Kembali ke Halaman Utama

Kembali ke Halaman Utama
Klik Gambar ini

Selasa, 26 Agustus 2008

Dusta di Energi yang Tak Lagi Milik Kita

Oleh Daniel Kaligis


KEMELARATAN energi dalam kabar di media tiga dimensi, disebut sebagai upaya untuk mengikuti trend harga energi di tingkat dunia dan keinginan untuk menyetarakannya dengan harga yang berlaku di negara kita. Walau kini harga minyak dunia lagi turun, namun, itulah, kabar kita kemarin menyinggung harga elpiji yang terus meroket. Beberapa bulan silam, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, ketika menerima utusan khusus perdagangan dan investasi kerajaan Inggris, Pangeran Andrew, di Istana Wapres, Jakarta, menyampaikan bahwa harga gas yang diminta harus mengikuti fluktuasi harga gas dunia. Inilah yang terus disadur media untuk membenarkan kenaikan harga yang terjadi di mana-mana.

Energi sering terbuang percuma, kenyataan yang bergelut bersama nasib jutaan orang miskin di seluruh dunia. Alasan yang selalu disodor terlampau jauh dari kenyataan dan sudah sangat miring membelokkan soal tentang kemelaratan yang bersumber dari sistem. Sudah kita ketahui yang mana tata kelola bahan mineral Indonesia masih carut marut. Dari mulai penetapan perusahaan pengelola yang sebagian besar perusahaan asing, kontrak kerja yang tidak adil dan cendrung merugikan negara kita, penetapan harga gas yang tidak sesuai dengan harga gas dunia, kebijakan ekpor gas yang berlebihan, dan kebijakan Undang-Undang Migas yang merugikan Indonesia.

Namun, coba perhatikan apa sebenarnya yang dilakukan di negeri ini dengan cadangan energi yang tersisa di perut bumi kita. Ekspor gas Indonesia berdasarkan jenis pada 2002, berupa LNG sebesar 1.656.472 MSCF (66,12 persen), LPG 2.474 MSCF(0,10 persen), pipanisasi ke Singapura 82.619 MSCF (3,30 persen) dan sisanya untuk kebutuhan dalam negeri. Nilai ekspor LNG pada 2002 mencapai US$5,595 miliar, kontrak ekspor LNG Indonesia periode 1999-2007 mencapai 29,46 miliar metrik ton, realisasi ekspor hingga kini 3,51 metrik ton. Data 2002 menyebutkan, 69 persen produksi gas Indonesia diekspor ke luar negeri dalam bentuk LNG, LPG dan distribusi gas melalui pipa (ke Singapura).

Dalam kelangkaan sumber-sumber energi dunia saat ini, baik itu kenaikan harga gas alam, kenaikan harga minyak dunia, batu bara, panas bumi dan sumber-sumber lainnya yang secara umum mengalami kenaikan luar biasa. Kita masih berada di titik lupa, padahal negara kita merupakan penghasil gas terbesar di dunia, bahkan ada ahli yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia tidur di atas gas bumi dan panas bumi.

Ini ada sebuah contoh pembenaran dengan argumen yang terlihat berpihak rakyat. “Pemerintah akan mengizinkan penambahan investasi di Proyek LNG Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat. Namun, Pemerintah akan meminta sejumlah syarat yang lebih menguntungkan bangsa Indonesia, yaitu dengan meninjau harga gas alamnya.” Segalanya seperti bersyarat bagi mengentas melarat, tapi melarat itu tak mau juga usai. Data dari BPPT, sesungguhnya produksi gas dalam negeri lebih banyak dijual ke pasar internasional melalui mekanisme ekspor. Data ini menyebut ekspor gas yang dikemas dalam bentuk LNG menyapurata hampir seluruh produksi gas di negara kita.

Alasan yang tepat mengapa kemelaratan itu tetap bersarang di Indonesia. “Hasil produksi gas perusahaan-perusahaan gas seperti PT Arun (Aceh) dan PT Badak (Bontang). Pada 2000 lalu produksi Arun mencapai 6.706.100 metrik ton, jumlah yang diekspor mencapai 6.747.000 metrik ton. Ladang gas Badak, berproduksi mencapai 20.614.900 metrik ton pada tahun 2000. Sebagian besar produksi dialokasikan untuk kepentingan ekspor, mencapai 20.243.100 metrik ton, rata-rata produksi pada tahun-tahun berikutnya tetap bertahan sampai tahun 2008 ini. Setidaknya data 2002 menyebutkan ekspor mencapai 6.249.700 metrik ton dari total produksi ladang gas Arun yang mencapai 6.242.600 metrik ton. Sedangdkan ladang gas Badak berproduksi hingga kisaran 19.942.200 metrik ton, namun kapasitas ekspornya melampaui produksi mencapai 19.964.800 metrik ton.” (http://tim-ti-waykanan.blogspot.com).

Layaknya gudang yang maha besar, negara kita adalah gudang persoalan. Dari yang masih dalam perut, hingga mereka yang sudah dalam liang kubur masih menyisakan soal bagi yang ia tinggalkan.

Masih tentang krisis enegri. Issue yang memang lagi mengemuka dewasa ini ialah menipisnya persediaan bahan bakar fosil, tetapi, kandungan perut bumi akan terus dieksploitasi guna menjawab kebutuhan energi bagi industri dan rumah tangga.

Kwik Kian Gie, pernah membahas tentang negara kaya yang menjadi miskin kembali karena terjerumus ke dalam mental kuli yang oleh penjajah Belanda disebut mental inlander. “Mental para pengelola ekonomi sejak 1966 yang tidak mengandung keberanian sedikit pun, yang menghamba, yang ngapurancang ketika berhadapan dengan orang-orang bule. Ibu pertiwi yang perut buminya mempunyai kandungan minyak sangat besar dibanding kebutuhan nasionalnya, setelah lebih 60 tahun merdeka hanya mampu menggarap minyaknya sendiri sekitar 8 persen. Sisanya diserahkan kepada eksplorasi dan eksploitasi perusahaan-perusahaan asing. Apa pekerjaan dan sampai seberapa jauh daya pikir para pengelola ekonomi kita sejak merdeka sampai sekarang?”

Dalam bahasannya yang bertajuk Terjajah ExxonMobil di Cepu, mantan Menteri Negara PPN dan Kepala Bappenas itu menyinggung tentang posisi tawar Indonesia di masa orde lama. “Istana Bung Karno dibanjiri para kontraktor minyak asing yang sangat berkeinginan mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak bumi di Indonesia. Bung Karno menugaskan Chairul Saleh supaya mengizinkannya hanya sangat terbatas. Putrinya, Megawati, bertanya kepada ayahnya, mengapa begitu? Jawaban Bung Karno kepada putrinya yang baru berumur 16 tahun, “Nanti kita kerjakan sendiri semuanya kalau kita sudah cukup mempunyai insinyur-insinyur sendiri.”

Kita terus mengumumkan bimbang, negara kaya. Seperti kata-kata dari surga yang mana, enegri dan segala teori kemakuran berbenturan dengan kenyataan bahwa semua sudah tergadai, dan kita tetap melarat, terusir, serta cuma punya dengkul berotak untuk menyembah ‘penguasa dunia’ yang sudah meratatanahkan segala keterampilan adat.

Kita tak mungkin membalik realita untuk kembali ke orde yang sudah berlalu itu. Namun, di masa sekarang, kita tentu layak memikirkan alternatif energi yang mampu dijangkau rakyat. Salah satu yang dapat kita buat di daerah kita yaitu bagaimana menggantikan ‘listrik yang tidak bersahabat’. Karena kebutuhan energi menjadi penting, dan manusia tak sekedar sejahtera ketika telah terpenuhi kebutuhan dasarnya yang berupa kecukupan mutu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan dasar lainnya seperti lingkungan yang bersih, aman dan nyaman.

Masih ada saja kebutuhan yang menyusul ketika suatu kebutuhan terpenuhi, dan untuk itulah kiat berhemat memang sudah semestinya terus dikumandangkan, caranya yaitu pembatasan kontrak dengan asing yang hanya memanjangkan tali kemelaratan di negara ini dan di muka bumi. Dan memang sudah saatnya dan sudah sepantasnya perlu ada implementasi kebijakan yang revolusioner ke arah inovasi energi nonmigas. Ketakutan dunia selama ini yang berhembus hanya karena ada negara yang ingin menguasai energi secara monopoli, dengan demikian ia merasa layak “murka” bila ada saingannya.

Minggu, 24 Agustus 2008

KEMARAU NILAI POLITIK

Kuatkan Posisi Tawar Rakyat

Oleh: Daniel Kaligis

SUDAH kita mendengar janji kekuasaan. Segelintir tanya tentang ekonomi kerakyatan yang cuma jadi bumbu politik. “Dalam tahun 2009, kebijakan dana alokasi khusus akan di-prioritaskan antara lain untuk; pertama, menunjang percepa-tan pembangunan sarana dan prasarana di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil, daerah per-batasan darat dengan negara lain, daerah tertinggal dan ter-pencil, daerah rawan banjir dan longsor; dan kedua mendorong penyediaan lapangan kerja, me-ngurangi jumlah penduduk mis-kin, serta mendorong pertum-buhan ekonomi di daerah,” kata pemimpin kita tentang kebijakan pembangunan daerah. Mimpi kesejahteraan yang sekian lama ditunggu, namun larut oleh se-jumlah persoalan, termasuk soal perpolitikan di negara ini. Rak-yat berpolitik seperti arus, me-ngikut alir dari hulu menuju laut lepas glabalisasi yang meng-hantamkan gelombang pasang yang sudah pasti tak dapat ditang-kis pilar-pilar yang tersisa di tata-ran rakyat. Politik juga sering ber-pakaian apik dan mewah, namun pernah juga berdandan semraut, pakai topeng laksana badut.

