan dan siapa saja yang lewat.

Di ladang ini, di sana-sini kutanami cabe, kunyit, jahe, seledri, kemangi, jagung, dan ketela. Sereh dan talas tumbuh liar di antara rumpun bambu dan di batas-batas ladang, meliar hingga masuk ke pelosok hutan. Panen tak kenal musim. Kemarin aku dan Lara ke kota membawa sekeranjang cabe dan sekitar empat ratus ikat sereh yang dipadu daun kunyit dan daun limau dan kemangi. Bumbu campur ini harganya seribu per ikat. Hasil yang lumayan, apalagi sekarang harga cabe lagi bagus. Kami membawa pulang beberapa lembar pakaian dan uang sebagai ganti jualan hasil ladang.

Tapi, itu sudah silam. Tahun kemarin memang masih lebih baik nasibnya dari hari ini. Aku lebih banyak mengurusi politik di kampung. Semenjak masuk proyek yang katanya ingin menghutankan kembali tanah adat di Wanua, kami lebih banyak berkumpul dan membahas strategi. Waktu banyak sekali yang disita kegiatan itu. Walau dapat uang ketika berkumpul, namun ladang sudah mulai terbiar. Bagaimana aku bisa bangun subuh, sering kami berdiskusi hingga lewat tengah malam. Lara juga ikut berdiskusi, ia malah sekarang sudah berani memprotes jika aku minta tolong untuk mencuci pakaianku. “Kamu juga punya tangan, tangan Lara cuma dua!” Ketus sekali ia sekarang, ia terlihat tidak bernafsu melihat aku, ia malah jadi genit sekali jika mandor proyek datang ke Wanua.


* * * * * * *

SUDAH TIGA BAIT KUNYANYIKAN LANTUN DONCI MAENGKET. Berharap Lara dapat mengingat kenangan sewaktu pacaran. Harum rimba di mana kami berkejaran memacu hari, seakan kembali dalam inspirasiku. Terbayang air menetes satu-satu ketika embun baru dijilati sinar fajar dan aku mengintip Lara menyeruak dari pondok orangtuanya di ujung Wanua. Lara yang mungil empat tahun silam begitu menggemaskan, pun hingga hari ini. Bila ia datang ke pancuran untuk menimbah air atau mandi aku selalu menyempatkan diri untuk menggodanya. Lara....Lara....

“Tongkoran ne wene wailan lakerreeeee, .............koko luri si timeka moooooo.....” Aku melantun donci maengket lebih keras. Saguer asang satu kokok, hampir tandas di ceret plastik.

Lara sudah memutuskan untuk pergi. Semalaman aku membujuk Lara supaya ia memberikan kesempatan di mana aku boleh hidup bersama dengan dirinya. Bersama lagi mengusahakan ladang setetek. Menanam cabe, kunyit, jahe, seledri, kemangi, jagung, dan ketela.

Aku mengulang hayalanku beberapa tahun silam dengan Lara. “Kita akan membangun Wanua. Di tanah ini, kita akan berketurunan dan menjadikan tanah ini sebagai berkat bagi keturunan kita. Setidaknya biarlah kemarin pergi Lara.”

“Tidak! ......Lara perempuan merdeka. Lara juga punya cita-cita bagi tanah ini. Lara harus keluar dari Wanua. Lara akan mencari uang yang banyak dan entah kapan kembali ke sini, Lara belum tahu pasti. Lara akan mengingat semua kenangan.” Lara berbicara seperti singa betina yang lapar. Lara tak tertahan. Pergi....pergi........pergilah!

Minahasa, Januari 07

Sebuah Sikap Bagi Tangan Tengadah

Oleh: Daniel Kaligis

TELAPAK masih menadah. Ada juga tangan-tangan yang mengisyaratkan rela terus memberi. Pada sebuah pedoman yang terdiam jutaan ketika menyebut, “bila tangan kanan memberi, janganlah tangan kiri mengetahuinya”. Tetapi, pemberian yang selalu disebut-sebut sekarang ini adalah sesuatu yang dimaklumi dan supaya diketahui banyak manusia, apalagi ketika dipublikasikan media masssa. Dan memberi yang saat ini sudah membuka sejumlah keresahan, bahkan ada yang terkapar sebelum harapan terkabul.

