Kembali ke Halaman Utama

Kembali ke Halaman Utama
Klik Gambar ini

Rabu, 17 September 2008

LARA:

Cerpen Daniel Laligis


"Pergi....pergi...pergi..................

Pergilah Lara,

Air mata sudah kering, semata memandangi kisah tanah kita yang tergadai

Tabung bencimu di negeri seberang"


AKU MEMANGGIL DIA LARA, SEPERTI IA MENYEBUT DIRINYA. Lara baru dari sungai. Tergopoh-gopoh ia memasuki ruang berbatas tiang-tiang bambu berlantai tanah sambil menggendong bungkusan kain yang berisi kain juga. “Kamu habis nyuci pakaian Lara?

Lara tidak menjawab hanya mengangguk. Ia menunduk di perapian, merapatkan kayu bakar sambil meniup-niup mengundang api menyala kembali. Tangan perempuan muda itu cekatan meminggirkan bara yang sudah mulai mengabu. Air yang ia masak sudah mendidih, uap mengepul dari belalai ceret aluminium. Ia merapatkan belanga yang berisi nasi ke dekat api, demikian juga belanga tanah berisi lauk sisa semalam.

Ini kebiasaan Lara saban pagi. Pergi ke pancuran di hulu kuala untuk nyuci dan mandi, sambil membiarkan api menyala di perapian mendidihkan air minum dan memanaskan penganan. Semua dalam perhitungan yang sudah terbiasa ia lakukan. Tangan tak pernah diam. Selepas membenah perapian, Lara mengambil cucian yang tadi lalu menjemurnya di belukar keras yang membatasi ladang dengan kaki gunung. Aku menajamkan pisau dan parang sambil memandangi Lara. Mataku tak lepas dari geliat tubuh perempuan yang sudah empat purnama hidup seatap dengan aku.

Hari ini aku bangun agak siang karena semalam terlalu banyak minum saguer asang di rumah Ukung. Iya, tadi malam aku ingat, bicaraku dengan nada tinggi memperingatkan warga Wanua bahwa hutan sudah dipatok untuk proyek dari pusat, dan kita di Wanua tidak tahu apa yang akan dikerjakan oleh orang-orang yang mengaku pemilik negara ini di hutan itu. Nanti malam masih ada pertemuan lagi di rumah Ukung. Semua laki-laki dewasa warga Wanua diundang. Aku berharap Lara tidak ke sana membantu istri Ukung membagi-bagi kue dan minuman pada peserta rapat. Bila Lara ke sana, rasanya kelaki-lakianku musnah karena aku selalu dicemoh. “Yang baru kawin tidak usah repot-repot ikut rapat, apalagi malam-malam begini...., pulang saja dan langsung tidur biar cepat dapat keturunan.” Oceh inilah yang membuat aku tidak tahan.

Pagi ini ketika ocehan itu mengiang di telinga, aku jadi ingin tidur lagi. Lara masih bergerak-gerak di belukar menebar jemuran, aku membasuh diri dengan air di tempayan lalu kembali bilik pondok di bagian atas menunggu Lara yang sebentar lagi datang untuk menukar pakaiannya yang basah.


* * * * * * *

LADANG SETEKTEK PENINGGALAN MENDIANG ORANG TUA ADALAH JUGA HALAMAN RUMAH KAMI. Aku sengaja membiarkan rumpun bambu dan empat batang klutuk tumbuh di dekat pondok, agar walau angin menderas pondok tetap kokoh. Pondok dibuat agak tinggi, agar dari sana boleh mengintai jalan dan siapa saja yang lewat.

Di ladang ini, di sana-sini kutanami cabe, kunyit, jahe, seledri, kemangi, jagung, dan ketela. Sereh dan talas tumbuh liar di antara rumpun bambu dan di batas-batas ladang, meliar hingga masuk ke pelosok hutan. Panen tak kenal musim. Kemarin aku dan Lara ke kota membawa sekeranjang cabe dan sekitar empat ratus ikat sereh yang dipadu daun kunyit dan daun limau dan kemangi. Bumbu campur ini harganya seribu per ikat. Hasil yang lumayan, apalagi sekarang harga cabe lagi bagus. Kami membawa pulang beberapa lembar pakaian dan uang sebagai ganti jualan hasil ladang.

Tapi, itu sudah silam. Tahun kemarin memang masih lebih baik nasibnya dari hari ini. Aku lebih banyak mengurusi politik di kampung. Semenjak masuk proyek yang katanya ingin menghutankan kembali tanah adat di Wanua, kami lebih banyak berkumpul dan membahas strategi. Waktu banyak sekali yang disita kegiatan itu. Walau dapat uang ketika berkumpul, namun ladang sudah mulai terbiar. Bagaimana aku bisa bangun subuh, sering kami berdiskusi hingga lewat tengah malam. Lara juga ikut berdiskusi, ia malah sekarang sudah berani memprotes jika aku minta tolong untuk mencuci pakaianku. “Kamu juga punya tangan, tangan Lara cuma dua!” Ketus sekali ia sekarang, ia terlihat tidak bernafsu melihat aku, ia malah jadi genit sekali jika mandor proyek datang ke Wanua.


* * * * * * *

SUDAH TIGA BAIT KUNYANYIKAN LANTUN DONCI MAENGKET. Berharap Lara dapat mengingat kenangan sewaktu pacaran. Harum rimba di mana kami berkejaran memacu hari, seakan kembali dalam inspirasiku. Terbayang air menetes satu-satu ketika embun baru dijilati sinar fajar dan aku mengintip Lara menyeruak dari pondok orangtuanya di ujung Wanua. Lara yang mungil empat tahun silam begitu menggemaskan, pun hingga hari ini. Bila ia datang ke pancuran untuk menimbah air atau mandi aku selalu menyempatkan diri untuk menggodanya. Lara....Lara....

“Tongkoran ne wene wailan lakerreeeee, .............koko luri si timeka moooooo.....” Aku melantun donci maengket lebih keras. Saguer asang satu kokok, hampir tandas di ceret plastik.

Lara sudah memutuskan untuk pergi. Semalaman aku membujuk Lara supaya ia memberikan kesempatan di mana aku boleh hidup bersama dengan dirinya. Bersama lagi mengusahakan ladang setetek. Menanam cabe, kunyit, jahe, seledri, kemangi, jagung, dan ketela.

Aku mengulang hayalanku beberapa tahun silam dengan Lara. “Kita akan membangun Wanua. Di tanah ini, kita akan berketurunan dan menjadikan tanah ini sebagai berkat bagi keturunan kita. Setidaknya biarlah kemarin pergi Lara.”

“Tidak! ......Lara perempuan merdeka. Lara juga punya cita-cita bagi tanah ini. Lara harus keluar dari Wanua. Lara akan mencari uang yang banyak dan entah kapan kembali ke sini, Lara belum tahu pasti. Lara akan mengingat semua kenangan.” Lara berbicara seperti singa betina yang lapar. Lara tak tertahan. Pergi....pergi........pergilah!

Minahasa, Januari 07

1 komentar:

pecundang kesepian mengatakan...

so ganti fam ini bos?
so bukang lagi Kaligis dang?
Den, Dax pe fam salah tulis itu
Hati2. Bahaya skali itu e....\
Depe cerpen bagus sklia. Qta pikir ni sudara satu ini so nyanda mo batulis fiksi. Mar masi ada jo.
Bagus. Hebat. Maju sastra Sulawesi Utara