Sekian lama sistem yang kita anut menjadikan ideologi negara sebagai alat untuk mengobrak-abrik dan melumpuhkan potensi politik masyarakat sipil. Kekuatan oposisi setengah hati bermuncu-lan dari kalangan purnawirawan militer dan pengusaha. Kalangan mahasiswa dan pekerja pun me-ngorganisasi diri dalam rangka me-nentang sistem. Namun hampir semua dapat disapurata, dan membekas di sisa generasi yang gagal berpolitik dan hanya menja-di pecandu hutang, penggila dan pecandu kursi kekuasaan belaka.

Perpolitikan di wilayah rakyat da-tang bagai musim. Bila hujan, ia membanjir dan berlumpur, bahkan boleh jadi merontokkan gundukan yang sekian lama tegak tandus. Kalau kemarau tiba, ia aus dan kering. Perpolitikan menelantar-kan banyak realita dan membiar-kan banyak pesertanya jadi tum-bal, ramai dan lenggang, sepi lalu marak lagi, seperti permainan di masa kanak-kanak yang menyisa-kan malam untuk beristirahat dan berganti muka, agar boleh bangun dengan senyum dan tawa atau bermuram durja karena belum habis mimpi yang tak dimengerti.

Terminologi “koalisi” sekali waktu pernah dituduh berpotensi mengancam demokrasi, karena kepentingan rakyat bertabrakan dengan kepentingan elite partai. Padahal koalisi itu adalah keputu-san banyak orang dari beragam institusi. Namun koalisi pun pernah dikritik sebagai sesuatu yang bersifat manipulatif karena suara rakyat telah diwakilkan kepada partai politik. Perpolitikan di mana pun tempat selalu panas, dan barahnya itu dapat membakar hingga ke tataran rakyat paling kecil. Di satu ruang ia jadi misteri.

Lupakan sejenak terminologi itu. Mari masuk dan menyimak perpo-litikan lebih dalam lagi. Haryatmo-ko, seorang penulis, dalam baha-sannya pernah memuat tentang etika politik. Fenomena perpoliti-kan di mana tempat ia menggejala. Sebenarnya tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup yang baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memper-luas lingkup kebebasan dan mem-bangun institusi-institusi yang adil. Definisi etika politik ini mem-bantu menganalisis korelasi anta-ra tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Dalam perspektif ini, pe-ngertian etika politik mengandung tiga tuntutan, yaitu, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain, kemudian ada upaya mem-perluas lingkup kebebasan; dan membangun institusi-institusi yang adil. Tentang etika politik itu, Haryatmoko mengemukakan tiga alasan mengapa hal tersebut jadi penting dibahas. Pertama, betapa pun kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya tetap membutuhkan legitimasi. Legiti-masi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai, hukum atau peraturan perundangan. Di sinilah letak celah di mana etika politik dapat berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation, atau terusik dan protes terhadap ketidakadilan. Keberpihakan pada korban tidak akan menoleransi politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Hal ketiga yang membuat etika politik jadi penting yaitu pertarungan kekua-saan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan mem-bangkitkan kesadaran tentang perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian tidak akan terwujud bila tidak mengacu pada etika politik. Dari tiga alasan ini dapat disimpulkan yang mana etika politik tidak mungkin diabaikan begitu saja.

Ber”etika”kah perpolitikan yang lagi mengalir dan diminati banyak kalangan di negara kita? Bertanya-lah pada sejarah dan catatan yang sudah dianggap usang. Realita berbicara lain tentang perpolitikan yang sering disebut sebagai pu-nya rakyat, namun real memperda-yai dan menenggelamkan banyak keyakinan dan kreasi generasi yang masih tersisa dari kiat gasak habis para penentang. Jalan pan-jang sebuah peradaban yang runtuh dari sebuah realita tak ter-bantahkan di ranah sebuah sistem perpolitikan sebuah negara berna-ma Indonesia, di mana dalam wak-tu yang sekian lama, episode pe-nistaan rakyat dibungkus kesatu-an maya. Lalu menderas teriak ketidakadilan meremukcabikkan waktu yang digumuli sistem yang sekian lama bertahta dan men-cekramkan ketidakadilan itu.

Realita yang kita jalani dan dapat kita rasakan di negeri ini yaitu sistem yang terpusat, menguasai, dan mengontrol basis sosial, ekonomi dan politik lewat berbagai cara, lalu poranda. Sesuatu alasan untuk menemu perubahan. Na-mun, perpolitikan masih saja me-nularkan racun lama sebuah sis-tem dan masih merasuk hingga hari ini. Boleh jadi, kita butuh ke-sempatan untuk sekedar menyi-mak sistem dan memberi sedikit sanggahan, supaya kita sama-sama berproses untuk menguat-kan posisi tawar rakyat secara politik. Ada waktu cukup panjang untuk kita berpikir, merenungkan kembali, sembari menunggu ke-putusan politik terpilihnya seorang pemimpin di tahun akan datang, yang juga, secara politik, sudah pasti, ia akan menentukan posisi tawar rakyat, susah atau senang.

Penulis, Redaktur Senior SKH Swara Kita

Sabtu, 23 Agustus 2008

SELINGKUH PERS, MODAL DAN KEKUASAAN

Sebuah Pengkhianatan


Oleh: Denni Pinontoan,

PERS, pada mulanya lahir dari kebutuhan untuk saling tahu apa yang terjadi dan saling menukar informasi. Tanpa kepentingan berkuasa dan kaya, suatu peristiwa atau kejadian secara sengaja disebarkan berupa ca-tatan-catatan singkat. Tapi, dalam perkembangannya, ketika urusan saling tukar informasi itu ternyata berpotensi ekono-mis, maka jadilah media massa, yang kelahirannya ditandai dengan munculnya surat kabar pertama di Eropa, tepatnya di Jerman, yang bernama Aviso pa-da tahun 1609, sebagai urusan dagang. Begitu yang terjadi se-terusnya di masa awal-awal ke-lahiran media massa cetak. Media massa elektronik nanti ber-kembang jauh setelah zaman kemunculan surat kabar. Radio komersil misalnya mulai eksis tahun 1920 dan televisi komersil mulai digemari nanti setelah Perang Dunia ke-II.

Pers, yang adalah kegiatan ko-munikasi, baik yang dilakukan dengan media cetak maupun media elektronik seperti radio, televisi maupun internet, dalam perkembangannya, ternyata memiliki potensi yang luar biasa dalam mempengaruhi publik se-cara massal dan massif. Pers mampu membuat opini publik dan mempengaruhi publik da-lam memandang dan melakukan tindakan terhadap sesuatu. Bahkan, sebuah kebohongan rezim (penguasa) yang diberita-kan secara asal-asalan oleh me-dia bisa menjadi “kebenaran” beberapa waktu lamanya bagi publik. Pers di Indonesia di za-man Orde Baru barangkali bisa membuktikan betapa kekuatan pers itu untuk dapat menjadi alat penguasa untuk mencuci otak rakyatnya. Pada wujudnya yang kini, pers sarat dengan ke-pentingan modal dan kepenti-ngan penguasa. Dengan demi-kian, berita atau informasi yang disebarluaskan oleh koran, radio, televisi maupun internet, ti-dak lagi berupa fakta yang diproduksi dalam bentuk berita untuk diketahui orang banyak. Berita, pada telah sarat dengan muatan kepentingan pemilik modal dan penguasa.

Eriyanto dalam bukunya Ana-lisis Wacana: Pengantar Ana-lisis Teks Media (Yogyakarta, LKiS: 1999) memakai paradigma kritis untuk menganalisis wa-cana yang dibentuk oleh media. Paradigma kritis ini, tidak per-tama-tama hanya melihat berita itu sebagai hasil produksi ter-akhir dari kerja jurnalistik se-buah media, tapi juga “… mene-kankan konstelasi kekuataan yang terjadi pada proses pro-duksi dan reproduksi makna.” Paradigma kritis sangat perca-ya bahwa konteks sosial, eko-nomi, politik dan budaya sangat mempengaruhi kerja produksi berita oleh sebuah media. Kare-na begitu, opini atau wacana publik yang terbentuk dari kerja jurnalistik sebuah media, dilihat sebagai proses atau usaha men-dominasi atau menghegemoni oleh kelompok dominan (kapita-lis dan penguasa) terhadap kaum lemah, yaitu rakyat.

Dengan memakai pendekatan paradigma kritis ini, kita akan tahu bahwa media massa cetak dan elektronik, bukanlah sesua-tu yang berada di ruang kosong sehingga dapat dengan muda benar-benar hadir dengan idea-lismenya. Ketika urusan jurna-listik itu adalah juga urusan dagang, maka kepentingan pe-milik modalpun akhirnya harus mendominasi kerja meliputi, produksi dan penyebarluasan berita. Pers, dewasa ini sudah menjadi institusi yang juga be-rada pada proses mencari un-tung. Maka sebagaimana hu-kum ekonomi dipraktekkan pada institusi-institusi ekonomi lainnya, begitu juga dengan perusahaan pers, bahwa ke-untungan harus diperoleh se-besarnya-besarnya melebihi pe-ngeluaran.

Sebuah perusahaan pers adalah salah satu institusi sosial di masyarakat kita yang penuh de-ngan pertentangan kelas. De-ngan demikian seorang warta-wan/reporter yang bekerja di se-buah perusahaan pers juga be-rada di dalam sebuah komunitas yang terbangun dari struktur-struktur kelas yang berbeda dan berusaha saling mendominasi. Seorang wartawan/reporter ber-ada di struktur paling bawah dalam sebuah perusahaan pers, ia tentu jauh di bawah dari pemi-lik perusahaan. Dan seorang pe-mimpin redaksi tentu sedang menjalankan apa yang diingin-kan oleh sang pemilik modal. Se-orang pemred, tentu secara struktur berada di atas beberapa orang redaktur. Dan akhirnya, wartawan yang berada di stru-ktur paling bawah dalam sebuah perusahaan pers tidak sedang bekerja (meliputi dan menulis berita) sebagaimana ia seorang yang bebas dan berdaulat pada kerjanya. Seorang wartawan dalam struktur modal seperti itu tak lebih dari seorang pesuruh untuk melayani keinginan pemi-lik modal. Dengan begitu, berita yang diliput dan ditulisnya tentu adalah berita pesanan sang pe-milik untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Berita media pun menjadi bias dari fakta yang sebenarnya.