Saya coba mengutip berita yang disiarkan via layar kaca, demikian juga apa yang dikumandangkan berbagai suratkabar. belumkah hal ini membuat kita tersadar? “Korban tewas pada peristiwa pembagian zakat di Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo Kota Pasuruan, Jawa Timur, Senin (15/9), terus bertambah.” Karena seperti itu pula kabar kemarin menjadi gunda dan diumbar berlebihan. Tanda-tanda darah serupa bendera ditera sebagai peringatan, dan mereka yang bertugas mencari tahu sebab-sebab, memberi kesimpulan sementara terhadap alasan-alasan kematian. Sejauh ini, belum ada pasal-pasal belum dikenakan pada peran berlebihan, selain menyalahkan keadaan.

Takala anda melihat dalam soal yang kemarin itu, menurut anda, siapa yang harusnya jadi penanggungjawab utama dalam eskalasi antara si pemberi dan si penerima? Antara yang punya dan yang hampa? Atau kita akan menyalahkan situasi ketika acara sudah berujung dan sisanya adalah keteledoran yang harus dimaafkan dan dilupakan? Sekarang hanya murung menunggu kejadian berikutnya, bila senyum sudah dipaksakan bagi keraguan-keraguan yang berlanjut. Di sini kita melihat kemunafikan berjalan, berkeliling ke segala tempat, memamerkan tiap senti di tubuhnya yang boleh merampok perhatian.

Ini mungkin salah satu sebab. Menurut IMF, mungkin saja resesi ekonomi dunia itu terjadi apabila pertumbuhan ekonomi global rata-rata berada di bawah 3 persen. Tahun silam, lembaga itu mencatat pertumbuhan ekonomi dunia mencapai 4,9 persen dan diperkirakan melemah menjadi 3,7 persen dan angka revisi baru dari prediksi sebelumnya 4,1 persen yang katanya dapat tercapai pada tahun ini.

Tudung berita, sekelit peristiwa yang jadi catatan sejarah usang adalah kenangan pahit yang masih akan berulang di lain hari. Mendaur resah yang silih berganti di setiap zaman dan peradaban, dan jadi sandungan bagi mereka yang belum berpengalaman dan kurang pengertian. Setelah kejadian ini, ada pertanyaan mendesak namun hanya dapat dijawab hati.

Bagaimana mengurai segala sebab yang sementara dilahap hari ini? “DPR dan MPR hanya simbol belaka. Berita seputar gizi buruk, nasi aking, orangtua mengajak keluarga bunuh diri akibat tekanan ekonomi yang sangat berat tidak pernah bisa menyentuh nalar dan nurani DPR-MPR yang telah terbentengi oleh tembok materialisme. Bukan dampak kenaikan harga BBM yang mereka diagnosa-analisa secara lebih seksama dan menyeluruh bagi kehidupan ratusan juta warga negara, melainkan menuntut kenaikan gaji dan tunjangan mereka sendiri. Memang beginilah nasib republik munafik. Rezim Orba ternyata bukan satu-satunya rezim bobrok di Indonesia karena selama rezim Orba memerintah Indonesia masih bisa berswasembada beras dan tidak terjadi rutinitas antrian minyak tanah. Runtuhnya Orba dulu ternyata memunculkan rezim yang tak kalah rakus dan bengisnya. 100 tahun Kebangkitan Nasional menjelma Kebangkrutan Nasional. Kebangkrutan mentalitas penyelenggara negara hingga seluruh pelosok ruang di republik munafik ini, dan bagaimana dengan rakyat yang telah memilih mereka melalui pesta demokrasi dengan konvoi kendaraan berbahan bakar gratis dan nasi bungkus? Itulah kini yang menjadi tuaian sebagian rakyat yang menjadi simpatisan partai dan capres dengan kampanye berbahan bakar gratis itu.” Sambungan dari kutipan itu ada di paragraf selanjutnya.