Pers di Manado: Sebuah Contoh Kasus

Di zaman pra kemerdekaan, dan orde lama, pers terutama berfungsi sebagai alat propaganda melawan penjajah. Meski tidak independen dan objektif, tapi pers di zaman ini lebih berarti dibanding pers di zaman orde baru. Di zaman rezim Soeharto pers benar-benar di bawah tekanan penguasa. Perusahaan pers yang coba-coba kritis dan tidak sejalan dengan kebijakan politik rezim harus siap-siap dibredel. Kebebasan pers dikekang memang. Hanya dua perusahaan pers yang hidup senang waktu itu, TVRI dan RRI. Dua media inilah yang dipakai rezim untuk mencuci otak rakyatnya. Media massa cetak lainnya, tetap ada, tapi demi keselamatan diri maka harus ekstra hati-hati dalam melakukan kerja peliputan, produksi, pe-nyiaran dan penyebaran berita.

Reformasi 98 sebenarnya telah memberi angin segar bagi kebe-basan pers. Salah satu buah dari reformasi adalah terjaminnya kebebasan pers untuk bisa berfungsi sebagai alat kontrol, alat pendidikan dan alat hiburan.

Namun, seperti kuda yang lepas dari kandangnya setelah lama dikurung, pers di zaman refor-masi agaknya harus mengalami euforia menikmati kebebasan yang lama dirindu itu. Berbagai macam perusahaan pers, televisi, radio, surat kabar pun bermun-culan. Tapi, sayang karena kebe-basan ini rupanya datang tiba-tiba sehingga tanpa persiapan yang matang, baik kualitas sumberdaya manusia, perangkat kelembagaan yang lain maupun paradigmanya, maka pers kemu-dian jatuh dijalur komersialisasi. Bebas dari kontrol rezim, eh terjebak pada nafsu kaya pemilik modal.

Sejumlah televisi swasta yang hingga sekarang telah menjadi akrab dengan publik kita, beberapa di antaranya adalah milik pemilik modal yang juga punya kepentingan dengan kekuasaan. Yang lainnya, meski murni sebagai pengusaha, tapi karena itulah yang sehingga berita atau informasi yang disebarluaskan kepada publik sangat komersil sifatnya. Dan, televisi swasta nasional tersebut, kebanyakan sifatnya sentralistik nilai terhadap daerah-daerah yang ada di Nusantara ini.

Dalam konteks Sulut, sekitar 8 surat kabar harian eksis di tengah masyarakat. Tapi sebenarnya dari 8 surat kabar harian ini, 2 perusahaan pers besar sebenar-nya mendominasi beberapa surat kabar harian tersebut, misalnya Manado Post Grup (Grup Jawa Post) dan Komentar Grup. Bebe-rapa perusahaan pers lainnya, misalnya Swara Kita, Koran Rakyat dan terakhir hadir Media Sulut terus berjuang berkompetisi dengan dua perusahaan media lokal besar itu. Sementara media cetak tabloid sangat sulit dihi-tung, karena kadang ada, dan paling sering tidak. Tabloid sering hanya menjadi pesanan dari politisi yang berkepentingan dengan Pilkada atau Pemilu, misalnya. Media televisi, ada dua yaitu Pasific TV dan TV 5 D. Pasific TV hingga sekarang tetap mengudara, sementara TV 5 D, untuk beberapa waktu lama-nya beristirahat. Tapi, dengan adanya parabola, sejumlah televisi swasta nasional masih mendominasi penyiaran televisi di daerah ini. Sementara radio sangat banyak jumlahnya. Tapi prakteknya tetap sama dengan beberapa media lainnya, yang karena alasan ingin bertahan hidup, maka yang dilakukan adalah perselingkuhan yang mesra dengan penguasa yang banyak uangnya itu.

Sama dengan media nasional, media lokal pun di zaman refor-masi ini, kepemilikannya akhir-nya jatuh kepada pemilik modal yang juga berkepentingan de-ngan kekuasaan politik dan yang lainnya murni sebagai peng-usaha media. Pers lokal pun akhirnya tak berproses dengan idealisme persnya karena selain berada di bawah tekanan pemilik modal yang sudah tentu mencari untung, tapi juga tekanan kepentingan politik, baik dari pemilik perusahaan pers yang terkait dengan politik kekuasaan maupun dari pemerintah yang sangat berkepentingan dengan kekuatan massif pers.

Selingkuh antara pers, modal dan kekuasaan terjadi karena pers disadari memiliki potensi yang luar biasa untuk memengaruhi secara massal publik atau rakyat. Dengan begitu, pemilik modal bisa menjadikan pers alat untuk mendapatkan keuntungan, dan penguasa memerlukan pers untuk mencari popularitas dan sebagai sarana kampanye kamuflase politik.

Berikut, di era sekarang ini ketika Pilkada menjadi marak, maka urusan popularitas dan kekuasaan, kadang menjadi urusan satu dua orang politisi saja, dan orang-orang itu rata-rata punya kekayaan yang lebih. Begitupula bagi kepala daerah hasil pilsung yang akhirnya menjadikan institusi pemerin-tahan mirip perusahaan pribadi. Pemerintah daerah akhirnya membutuhkan sarana atau media untuk kampanye, pencitra-an dan penyebaran kamuflase-kamuflase politiknya.

Nah, perusahaan pers yang sejak awalnya hadir untuk mem-peroleh keuntungan melihat ini sebagai peluang yang tidak boleh disia-siakan. Maka, pada ujungnya selain berfungsi memburu dan menulis berita, wartawan atau reporter di masing-masing biro peliputan kabupaten dan kota, juga berfungsi sebagai marketer yang terbeban untuk menda-patkan iklan dari pemerintah daerah tersebut. Berita yang disiarkan atau dicetak pun bukan lagi fakta tentang penderitaan rakyat, melainkan telah berubah menjadi popularitas elit yang sarat kepentingan berkuasa.

Akibat dari proses jurnalistik yang tidak benar ini, maka yang terjadi adalah pembodohan terhadap publik secara massif. Berikut, di tengah kebodohan itu rakyat pun kehilangan daya kritisnya untuk menilai kerja para pemimpinnya. Selanjutnya, kemiskinan akan semakin lestari, penggusuran dan eksploitasi terjadi berulang, seperti ritual untuk sebuah kematian massal. Pers sekarang ini sudah kehilangan orientasinya untuk fungsi kontrol, dan pendidikan bagi usaha pencerdasan rakyat. Untuk melawan ini, kita perlu memikirkan pers alternatif yang kritis, dan berpihak kepada rakyat.

Jangan Pilih Politisi Busuk!

Oleh Erny Jacob, SE

Meski Pemilu nanti akan diselenggarakan tahun depan, namun sejumlah tahapan pesta demokrasi itu telah dilaksanakan. Antaranya, pada tanggal 19 Agustus lalu, KPU dan KPUD di masing-masing daerah telah menerima nama-nama bakal calon anggota legislatif yang akan diusung oleh setiap Partai Politik untuk menjadi anggota legislatif. Ada yang menarik dalam proses pencalegkan sekarang, bahwa KPU memberikan kesempatan kepada publik untuk mengenal dan menilai bakal-bakal caleg yang didaftarkan Parpol sebelum ditetapkan di Daftar Caleg Tetap (DCT). Meski memang, kita belum tahu sejauh mana efektifitas cara ini untuk mendapatkan caleg yang pro rakyat dan bersih dari perilaku korup dan zinah. Tapi setidaknya, ini adalah pintu masuk bagi rakyat atau para pemilih untuk mengenal lebih jauh caleg yang akan dipilihnya nanti. Jangan salah pilih, sebab politisi busuk masih banyak yang berambisi untuk duduk lagi dikursi panas kantor dewan.

Siapa dan bagaimana politisi busuk itu? Kata “politisi busuk” muncul dan sempat membikin jantung deg-deggan para politisi jelek itu pada Pemilu 2004. Di Sulut, kata yang sepadan pernah digaungkan oleh sejumlah aktivis pro demokrasi adalah “Politisi Ca’Beres”. Pertama-tama kata ini menunjuk pada politisi-politisi lama yang masih berambisi maju lagi menjadi anggota dewan padahal track record-nya sebenarnya tidak layak lagi menyandang jabatan sebagai wakil rakyat. Politisi Busuk adalah mereka-mereka yang memiliki sejarah berpolitik yang jelek, korup, suka berzinah dan sudah tentu hanya ingin kaya sendiri dan mengkhianati kepercayaan rakyat yang memilih dia dengan menggunakan kekuasaan yang diberikan rakyat itu untuk kenikmatan dan kekayaan diri, keluarga dan kelompok sendiri. Tapi, ketika menjadi anggota legislatif agaknya semakin mudah, setidaknya yang penting nama sudah terdaftar dan gambar yang cantik dan ganteng bisa tercetak di kertas suara, maka politisi busuk bisa juga menunjuk pada politisi-politisi dadakan dan instan yang pernah terlibat pada kasus-kasus yang membuat dia tidak pantas menjadi wakil rakyat, misalnya selingkuh, narkoba, kekerasan rumah tangga atau luar rumah, pelaku illegal logging dan berbagai bentuk kejahatan lainnya.

Tapi hal-hal yang saya sebut tadi sebagai ciri-ciri politisi busuk adalah antara lain dari begitu panjang daftar ciri untuk seseorang bisa disebut politisi busuk. Dan, hal-hal lain bisa ditambah sendiri oleh publik. Sebab, publiklah yang kenal dan tahu sepak terjang tetangga atau kenalannya yang tibat-tiba menjadi anggota legislatif. Tapi, satu yang pasti, politisi busuk adalah orang yang tidak pantas menjadi wakil rakyat, karena perilaku dan moral yang tidak baik.

Mencari tahu apakah seorang caleg memiliki ciri-ciri politisi busuk atau tidak sangatlah penting bagi pemilih atau rakyat pada umumnya. Sebab, hasil salah pilih pada Pemilu 2004 sudah kita lihat dan bahkan rasakan sekarang. Wakil rakyat yang terlibat seks bebas, korupsi atau menerima suap, dan wakil rakyat yang lupa diri dan tidak melakukan apa-apa terhadap, minimal daerah pemilihan, yang mencuat sekarang ini adalah bukti betapa Pemilu 2004 masih didominasi oleh para politisi busuk. Dan politisi busuk itu tidak pandang laki-laki atau perempuan. Jenis kelamin tidak menjadi ukuran apakah seseorang baik atau jahat.

Tapi memang ini kompleks sifanya, bahwa rakyat kita yang sedang lapar sehingga memilih hanya karena telah mendapatkan uang dan sembako, ditambah memang demokrasi kita yang belum sehat maka jadilah demokrasi menjadi democrazy. Partai baru akan tampil dimuka publik ketika Pemilu akan digelar. Pada waktu usai Pemilu atau Pilpres mereka melupakan rakyat. Padahal salah satu fungsi Parpol adalah pendidikan politik. Tapi parpol memang sengaja tidak melaksanakan pendidikan politik. Partai takut untuk melakukan itu, sebab kalau rakyat sudah pandai berpolitik, maka rakyat pasti tidak mudah lagi akan dibodohi dengan janji manis dan uang seratus ribu rupiah atau sekilo sembako. Begitulah sehingga partisipasi politik yang ada sampai sekarang di Pilkada maupun Pemilu adalah partisipasi politik yang dimobilisasi oleh uang dan perasaan, bukan partisipasi politik secara sadar. Rakyat memang sengaja dibuat mabuk dengan uang, dan janji-janji manis, sehingga ketika dibilik suara, rakyat memilih dalam keadaan mabuk, bukan karena sadar dan rasional. Jadilah dia salah pilih!

Saatnya kita merubah motivasi dan cara kita berpartisipasi dalam Pemilu. Kita tidak mungkin ingin melihat desa atau daerah kita dalam keadaan memprihatinkan terus, hanya karena kita memilih politisi busuk: korup, pengguna narkoba dan pelaku zinah. Kalau kita sudah tahu politisi itu kerjanya cuma memikirkan uang dan tidak pernah berjuang dengan idealisme demi rakyat, kenapa kita harus memilih dia? Kalau kita sudah tahu, bahwa tetangga kita hobi berselingkuh dan dugem, kenapa kita mendukungnya? Kalau kita sudah tahu caleg itu pernah terlibat illegal logging, kenapa dia yang harus kita dukung menjadi anggota dewan? Kalau kita tidak mempertimbangkan itu, maka sama saja kita akan membiarkan gedung dewan menjadi kantornya para penjahat.

Tapi ini tidak mudah kita lakukan selagi partai-partai kita hanya mengejar kuantitas: suara dan kursi untuk mengukuhkan kekuasaanya. Sebab, kita sudah lihat sendiri, bahwa nomor urut akhirnya masih sangat menentukan seseorang bisa terpilih atau tidak. Dan, faktanya, nomor urut satu, selalu ditempati oleh pejabat partai, yang mestinya kita ragukan komitmen kerakyatannya. Yang bertengger di nomor urut satu, menurut proyeksi partai adalah orang-orang yang punya duit sehingga punya massa, dan tidak pusing apakah dia idealis, bermoral atau tidak. Sementara orang-orang yang sebenarnya masih punya komitmen dan masih bisa diharapkan, selalu berada di nomor urut paling bawah. Sebenarnya ada sejumlah parpol yang mewacanakan suara terbanyak, tapi itu ternyata berbenturan dengan aturan KPU dan Undang-undang Pemilu, sehingga rawan konflik.

Memang disadari bahwa kalau kita akhirnya berpijak pada idealisme untuk memilih politisi yang baik, maka kita akhirnya akan berada pada posisi yang dilematis. Sebab di satu pihak, pilihan kita untuk memilih politisi yang baik: prorakyat dan bermoral baik sudah sangat sulit, tapi di lain pihak, fakta bernegara sampai hari, kita masih harus dipimpin oleh orang-orang itu. Sehingga, akhirnya persoalan ini harus ditarik lagi pada sentralisme negara. Kenapa begitu? Ya, kita rakyat daerah kan hanya mematuhi apa kata Partai yang berkedudukan di Pusat, dan KPUD yang hirarkis dengan KPU di Jakarta dan dominasi negara yang dikendalikan oleh rezim.

Semua akhirnya dikembalikan pada kecerdasan kita yang tidak ingin menderita oleh kelakuan para politisi busuk untuk pinter-pinter memilih mana caleg yang baik di antara banyak caleg yang busuk. Waktu cukup panjang untuk menilai caleg-caleg mana yang terbaik di antara banyak yang sudah tidak beres.

Sayang, partai lokal masih berlaku di Aceh, belum di sini!

Penulis, aktivis LSM, Tinggal di Tomohon

Jumat, 22 Agustus 2008

MELIHAT LEBIH DEKAT KEBERADAAN

(Sebuah Tinjauan Sosio Histori)

Oleh: Andre GB

Ada yang merasa sangat kenal dengan kata ini: PUNK. Ada pula yang hanya kenal sebatas kulit. Ada yang menganggap ini hanya sekedar sebuah genre musik saja. Ada pula yang melihat ini sebagai sebuah life style dari sekelompok anak muda dalam vision quest atau pencarian jati diri. Tapi, apa PUNK itu sebenarnya?

PUNK: Sejarah Yang (di)Lupa(kan)!

Psikolog brilian asal Rusia, Pavel Semenov, menyimpulkan bahwa manusia memuaskan kelaparannya akan pengetahuan dengan dua cara. Pertama, melakukan penelitian terhadap lingkungannya dan mengatur hasil penelitian tersebut secara rasional (sains). Kedua, mengatur ulang lingkungan terdekatnya dengan tujuan membuat sesuatu yang baru (seni).

Dengan definisi diatas, PUNK dapat dikategorikan sebagai bagian dari gerakan revolusi seni budaya. Gaya hidup dan pola pikir para pendahulu PUNK mirip dengan para pendahulu gerakan seni avant-garde, yaitu dandanan nyleneh, mengaburkan batas antara idealisme seni dan kenyataan hidup, memprovokasi audiens secara terang-terangan, menggunakan para penampil (performer) berkualitas rendah dan mereorganisasi (atau mendisorganisasi) secara drastis kemapanan gaya hidup. Para penganut awal kedua aliran tersebut juga meyakini satu hal, bahwa hebohnya penampilan (appearances) harus disertai dengan hebohnya pemikiran (ideas).

PUNK juga bisa dianggap sebagai buah kekecewaan para musisi rock kelas bawah terhadap industri musik yang saat itu didominasi musisi rock mapan, seperti The Beatles, Rolling Stones, dan Elvis Presley. Musisi PUNK tidak memainkan nada-nada rock teknik tinggi atau lagu cinta yang menyayat hati. Sebaliknya, lagu-lagu PUNK adalah teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia. Lirik lagu-lagu PUNK menceritakan rasa frustrasi, kemarahan, dan kejenuhan berkompromi dengan hukum jalanan, pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran serta represi aparat, pemerintah dan figur penguasa terhadap rakyat. Akibatnya PUNK dicap sebagai musik Rock n’ Roll aliran kiri, sehingga sering tidak mendapat kesempatan untuk tampil di acara televisi. Perusahaan-perusahaan rekaman pun enggan mengorbitkan mereka.

Gaya hidup ialah relatif tidak ada seorangpun memiliki gaya hidup sama dengan lainnya. Ideologi diambil dari kata "ideas" dan "logos" yang berarti buah pikiran murni dalam kehidupan. Gaya hidup dan ideologi berkembang sesuai dengan tempat, waktu dan situasi maka PUNK kalisari pada saat ini mulai mengembangkan proyek "jor-joran" yaitu manfaatkan media sebelum media memanfaatkan kita. Dengan kata lain PUNK berusaha membebaskan sesuatu yang membelenggu pada zamannya masing-masing.

Kata PUNK sebenarnya telah digunakan sejak William Shakespeare menulis The Merry Wives of Windsor. Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia, PUNK diartikan sebagai anak muda yang masih “hijau”, tidak berpengalaman, atau tidak berarti. Bahkan lebih jauh PUNK sering diartikan dan diidentikkan sebagai orang yang ceroboh, sembrono, dan ugal-ugalan. Istilah tersebut sebetulnya kurang menggambarkan makna PUNK secara keseluruhan.

Dalam bukunya yang berjudul Philosophy of PUNK, Craig O’Hara (1999) menyebut tiga definisi PUNK. Pertama, PUNK sebagai trend remaja dalam fashion dan musik. Kedua, PUNK sebagai Sang Pemula atau pelopor yang mempunyai keberanian memberontak, memperjuangkan kebebasan dan melakukan perubahan. Terakhir, PUNK sebagai bentuk perlawanan yang “hebat” karena menciptakan musik, gaya hidup, komunitas, dan kebudayaan sendiri. Definisi pertama adalah definisi yang paling umum digambarkan khususnya oleh kalangan media. Tapi justru yang paling tidak akurat karena itu cuma menggambarkan kesan yang terlihat saja tanpa menyentuh hakekat dasar dari PUNK itu sendiri.

PUNK merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris. Pada awalnya, kelompok PUNK oleh masyarakat awam agak susah dibedakan dari golongan skinhead. Gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja ini dengan segera merambah Amerika yang mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu oleh kemerosotan moral oleh para tokoh politik yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi. PUNK berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun terkadang kasar, permainan yang sederhana, beat yang cepat dan menghentak.

Banyak yang menyalahartikan PUNK sebagai glue sniffer dan perusuh karena di Inggris sendiri pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra PUNK karena banyak dari mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai tindak kriminal dan mengaku diri mereka sebagai anak PUNK. Dan itu jelas adalah sebuah kesalahan.