Seberapa yang boleh kita beri, janganlah dengan berat hati dan keterpaksaan, agar tingkap-tingkap langit tetap terbuka. Ada yang bersuara setelah menatap realita hari ini dan boleh beroleh sedikit pengertian. Ini sedikit kutipannya yang kritis tentang sebab-sebab kemiskinan. “Pakar harta, pengusaha kelas paus, lembaga kehartaan, lembaga sosial, departemen kekayaan, dan lain-lain pun bisa mahir berbusa-busa bila bicara soal definisi miskin, dan strategi jitu menaklukkan kemiskinan. Data-data valid, teori-teori ampuh, bukti-bukti sahih di luar negeri bahkan ayat-ayat sakti kitab suci pun dipakai sebagai elemen materi pembicaraan, baik dalam skala warung kopi maupun ballroom hotel bintang sejuta di ibukota negara bahkan di ibukota luar negara.” Dan hari ini kemiskinan itu terus saja ditelanjangi. Maka, ia berujar lebih lanjut. “Selama ini angka kemiskinan – yang dikeluarkan lembaga manapun – merupakan angka yang sama sekali jauh dari realitas. Entah secara kriteria, validitas, maupun rekayasa yang keterlaluan. Dan kemiskinan di Indonesia seringkali hanya menjadi semacam obyek mati-kurang gizi yang seenak perut dapat dicabik-cabik di mimbar-mimbar atau seminar-seminar, lantas ditendang langsung ke tong sampah.” Itulah kata-kata Wahono dalam republik munafik.

Segulung soal tentang pemberian. Coba berkaca pada bantuan langsung tunai yang sudah jadi candu kemiskinan dan ketergantungan. Berapa banyak lagi program yang akan kita semai di ladang rakyat dan membekas di otak sebagai kepasrahan? Bait-bait ini hadir untuk kembali menegaskan sebuah sikap yang akan bersahabat dengan siapa saja yang masih bernurani dan sudah memberi sepenuh hati bagi musnahnya kemelaratan dan tumbuhnya kerja keras.(*)



Senin, 08 September 2008

Negara Gagal

Benni E. Matindas*

Menyusul peristiwa rusuh massa yang menimpa para mahasiswa sebuah sekolah tinggi theologi di Jakarta Timur belum lama ini, sebuah stasiun televisi memasukkan warta itu dalam rubrik tetapnya berupa interaksi dengan pemirsa yang memilih sendiri berita yang ingin ditayangkan ulang. Telepon berdering. Dan suara seorang perempuan terdengar memberi salam. Ia seorang ibu, tinggal di Bogor.

Menanggapi peristiwa di STT Setia Arastamar itu, dan peristiwa-peristiwa sejenis yang nyaris rutin, misalnya seorang Camat yang ikut dengan massa yang menuntut penutupan sebuah gereja, si ibu menyimpulkan: “Negara ini sudah gagal!”

Tak ada yang lebih telak, tepat, utama, dan penting, daripada simpulan demikian dalam menanggapi fakta menjadi rutinnya perlakuan tak adil atas kaum minoritas.

Kita sama tahu raison d’etre atau that’s why adanya Negara yang dijelaskan Hobbes dan kemudian disempurnakan oleh banyak pemikir lain termasuk Sumual: Setiap manusia dilahirkan dengan hak asasi; termasuk hak mempertahankan hidupnya dan miliknya dari serangan orang lain. Tapi usaha pertahanan diri itu tak boleh sepenuhnya diserahkan kepada warga, karena demi menjamin keberhasilan pertahanan tersebut setiap orang akan saling curiga, menyerang lebih dulu, membangun kekuasaan sendiri-sendiri tanpa batas, atau mengusahakan bala bantuan sebanyaknya dari luar. Dan itu niscaya menjurus pada bellum omnium contra omnes — perang semua melawan semua. Maka, semua warga itu mengadakan kontrak untuk membentuk satu badan pemegang kekuasaan bersama — yakni Negara — dan memilih pemerintah serta organ lain buat menyelenggarakan negara itu. Fungsi negara yang utama dan minimal adalah menjaga keamanan warga beserta hak-hak mereka, dan harus adil agar kekuasaan itu tak dimanfaatkan kelompok warga lainnya untuk hanya menguntungkan keamanan pihak mereka. Karenanya, negara harus dinilai gagal bila fungsi minimal — keamanan dan keadilan — itu kenyataannya tak tertangani.