Dari segi fashion PUNK lebih dikenal dari apa yang mereka kenakan dan tingkah laku umum mereka, seperti potongan rambut Mohawk ala suku Indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti kemapanan, dan berjiwa sosial,

PUNK memang sangat tersohor di dunia musik. Itu semua dimulai dengan munculnya band PUNK fenomenal sekaligus legendaris yang dikenal dengan nama SEX PISTOLS. Band yang terbentuk pada 1972 dengan nama awal The Strand sebelum kemudian merubah nama nama menjadi SEX PISTOLS di tahun 1974. Hit mereka yang paling terkenal adalah Anarchy In The U.K dan God Save The Queen. Meski sering bergonta-ganti personil, yang paling dikenang tentu saja adalah Sid Vicious, si pembetot bass. Bahkan banyak yang menganggap popularitas Sid mengalahkan Johnny Rotten sang vokalis.

Namun energi eksplosif dan kecepatan gerak PUNK lebih dari sekadar fenomena musik belaka. Ketika berbagai party atau acara musik PUNK banyak diberangus, PUNK mengeksplorasi bentuk-bentuk seni yang lain terutama seni visual. Musik hanyalah satu aspek dari gerakan PUNK. Meski tidak dapat dipungkiri, hari ini PUNK sangat terkait erat dengan musik, mode dan grafis, namun jangan lupa PUNK juga dapat dipandang sebagai penggalan penting revolusi budaya yang lebih luas, dan menemukan ekspresinya dalam berbagai bentuk kesenian. Atau bahasa mudahnya, PUNK adalah sebuah gerakan Counter Culture yang dimulai dari seni namun pada efeknya menjadi begitu sangat berpengaruh dan boleh dibilang sukses diberbagai belahan dunia.

Kedatangan PUNK di Indonesia sendiri pada awal 1980-an, awalnya digandrungi oleh golongan menengah-atas dari beberapa kota-kota besar di Indonesia, sebagai bentuk snobisme mereka. Sebagian besar mereka mengetahui tentang subkultur PUNK dari kaset-kaset yang beredar di kalangan terbatas, disamping dari terbitan majalah-majalah musik luar negeri yang dibawa remaja yang berlatar belakang keluarga makmur (karena boom minyak) yang berkesempatan bersekolah di Eropa atau Amerika.

Pada saat itu, PUNK boleh dibilang adalah jawaban atas berbagai krisis kepercayaan anak-anak muda terhadap bentuk nyata kegagalan nilai-nilai konservatif dan feodalis yang berusaha terus dipertahankan baik oleh orang tua, maupun lingkungan sekitar. PUNK menjadi ruang bebas untuk mengekspresikan berbagai tekanan psikologis di rumah, dalam pergaulan, di sekolah, dan terutama sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tak terjawabkan di lembaga-lembaga agama.

Dekade pertengahan 1990 boleh dibilang merupakan fenomena mewabahnya musik underground di Indonesia. Pada 1997 bersamaan dengan gejolak politk, PUNK di Indonesia juga tak tinggal diam dan mulai terjun di kancah politik, sembari tetap dengan ketat menjaga prinsip-prinsip dasar Anarkisme yang melekat sebagai arian ideologi. Di berbagai kesempatan pada masa itu, PUNK membawa isu-isu politik, kekuasaan, militer, dan globalisasi dalam hampir konser/gigs underground yang mereka gagas. Dan PUNK yang hadir dengan kesederhanaan, mengusung musikalitas yang tak ribet, dengan lirik-lirik lugas di tengah-tengah gelora eufimisme bahasa Indonesia yang mengalami birokratisasi. Lirik-lirik lagu mereka menggunakan bahasa yang langsung, ringan, tidak merayakan metafora yang kelam seperti era psikodelik rock.

Awal tahun 2000, subkultur PUNK menjadi sebuah gerakan yang merasuk sampai desa, kampung atau dusun di pojok pelosok Indonesia. Beberapa scene PUNK di kota-kota kabupaten di Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, dan Kalimantan sekarang secara berkala membuat gigs, yang digeber band-band PUNK lokal. Band PUNK yang terkenal di INDONESIA adalah MARJINAL (dahulu bernama ANTI-ABRI, kemudian dirubah lagi menjadi Anti-Militari terakhir menjadi Marjinal) dan Bunga Hitam.

Etos kerja mereka yang dipadatkan dalam semboyan Do It Yourself (DIY) terutama mencuat pada 1990-an, ketika terjadi percampuran antara aksi protes (sebagai aksi politik langsung) dengan kegiatan pesta (aksi perayaan, festival). Budaya ini menyerukan gerakan counter culture atau underground di Amerika pada 1960-an, di mana politik dan pesta berbaur dan dipraktikkan menjadi ekonomi koperasi, pemanfaatan teknologi digital dan teknologi komunikasi untuk tujuan-tujuan masyarakat bebas, dan komitmen terhadap teknologi alternatif. Mengembangkan sikap mandiri, independen, termasuk dalam hal memproduksi kebutuhan-kebutuhan estetis sekaligus kontekstual mengangkat aspirasi masyarakat luas : musik, wood cut, fotografi, zine, fashion, rajah tubuh, aksesoris, buku dan komik.

Berbekal etika DIY, beberapa komunitas PUNK di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang bahkan di Manado sendiri telah, sedang dan akan merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas. Mereka membuat label rekaman sendiri untuk menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran. Kemudian usaha ini berkembang menjadi semacam toko kecil yang lazim disebut distribution outlet yang disingkat distro. CD dan kaset tidak lagi menjadi satu-satunya barang dagangan. Mereka juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik (piercing) dan tato. Seluruh produk dijual terbatas dan dengan harga yang amat terjangkau. Dalam kerangka filosofi PUNK, distro adalah implementasi perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja Levi’s, Adidas, Nike, Calvin Klein dan barang bermerek baik dalam maupun luar negeri.

Kehadiran komunitas PUNK di Manado boleh dibilang erat kaitannya dengan gejolak politik penggulingan diktator Orde Baru, Soeharto. Awalnya mereka adalah mahasiswa-mahasiswa berpikiran kritis dalam kampus yang terlibat aktif tidak hanya demonstrasi di jalanan, tapi juga pengorganisiran masyarakat pekerja (baca: buruh dan tani) yang pada masa itu merasakan akibat langsung penderitaan dan penindasan rezim militer Soeharto. Berkumpul dan melakukan berbagai varian aksi sebagai bentuk kampanye penyadaran kepada masyarakat. Haluan ideologi mereka adalah Anarkisme. Sebuah paham yang memang sejak awal telah lekat dan menjadi salah satu nilai plus dari gerakan PUNK itu sendiri.

Tapi kemudian ketika PEMILU 1999, mereka dengan tegas menarik garis batas pembeda dengan gerakan mahasiswa lain yang sudah terlanjur terkooptasi dengan berbagai kepentingan partai (rezim organisasi) baru yang memang bertumbuh subur pada saat itu. Kekecewaan muncul karena pada akhirnya gerakan mereka ditunggangi oleh kepentingan sayap kiri lain yang bercita-cita merebut kekuasaan. Perbedaan ini tak boleh dilepaskan dari konteks landasan ideologi PUNK yang seara umum menganggap segala bentuk organisasi legal, negara, partai dan perebutan kekuasaan oleh satu oligarkhi terhadap oligarkhi lain adalah sebab ketertidasan masyarakat. PUNK dan Anarkisme melihat bahwa segala bentuk penguasaan manusia terhadap manusia lain dalam topeng apapun tetaplah sebuah perbudakan. Cita-cita luhur PUNK yang mendambakan kemerdekaan manusia (secara individu maupun komune) adalah tidak mungkin jika ditambatkan pada kepercayaan terhadap negara.

PUNK dan ANARKISME

Kegagalan Reaganomic dan kekalahan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam di tahun 1980-an turut memanaskan suhu dunia PUNK pada saat itu. Band-band PUNK gelombang kedua (1980-1984), seperti CRASS, CONFLICT, dan DISCHARGE dari Inggris, The EX dan BGK dari Belanda, MDC dan Dead Kennedys dari Amerika telah mengubah kaum PUNK menjadi pemendam jiwa pemberontak (rebellious thinkers) daripada sekadar pemuja rock n’ roll. Ideologi Anarkisme yang pernah diusung oleh band-band PUNK gelombang pertama (1972-1978), antara lain SEX PISTOLS dan The Clash, kemudian disadari sebagai satu-satunya pilihan bagi mereka yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap otoritas negara, masyarakat, maupun industri musik.

Di Indonesia, istilah Anarki, Anarkis atau Anarkisme sering disalahkaprahkan kemudian digunakan oleh media massa untuk menyebut dan menyatakan suatu tindakan perusakan, perkelahian atau kekerasan massal. Padahal Anarkisme yang dicetuskan antara lain oleh William Godwin, Pierre-Joseph Proudhon dan Mikahil Bakunin, Anarkisme adalah sebuah ideologi yang menghendaki terbentuknya masyarakat tanpa negara, dengan asumsi bahwa negara adalah sebuah bentuk kediktatoran legal yang harus diakhiri. (sebagai pembanding, baca esai saya tentang Anarkisme di www.sastra-nanusa.blogspot.com, “Menjadi Anarkis Bukanlah Sebuah Kesalahan”dan “Menghancurkan Negara, Membangun Kebudayaan” serta esei Greenhill Weol di www.sastra-minahasa.blogspot.com, Kembali Ke Jalan Yang Benar: Mari Menjadi Anarkis”. Lihat juga berbagai sumber pendukung lain di www.anarcho-maesa.blogspot.com).

Dalam pandangan kaum Anarkis, Negara menetapkan pemberlakuan hukum dan peraturan yang sering kali bersifat pemaksaan, sehingga membatasi warga negara untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Kaum Anarkis berkeyakinan bila dominasi negara atas rakyat terhapuskan, hak untuk memanfaatkan kekayaan alam dan sumber daya manusia akan berkembang dengan sendirinya. Rakyat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa campur tangan negara.

Kaum PUNK memaknai Anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata. Dalam keseharian hidup, Anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka bisa menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan rekaman sesuai keinginan mereka. PUNK etika semacam inilah yang lazim disebut DIY (do it yourself/lakukan sendiri). Keterlibatan kaum PUNK dalam ideologi Anarkisme ini akhirnya memberikan warna baru dalam ideologi Anarkisme itu sendiri, karena PUNK memiliki ke-khasan tersendiri dalam gerakannya. Gerakan PUNK yang mengusung Anarkisme sebagai ideologi lazim lebih dikenal sebagai gerakan Anarko PUNK. Atau dengan kata lain, gerakan PUNK adalah bagian kecil dari gerakan besar Anarkisme, sedang tidak semua gerakan Anarkisme ditempuh lewat jalur PUNK.

PUNK sendiri dalam pandangan kaum Anarkis (baca: Anarcho) yang lain adalah sayap libertarian dari paham besar Anarkisme. Meski ada beberapa gelintir anarcho individualis yang tak menyukai metode gerakan yang dilakukan oleh PUNK, tapi harus diakui bahwa PUNK terbukti mampu membawa Anarkisme sampai ketitik yang paling sederhana tanpa kerumitan-kerumitan filsafat yang sebelumnya melekat. PUNK membuat Anarkisme bisa diterima banyak orang, khususnya anak-anak muda. Menjadi lebih populer dari sekedar terkekang dalam teks ataupun oral. Penggunaan inisial A besar (sebagai kependekan dari Anarkisme) dalam rima kehidupan PUNK adalah bukti erat bahwa landasan Anarkisme adalah satu-satunya landasan dasar pembangunan komune-komune dengan prinsip egaliter.

Menjamurnya komune-komune PUNK yang tersebar di berbagai tempat adalah sebuah akibat langsung merosotnya kepercayaan anak-anak muda terhadap organisasi negara, institusi agama, dan berbagai perangkat sistem lain yang diciptakan untuk memberangus ekspresi spontan yang adalah sifat dasar manusia (baca Michael Foccault, The Birth of Prison). Kegagalan dogma dan hukum legal yang tidak adil, degradasi moral yang terjadi bahkan sampai di agama (yang me-Lembaga) sebagai akibat kepercayaan terhadap sistem dominan saat ini (baca: neoliberalisme). Dan kebutuhan agar kemudian sorga yang hanya terus dijanjikan oleh agama selama ini harus menjadi realitas dalam kehidupan. Dominasi manusia terhadap manusia lain harus dihapuskan. Kebebasan individu sebagai integral hidup harus dikembalikan.

Penulis adalah Sastrawan, Pemimpin Redaksi Mawale: Jurnal Sastra Manado

Rabu, 20 Agustus 2008

Kebangkitan Nasional atau Kebangkrutan Nasional

Oleh : Daniel A Kaligis

Kita masih di sini, meramu kata bagi rasa, mata yang membaca dalam kantuk yang tertahan, karena takut itu sudah beralasan, jangan-jangan "kesalahan" diberitakan sebagai "kebenaran", naif kata ejakulasi dan orgasme lupa tersalur, berita yang menghentar banyak tanya tentang mereka yang sudah duduk di kursi empuk dan menjadi lupa diri untuk meresapi sendiri. Bagaimana kebangkitan itu?

Mungkin saja berdiri dan jalan-jalan. Atau ia ada di alam sesudah kematian, lalu bangkit dan menjadi hantu-hantu penasaran. Alinea mula ini mungkin lebih tepat bagi perfilman dan pesinetronan kita yang dipenuhi dengan hantu-hantu, badut yang kocak, pada beberapa waktu terakhir ini marak, sehingga kita menyebutnya "bangkit dari kubur".

Hanya pembuka sebuah kenangan, lupakan saja ratusan tahun masa ketika kita dijajah. Cerita kebangkitan nasional yang kontroversial. Ada yang menyebut 20 Mei 1908 tak pantas sebagai hari kebangkitan nasional sebab organisasi yang mengusung nasionalisme di zaman itu, tokoh-tokoh yang berdiri di balik pergerakan itu adalah Vritmejselareen alias pro penjajah.

Berseberangan dengan pandangan itu, ada yang menganggap 20 Mei 1908 sebagai tonggak di mana bangkitnya semangat untuk bersatu sebagai bangsa-bangsa yang terjajah untuk sadar memperjuangkan kemerdekaan, dampak politik etis yang menderas sejak Multatuli.

Kini! Jangan tanya berapa hutang luar negeri kita yang sudah memaksakan kemiskinan semakin mengental. Jangan tanya good govenance yang sudah disinyalir sebagai sebuah pesanan yang juga akan mencabut subsidi rakyat sehingga ketergantungan kaum kecil itu boleh di-drive negara. Kritik pedas tentang negeri ini adalah ketika penerapan sistem kapitalisme sudah merajai dan kita masih mengelak dengan berbagai argumen sambil terlena pada sistem yang hanya mengarah pada konsentrasi kekayaan dan kemakmuran, sambil menumbuhsuburkan marginalisasi, penegasian dan mengerasnya perbedaan kaya dan miskin.

Tapi, dalam kondisi yang ada saat ini kita hanya dapat melihat "kebangkrutan nasional". Demo ada di mana-mana meneriakkan kemiskinan dan daya beli yang sudah ambruk. Perekonomian rakyat yang jadi wacana di mana-mana cuma semir berbalut program yang tak kena sasaran. Merdu suara bantuan langsung tunai kembali berdendang untuk kenaikan yang jelas-jelas tidak berimbang. Rakyat bisa bikin apa di situasi yang semakin resah ini?

"Kita layak belajar dari pengalaman sejarah". Ini cerita saya dengan seorang hukum tua di salah satu wanua di Minahasa Tenggara, kemarin siang. Temmy Naray nama hukum tua itu. Ia mendera pengalaman sejarah. The Great Depression yang terjadi pada awal 1928 di Amerika Serikat dan puncaknya terjadi pada 29 Oktober 1929 dengan pemicu market crash yang dikenang sebagai Black Tuesday.


Layaknya sebuah negara Adidaya, bila Amerika Serikat terpelanting, dunia pun ikut terjungkal dalam lumpur krisis. "Amerika Serikat pernah mengalami krisis yang hebat, tapi ia tak menghentikan pembangunan," urai Naray bersemangat ketika saya mengatakan apa yang disebut Agus Poputra, pakar ekonomi Unsrat di media tiga dimensi beberapa malam silam, bahwa, menunda pembangunan adalah inefisiensi.

Inilah yang membuka wawasan kita dari pengalaman krisis di tahun 30-an itu, yang mana Amerika Serikat justru membuka banyak lapangan pekerjaan. Subsidi diubah menjadi proyek padat karya dan rakyat terus bekerja memutar perekonomian dan pembangunan. Ketika badai krisis berlalu, infrastruktur sudah siap, dan mereka melaju lagi dengan langkah tegap.

Tak layakkah pengalaman ini dicontoh pemerintah kita? Sudah terbukti bantuan langsung tunai dan berbagai pengaman sosial di periode yang sudah lewat bukanlah salah satu solusi yang tepat bagi rakyat miskin di Indonesia. Ada gunanya memang, tapi ada yang hanya jadi pulsa handphone, ada yang menguap percuma. Itulah sehingga kita punya ide untuk 'mencontek' apa yang dilakukan

Amerika Serikat di masa lampau itu. Gantinya memberikan bantuan langsung tunai yang tak jelas arah dan juntrungannya, mengapa pemerintah tak membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi banyak tenaga produktif yang sementara ini menganggur.

"Proyek padat karya musti diperbanyak, bila masuk di akal, mesin digantikan dengan tenaga manusia," tegas Naray. Betul! Setuju! Karena bila dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa, usai badai krisis ini, bila lapangan kerja dibuka maka pembangunan di negeri kita mudah-mudahan sudah mengalami kemajuan pesat. Krisis yang berguna sebagai pembangkit semangat.


Segala teori lagi menghantui dengan wacana. Kita hanya terbelalak dan kaget pada kemajuan negeri seberang yang berlipat ganda, kemudian kita tertarik untuk jalan-jalan ke sana untuk cari pengalaman? Wah, ini memang sudah menjadi sesuatu yang hebat di negeri kita ini. Proyek jalan-jalan yang makan biaya. "Berbagai kunjungan bila lewat dengan sirene pasti iring-iringannya banyak. Padahal yang 'penting' di situ hanya satu dua orang saja." Di tengah meroketnya harga BBM, kondisi jalan-jalan seperti itu masih saja marak!

Pengalaman krisis di negara Paman Sam seperti ditulis Aprilian Hermawan, seorang wartawan Bisnis Indonesia yang mana negara-negara korban resesi adalah mereka yang tergantung dengan industri berat. "Ekspor bahan baku pada perdagangan internasional menurun tajam. Sektor konstruksi mandek di banyak negara. Industri sektor primer: pertanian, pertambangan dan pengangkutan menderita paling parah. Permintaan anjlok dengan sedikit alternatif pengalihan pekerjaan sehingga pengangguran meluas.

Ekspor Amerika Serikat merosot dari US$5,2 miliar pada 1929 menjadi US$1,7 miliar pada 1993. Harga komoditas pertanian seperti gandum, kapas, dan tembakau turun. Petani pun ikut merugi. Kondisi seperti inilah yang sudah dikhawatirkan Alan Greenspan, mantan Chairperson Federal Reserve, jauh sebelum peringatan IMF muncul. Perlambatan ekonomi global akibat meluasnya krisis kredit subprime mortgage, tingginya harga minyak dan risiko resesi di Amerika Serikat menjadi faktor utama yang memberi peluang terjadinya peristiwa seperti depresi besar. Faktor lain yang perlu dicermati adalah kecenderungan kenaikan harga beberapa komoditas pangan.