Sampai di situ, di tataran konsep, siapapun (termasuk ibu penelepon tadi) setujuan. Tetapi praktiknya yang selalu jadi lain itu semestinya menyadarkan siapapun bahwasanya ada tataran konseptual yang lain lagi, yang selama ini mengarahkan praktikal aktual.

Lain? Ya, misalnya, di tataran “iman”. Di sini ada “perintah agama” yang, walau bertentangan dengan keharusan menjaga keamanan dan keadilan, dinilai “harus ditunaikan”. Amanat agama melampaui harkat hukum negara maupun negara itu sendiri. Dan penghayatan iman serta pengamalannya yang seperti ini bukan saja dalam satu agama tertentu di wilayah negara tertentu. Juga tak hanya di masa tertentu, seperti penyalahgunaan kekuasaan gereja untuk menebar teror dan ketidakadilan di sepanjang Zaman Pertengahan, atau Afghanistan di masa rezim Taliban. Para penganut Budhisme di Thailand dan Srilanka menyesak kaum minoritas Islam dan Hindu. Para penganut Yudaisme di Israel, pada hari Sabath, memukuli orang-orang di jalan yang tidak pergi ke sinagoge. Sejumlah orang Hindu di India berlomba membunuh warga Muslim dan membakar masjid.

Masalah ini hanya dapat selesai secara tuntas bila masyarakat telah mencapai taraf kecerdasan memadai. Lebih cerdas dalam beragama. Lebih tahu mana wujud takwa yang utama di mata Allah, yakni meneladani sifat-sifatNya yang rahmani dan rahimi. Bukan mengutamakan lain-lain berdasar bermacam tafsir manusia. Rahmani dan rahimi, pengasih dan penyayang. Jauh dari laku kekerasan dan ketidakadilan.

Untuk mencapai taraf kecerdasan memadai itu pun adalah fungsi negara. Bukan fungsi minimal, melainkan fungsi ideal — yang seharusnya sudah beres, mengingat kebudayaan homo sapiens ini sudah menggauli negara dan agama selama beribu tahun. Fungsi ideal ini — yang dirumuskan lewat bermacam kata-kata oleh Plato, Al-Farabi, Martin Luther dan Rousseau — masih gagal diperankan negara. Tepatnya: bangsa. Bangsa-bangsa.

Warga bangsa belum pernah berhasil mengajukan konsep negara yang sebenarnya — yang antaranya mengenai fungsi minimal sampai fungsi ideal Negara — sehingga tak pernah bisa mencapai kondisi ideal itu. Yang kendati oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa — melalui International Covenan on Economic, Social and Culture Rights (ICESCR) — sebetulnya sudah pula diabsahkan sebagai kewajiban minimal suatu negara.

Negara harus menjadi lokomotif dari apa yang oleh UUD 45 dirumus “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Termasuk di dalamnya: kehidupan beragama yang cerdas. Lebih mampu mensistematisir ajaran agama — jelas mana inti dan mana implementasi berdasar kondisi situasional, kultural, historis — sehingga lebih ajeg, konsisten, menumbuhkan takwa. Dengan demikian, sebagai inti dan dasar, agama tetap bisa diposisikan pada harkat lebih tinggi di atas hukum dan negara, dan secara ajeg serta konsisten. Dengan kecerdasan pun maka setiap insan dapat mencapai kemajuan puncak tanpa harus meluncur ke sekularisme dan hambar imannya.

Beragama secara lebih cerdas, dan seterusnya membina agama yang mencerdaskan generasi-generasi selanjutnya.

*) Benni E.Matindas,

penulis buku “Negara Sebenarnya”,

dosen filsafat.