Berbeda dengan era resesi, di mana harga komoditas cenderung menurun, kenaikan harga bahan pangan membuat tekanan inflasi sehingga menjadi faktor tersendiri yang perlu diwaspadai, tidak terkecuali buat Indonesia," urai Hermawan.

Beda masa, beda waktu antara Indonesia dan Amerika Serikat. Itu benar-benar saya sadari. Namun, saya berharap krisis di negeri tercinta ini segera berakhir. Kita niscaya bangkit, bukan karena kenangan sejarah kebangkitan nasional, tapi dengan kerja keras yang disusun strategis dan terencana berdasarkan skala prioritas.

Demikian pula, kita boleh berangan-angan, semoga pemerintah berada pada posisi menentukan pilihan-pilihan prioritas dengan kebijakan yang benar-benar membuat rakyat bangkit dari tidur panjang "kemalasan" karena sistem yang mendesak punahnya partisipasi rakyat. Bila tidak, bersiaplah untuk kebangkrutan nasional yang berkelanjutan.

Indonesia diantara Pertarungan: Kapitalisme vs Komunisme

Oleh: Veldy R Umbas SE

Perseteruan besar antar kedua paham ini memang telah mengakar sejak dicanangkanya manifesto kumunis oleh Marx. Paham yang telah mencanangkan perlawanan revolusioner terhap borjouis dan pemilik kapital, dengan melihat perkakas produksi sebagai kesetaraan dari sikap sama rata dari

para proletariat. Negara yang mengakomodasi ini telibat dalam gerakan revolusioner guna memangkas overproduksi borjuis dalam bingkai kesetaraan tersebut. Namun seperti ungkapan Marx; Im not a marxis itupun telah membuat wacana marxisme bergerak sesuai tipikal cultural. Lenin dengan gayanya, Trotsky dengan kekhasannya, lalu radikalis Polpot mencoreng sosial demokratnya Alande di Chili.

Mungkin ketidak kokohnya pahamnya itu, yang tidak secara lengkap dimanifes kedalam kultur sehingga Aidit lalu memulai gerakan refolusionernya di Indonesia. Tapi amburadulnya komunis Indonesia justru diduga telah dimanfaatkan oleh Kapitalis melalui agen CIA memporak-porandakan idialisme komunis. Akhirnya jutaan orang korban, baikyang benar-benar komunis, maupun yang ternoda berakhir pada pedang terhunus penentang-penentang komunisme.

Tahun 965 dan 1966 adalah sejarah paling berdarah sepanjang perjalanan bernegara di Indonesia. Moh Hatta yang notabene beraliran sosialis memang sepertinya terjebak dalam dunia marxis yang memang paradoks ketika itu. Disatu sisi tekanan terhadap munculnya sistim ekonomi

rakyat basis Islam seperti PSII dan Masyumi telah memberi nuansa baru perebutan klas proletar di Indonesia. Seperti juga Tan Malaka yang terjepit diantara dialektik marxis dan realita sosial kultural masyarakat Indonesia. Tapi Bung Karno yang lebih demokrat memang tak mau ambil resiko lalu kemudian memancang slogan NASAKOM adalah kombinasi kekuatan interklas dan spirit perjuangan Indonesia ketika itu yang sangat mendapat celaan internasional, karena kasus Malaysia dan Papua.

Disintegrasi disinyalir dihembuskan oleh kapitalis barat yang memang marah terhadap Sukarno yang senang berkiblat ke Moskow dan RRC. Gerjakan PRRI/Permesta semakin kuat menghentak Jakarta sebagai pengambil kebijakan. Sementara grilya radikalis NII semakin menusuk jantung Jakarta.

Semuanya karena Jakarta dituduh telah dikukung oleh lingkaran orang-orangnya Aidit. Lalu seperti bisik-bisik itu-karena fakta yang sebenarnya belum terungkap, kup dengan sandi dewan jenderal itu dirancang untuk menggulingkan pemerintahan Sukarno, dengan mengkambinghitamkan partai komunis yang dituduh membunuhi para jenderal (dewan Jendral itu). Sukarno jatuh, tak lama setelah angkatan darat menguasai Jakarta. Segera setelah itu, kapitalis kemudian menjadi panglima di Indonesia.

Hanya karena persoalan idiologi, kembali AS yang sadar akan kekurangan Indonesia, pembangunan kropos, pembangunan yang lebih kepada proyek-proyek long term return dengan kapitalisasi yang besar, maka hadirlah George Soros, seorang Yahudi Amerika yang menjadi striker dengan tajam menikam lambung ekonomi Indonesia. Dan krisis moneter berakibat pada jatuhnya Soeharto pada Mei 1997. Alasannya sederhana, Madeline Albrigh bahkan waktu itu sinis mengatakan bahwa, kok hanya seorang Soros bisa menjatuhkan Ekonomi suatu bangsa yang besar. Tapi ucapan Madeline itu

telah diawali dengan kekesalannya terhadap usulan Menristek Habibie agar pembelian pesawat F16. Tapi Rudi, demikian dirinya akrab dipanggil, setelah berkuasa telah membuat kesalahan yang juga dinilai AS sebagai bentuk penghianatannya. Rudi tidak secara tulus menjalankan jajak pendapat

di Timor-Timur. Buktinya, Rudi tidak bisa menghalangi para milisi dan TNI melakukan kejahatan kemanusian yang besar di sana. Ungkap salah seorang senator yang dikenal sangat kritis kepada Indonesia. Kini Gus Dur pun tengah mengambil langkah berani. Setelah aplaus panjang yang dinikmatinya saat memberikan pidato didepan para pimpinan negara PBB awal september lalu, tapi kecaman keburuh datang. Dan kali ini tampaknya Gus Dur tampil dengan NASASOS. Nasionalisme, Agama, dan Sosialis. Kata Harry Singh, sekjen Aliansi Nasional (gabungan 11 partai nasionalis). Apakah nasibnya bakal hancur seperti Nasakomnya Sukarno? Who knows.***

Minggu, 17 Agustus 2008

Bencana Ekologis, Negara dan Masyarakat

Oleh Subronto Aji*
Sungguh malang benar tanah Nusantara belakangan ini. Sungguh sedih dan sengsara nasib rakyatnya yang terus menjadi tumbal malapetaka besar tanpa memiliki jeda untuk sejenak merenung dan berbenah. Setidaknya untuk tahun 2006 ini, belum lagi habis derita gempa Jogjakarta, menyusul banjir di Sinjai, Sulawesi. Belum lagi kering, banjir datang menghajar Sulut dan Gorontalo. Belum habis semua itu direkonstruksi, pecah lagi gempa dan tsunami di pantai Pangandaran. Ditengah panik Pangandaran di Jawa Barat, Banten dihajar lagi dengan gempa karena pergeseran lempengan Australia.Wajah-wajah duka, panik, dan ketakutan hadir lagi memenuhi benak lewat halaman utama (headlines) surat kabar dan berita utama semua stasiun televisi.

Menghadapi daya ledak ekologis bumi, tsunami yang ditandai dengan pergeseran lempengan dibawah laut, gempa bumi, air bah yang mengalir deras, manusia praktis tak bisa melakukan apa-apa selain menyelamatkan apa saja yang mungkin. Dalam tekanan daya ledak (bencana) bumi yang seolah berkala, segenap kita penghuni gugusan Nusantara justru mengalami ketidakpastian dan kekhawatiran, karena tak cukupnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita miliki. Ketidakpastian, kekhawatiran dan ketakutan yang menghantui makin diperkuat dengan ‘kelambanan politis (negara)’ dalam teknologi mendeteksi, rekonstruksi paska bencana maupun mengevakuasi korban daya ledak ekologis. Bukankah segenap kita disini juga Papua tidak tahu kapan lempeng dibawah dibawah titik hunian kita akan bergeser atau bertumbukan?. Kita bahkan ‘mesti siap mati sewaktu-waktu !!’, kata Romo Budi Purnomo.

Bencana Ekologis, Negara dan Masyarakat Sipil.

Dari situasi bencana ekologis yang tampak mulai berlangsung berkala dan periodik, terutama sejak tsunami besar mematikan 250.000 jiwa di Aceh dan Nias dua tahun silam, kita bisa melacak itu hingga bencana gempa dan tsunami yang terjadi sejak tahun 1992 di Flores-NTT dengan korban 2.080 jiwa (Aloys Budi Purnomo, Negeri Gempa dan Tsunami, Kompas, 20/7/2006). Dalam gejala ‘bencana periodik’ menjadi penting untuk memikirkan pelibatan sumberdaya yang memungkinkan meminimalisasi situasi bencana dan paska bencana. Dua sumberdaya utama itu adalah institusi negara dan masyarakat sipil yang memiliki peran besar didalam setiap ledakan bencana ekologis dimana pun.

Pertama, dalam ranah negara, ketika kekuasaan adalah basis pengendalian kebijakan yang effektif, jelas terlihat kegagalan negara menyiapkan instrumen perlindungan dan keamanan warganya terhadap daya ledak bencana ekologis.

Dalam pada itu, yang bisa disebutkan sebagai instrumen perlindungan dan keamanan warga terhadap bencana, bukanlah mengalokasikan anggaran nanti ketika jatuh korban ratusan ribu jiwa, tetapi terutama penyiapan infrastruktur deteksi darimana bencana datang menjemput. Terkait dengan tsunami, sejauh ini, pemerintah baru memasang sistem deteksi dini (early warning system) dipantai Sumatera. Ketika tsunami mengamuk lagi dipantai selatan Jawa baru pemerintah lewat Menko Kesra Aburizal Bakrie berjanji akan memasang diseluruh titik rawan, seperti halnya Sulawesi dan Papua (Kompas 20/7/2006). Kata Aburizal Bakrie, pemerintah berjanji dalam tiga tahun kita sudah memasang sistem deteksi dini seluruh titik rawan.