Selasa, 26 Agustus 2008

Dusta di Energi yang Tak Lagi Milik Kita

Oleh Daniel Kaligis


KEMELARATAN energi dalam kabar di media tiga dimensi, disebut sebagai upaya untuk mengikuti trend harga energi di tingkat dunia dan keinginan untuk menyetarakannya dengan harga yang berlaku di negara kita. Walau kini harga minyak dunia lagi turun, namun, itulah, kabar kita kemarin menyinggung harga elpiji yang terus meroket. Beberapa bulan silam, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, ketika menerima utusan khusus perdagangan dan investasi kerajaan Inggris, Pangeran Andrew, di Istana Wapres, Jakarta, menyampaikan bahwa harga gas yang diminta harus mengikuti fluktuasi harga gas dunia. Inilah yang terus disadur media untuk membenarkan kenaikan harga yang terjadi di mana-mana.

Energi sering terbuang percuma, kenyataan yang bergelut bersama nasib jutaan orang miskin di seluruh dunia. Alasan yang selalu disodor terlampau jauh dari kenyataan dan sudah sangat miring membelokkan soal tentang kemelaratan yang bersumber dari sistem. Sudah kita ketahui yang mana tata kelola bahan mineral Indonesia masih carut marut. Dari mulai penetapan perusahaan pengelola yang sebagian besar perusahaan asing, kontrak kerja yang tidak adil dan cendrung merugikan negara kita, penetapan harga gas yang tidak sesuai dengan harga gas dunia, kebijakan ekpor gas yang berlebihan, dan kebijakan Undang-Undang Migas yang merugikan Indonesia.

Namun, coba perhatikan apa sebenarnya yang dilakukan di negeri ini dengan cadangan energi yang tersisa di perut bumi kita. Ekspor gas Indonesia berdasarkan jenis pada 2002, berupa LNG sebesar 1.656.472 MSCF (66,12 persen), LPG 2.474 MSCF(0,10 persen), pipanisasi ke Singapura 82.619 MSCF (3,30 persen) dan sisanya untuk kebutuhan dalam negeri. Nilai ekspor LNG pada 2002 mencapai US$5,595 miliar, kontrak ekspor LNG Indonesia periode 1999-2007 mencapai 29,46 miliar metrik ton, realisasi ekspor hingga kini 3,51 metrik ton. Data 2002 menyebutkan, 69 persen produksi gas Indonesia diekspor ke luar negeri dalam bentuk LNG, LPG dan distribusi gas melalui pipa (ke Singapura).

Dalam kelangkaan sumber-sumber energi dunia saat ini, baik itu kenaikan harga gas alam, kenaikan harga minyak dunia, batu bara, panas bumi dan sumber-sumber lainnya yang secara umum mengalami kenaikan luar biasa. Kita masih berada di titik lupa, padahal negara kita merupakan penghasil gas terbesar di dunia, bahkan ada ahli yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia tidur di atas gas bumi dan panas bumi.

Ini ada sebuah contoh pembenaran dengan argumen yang terlihat berpihak rakyat. “Pemerintah akan mengizinkan penambahan investasi di Proyek LNG Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat. Namun, Pemerintah akan meminta sejumlah syarat yang lebih menguntungkan bangsa Indonesia, yaitu dengan meninjau harga gas alamnya.” Segalanya seperti bersyarat bagi mengentas melarat, tapi melarat itu tak mau juga usai. Data dari BPPT, sesungguhnya produksi gas dalam negeri lebih banyak dijual ke pasar internasional melalui mekanisme ekspor. Data ini menyebut ekspor gas yang dikemas dalam bentuk LNG menyapurata hampir seluruh produksi gas di negara kita.

Alasan yang tepat mengapa kemelaratan itu tetap bersarang di Indonesia. “Hasil produksi gas perusahaan-perusahaan gas seperti PT Arun (Aceh) dan PT Badak (Bontang). Pada 2000 lalu produksi Arun mencapai 6.706.100 metrik ton, jumlah yang diekspor mencapai 6.747.000 metrik ton. Ladang gas Badak, berproduksi mencapai 20.614.900 metrik ton pada tahun 2000. Sebagian besar produksi dialokasikan untuk kepentingan ekspor, mencapai 20.243.100 metrik ton, rata-rata produksi pada tahun-tahun berikutnya tetap bertahan sampai tahun 2008 ini. Setidaknya data 2002 menyebutkan ekspor mencapai 6.249.700 metrik ton dari total produksi ladang gas Arun yang mencapai 6.242.600 metrik ton. Sedangdkan ladang gas Badak berproduksi hingga kisaran 19.942.200 metrik ton, namun kapasitas ekspornya melampaui produksi mencapai 19.964.800 metrik ton.” (http://tim-ti-waykanan.blogspot.com).

Layaknya gudang yang maha besar, negara kita adalah gudang persoalan. Dari yang masih dalam perut, hingga mereka yang sudah dalam liang kubur masih menyisakan soal bagi yang ia tinggalkan.

Masih tentang krisis enegri. Issue yang memang lagi mengemuka dewasa ini ialah menipisnya persediaan bahan bakar fosil, tetapi, kandungan perut bumi akan terus dieksploitasi guna menjawab kebutuhan energi bagi industri dan rumah tangga.

Kwik Kian Gie, pernah membahas tentang negara kaya yang menjadi miskin kembali karena terjerumus ke dalam mental kuli yang oleh penjajah Belanda disebut mental inlander. “Mental para pengelola ekonomi sejak 1966 yang tidak mengandung keberanian sedikit pun, yang menghamba, yang ngapurancang ketika berhadapan dengan orang-orang bule. Ibu pertiwi yang perut buminya mempunyai kandungan minyak sangat besar dibanding kebutuhan nasionalnya, setelah lebih 60 tahun merdeka hanya mampu menggarap minyaknya sendiri sekitar 8 persen. Sisanya diserahkan kepada eksplorasi dan eksploitasi perusahaan-perusahaan asing. Apa pekerjaan dan sampai seberapa jauh daya pikir para pengelola ekonomi kita sejak merdeka sampai sekarang?”

Dalam bahasannya yang bertajuk Terjajah ExxonMobil di Cepu, mantan Menteri Negara PPN dan Kepala Bappenas itu menyinggung tentang posisi tawar Indonesia di masa orde lama. “Istana Bung Karno dibanjiri para kontraktor minyak asing yang sangat berkeinginan mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak bumi di Indonesia. Bung Karno menugaskan Chairul Saleh supaya mengizinkannya hanya sangat terbatas. Putrinya, Megawati, bertanya kepada ayahnya, mengapa begitu? Jawaban Bung Karno kepada putrinya yang baru berumur 16 tahun, “Nanti kita kerjakan sendiri semuanya kalau kita sudah cukup mempunyai insinyur-insinyur sendiri.”

Kita terus mengumumkan bimbang, negara kaya. Seperti kata-kata dari surga yang mana, enegri dan segala teori kemakuran berbenturan dengan kenyataan bahwa semua sudah tergadai, dan kita tetap melarat, terusir, serta cuma punya dengkul berotak untuk menyembah ‘penguasa dunia’ yang sudah meratatanahkan segala keterampilan adat.

Kita tak mungkin membalik realita untuk kembali ke orde yang sudah berlalu itu. Namun, di masa sekarang, kita tentu layak memikirkan alternatif energi yang mampu dijangkau rakyat. Salah satu yang dapat kita buat di daerah kita yaitu bagaimana menggantikan ‘listrik yang tidak bersahabat’. Karena kebutuhan energi menjadi penting, dan manusia tak sekedar sejahtera ketika telah terpenuhi kebutuhan dasarnya yang berupa kecukupan mutu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan dasar lainnya seperti lingkungan yang bersih, aman dan nyaman.

Masih ada saja kebutuhan yang menyusul ketika suatu kebutuhan terpenuhi, dan untuk itulah kiat berhemat memang sudah semestinya terus dikumandangkan, caranya yaitu pembatasan kontrak dengan asing yang hanya memanjangkan tali kemelaratan di negara ini dan di muka bumi. Dan memang sudah saatnya dan sudah sepantasnya perlu ada implementasi kebijakan yang revolusioner ke arah inovasi energi nonmigas. Ketakutan dunia selama ini yang berhembus hanya karena ada negara yang ingin menguasai energi secara monopoli, dengan demikian ia merasa layak “murka” bila ada saingannya.