Pernyataan aparatur negara seperti ini, lewat corong kementerian terkait, bukankah menunjukan pemerintah belum juga memprioritaskan ‘bencana ekologis’ sebagai agenda politik mendesak ?. Tampaknya dalam pemaknaan aparatur negara bencana akan menjadi prioritas ketika jumlah jiwa yang menjadi tumbal sudah ribuan dan saat bersamaan pendanaan dalam jumlah banyak dibutuhkan secepatnya. Kebijakan aparatur negara terus saja bersifat tambal sulam ditengah korban yang makin tak terbilang lagi.

Bukan apa-apa, dalam kasus pendanaan bagi korban bencana ekologis, budget besar adalah kemutlakan dan darurat. Sementara itu rakyat korban mesti bergulat dengan derita dan penanganan terbatas pemerintah propinsi, pendanaan pemerintah pusat mesti menunggu pembahasan dengan DPR. Ketika disalurkan mesti melalui rantai korupsi pula. Bisa dikatakan setiap tiba bencana ekologis setiap itu pula mesti ada rapat penyiapan budget-nya juga kemungkinan dikorupsi nantinya. Terlepas dari itu, dalam gaya penanganan bencana pemerintah kita, mesti ada negoisasi utang baru atau setidaknya ada anggaran kementrian yang dipotong.

Masalahnya bukan sebatas pada mekanisme atau prosedur pendanaan korban bencana yang kadang terlambat tiba, masalah dasarnya adalah pemerintah tak memiliki visi makro dan strategis atas bencana ekologis karena, sekali lagi, bencana ekologis memang bukan prioritas kebijakan. Ironisnya bencana ekologis justru datang dengan banyak rupa dan dengan interval waktu yang relatif pendek.

Jika terus saja berulang bencana dan berulang juga jatuh korban (jiwa dan materi) yang banyak elit negara dapat di justifikasi gagal. Justifikasi itu sah-sah saja mengingat dalam negaralah kekuasaan memungkinkan mobilisasi segenap sumberdaya, bukan hanya budget, tetapi juga mobilisasi ilmuwan, teknologi, dan pembangunan infrastruktur.

Kedua, ada kecenderungan peran masyarakat sipil (organisasi-organisasi sosial) akan makin diuji mengelola energi dalam melewati bencana beruntun. Dapat cenderung menurun mengambil bagian, pada situasi terlibat langsung mengevakuasi atau menyalurkan bantuan dari tempat-tempat diluar bencana. Ataupun dapat menjadi lebih kuat membangun kanopi solidaritas terhadap sesama anak negeri.

Bencana ekologis yang datang bertubi-tubi seolah tak memberi jeda untuk rekonstruksi melebihi kapasitas emosional dan material organisasi-organisasi sosial. Selain itu titik ledak bencana yang sporadis juga menyulitkan untuk mempersiapkan diri. Ada dua kecenderungan dalam ledakan berentetan bencana, yang satu dengan asumsi bahwa bencana membawa sisi positif dan yang kedua justru akibat sebaliknya.

Pertama, ledakan bencana akan memberi efek penguatan solidaritas lintas anak negeri, dan yang kedua, justru secara negatif melahirkan ‘kejenuhan empati dan fatalisme sosial’ kelompok-kelompok sipil terhadap alam dan korban itu sendiri.

Yang pertama sudah terlalu sering diulas, mari melihat yang kedua. Kejenuhan empati dimungkinkan karena ledakan bencana sudah terlalu sering hadir, mulai dari banjir badang, tsunami, dan gempa bumi, dengan membawa korban yang banyak. Secara fungsi-organisasional, organisasi-organisasi sosial jelas memiliki kapasitas kerja dan daya pelibatan yang terbatas, apakah terlibat dalam pengevakuasian korban atau sebatas menggalang dana bantuan bagi korban. Bukan tidak mungkin kehadiran bencana ekologis yang terlalu sering dapat memberi efek pembiasaan dan fatalisme saat mana negara juga gagal memberi perlindungan ekologis.

Setidak-tidaknya bagi mereka yang secara sukarela turun ke jalan-jalan mengumpulkan bantuan dari warga yang juga sukarela memberi bantuan juga akan berfikir bolak-balik. Tidak setiap saat orang memiliki kesiapan memberikan bantuan, bahkan dalam kategori paling minimalis sekalipun. Sudah banyak model-model penggalangan dana dilakukan, mulai dari kelas ‘penggalangan yang elitis’ layaknya stasiun televisi dengan menjejalkan artis-artis ibukota. Maupun model kelas gembel : membawa kotak-kota, mementaskan teater pas-pasan, dan menyuarakan keprihatinan di jalan, mall, dan pertokoan. Lantas kurang apalagi untuk menggali dana?. Tetapi bencana terus hadir, dan bukan tak mungkin, fatalisme sudah menjangkiti dan meluas perlahan ditengah masyarakat sipil. Orang perlahan kehabisan energi, kehilangan kreatifitas, dan mulai membiasakan diri ‘menikmati’ korban dan bencana sebatas informasi, selingan rutinitas kerjaan dengan televisi atau surat kabar.

Sebaliknya, bagi mereka yang terus bertahan, dalam kepungan bencana ekologis kita dipaksa untuk terus me-rocovery struktur dan energi empati hingga batas-batas melampaui kemanusiaan dan, barangkali, menjadi sekuat malaikat. Tapi saya justru sangsi itu bisa bertahan lama, bukankah hidup dalam krisis model Indonesia adalah pertarungan eksistensial yang sangat keras tiap harinya. Dan celakanya bukan semata menghadapi bencana ekologis?. Tetapi juga kemungkinan menghadapi ‘bencana politis dan bencana ekonomis’ yang bisa menjemput sewaktu-waktu karena inti elit nasional kita yang rapuh dan bermental petualang tak bermoral?.

Semoga aparatur negara cepat tersadarkan menyiapkan desain keamanan ekologis warganya dan berhenti berjanji diatas derita korban. Dan semoga Tuhan cepat membawa kita secepatnya keluar dari malapetaka ini. Sudah terlalu banyak air mata, sudah terlalu banyak anak-anak yang pergi tanpa menikmati indahnya pertumbuhan hidup. Tinggal pada-Nya kita bersandar ketika seluruh yang duniawi adalah kehampaan yang menyiksa, bukan ?!!. Walau begitu BENCANA BUKAN TAKDIR saudaraku !!.
* Wakil Sekjend PB PMII

Dan Revolusi Budaya Itupun Masih Berlanjut

Catatan singkat aktifitas Mawale Movement

Oleh: Andre GB*

Dunia harus paham dan pada akhirnya harus mengakui bahwa sentralisme dan homogenisasi yang sementara mereka lakukan sedang menemui kegagalannya. Pekerja-pekerja seni muda di seantero Sulawesi Utara dan Gorotanlo yang tergabung dalam Mawale Movement kemudian mampu membuktikan diri bahwa ini adalah gerakan budaya sistematik yang kemudian menyebar dan sedang merambah luas di daerah sebaran bahasa Malayu Manado yang tersebar dari Miangas (Nanusa) sampai ke (Gorontalo). Gerakan seni yang memuat kampanye-kampanye budaya yang mau tidak mau telah mengeser meski sedikit peta kebudayaan yang selama ini dalam teritori klaim orang ataupun golongan tertentu.

Dan di Manado sendiri yang kemudian secara sepihak menahbiskan diri sebagai kota yang menjadi pusat seni di Sulawesi Utara, ternyata juga ikut terseret dengan besarnya gelombang salju yang menggelinding karena kesadaran yang ternyata lebih masif meluas di daerah luar daripada Manado sendiri. Jujur, yang lebih banyak bertambah dan meluas di Manado adalah berdirinya puluhan mall-mal baru di sepanjang sisiran pantai Boulevard dan makin banyaknya kemiskinan mewabah akibat kesenjangan sosial, kebijakan politik yang tidak memihak, sistem ekonomi yang kini terbukti gagal, demokrasi yang ternyata di kemudian hari bukanlah jawaban mendasar dari berbagai masalah ini dan kesalahan analisa dan pembacaan peta budaya oleh orang-orang yang mengaku paham dan mengerti benar tentang masalah kebudayaan itu sendiri.
Ruang apresiasi seni juga tak kunjung membaik karena pada kenyataannya, selain gagalnya institusi/lembaga kesenian bentukan negara tak lepas dari kegagalan secara proses kreatif inovatif dari para pekerja seni “tua” yang berada di Manado. Berbagai ruang kreasi kemudian dibelenggu dengan semangat kompetisi/perlombaan yang lebih menekankan pada menang kalah, bukan pada nilai positif eksperimental, nilai revolusioner atau proses menuju penciptaan hasil kreatif di kancah seni. Berbagai kejuaraan dan lomba diadakan dengan jumlah peserta yang makin banyak namun ternyata tak diiringi peningkatan kualitas kesenian itu sendiri. Festival yang kemudian kehilangan makna sejatinya sebagai pesta seni terlanjur diperkosa oleh pemaknaan destruktif dari kelangan-kalangan yang sok tahu dan konservatif yang salah kaprah dalam teori maupun praktek keseniannya.

Berbagai lomba dan kejuaraan dibidang kesenian telah silih berganti diadakan. Namun ekses positif dengan meningkatnya iklim apresiasi masyarakat terhadap seni itu justru makin mundur ratusan tahun kebelakang. Belum juga ditambah dengan penyakit akut para pekerja seni yang terlanjur terkooptasi dengan semangat komersialisasi dan akumulasi. Seni kemudian dijadikan komoditi untuk mencari keuntungan lipat berganda dan meninggalkan landasan sejati dari hadirnya sebuah kesenian. Sungguh ironis ketika begitu banyak lomba-lomba kesenian yang berlangsung, namun jumlah pekerja seni semakin menipis. Yang makin marak justru adalah para pekerja seni dadakan. Banyak kelompok seni dadakan, tahunan, ataupun kelompok seni proyek. Kalaupun masih ada pekerja seni yang bertahan dari gempuran ini, kebanyakan justru gagap dengan perkembangan dan inovasi karena tak mempunyai kebesaran hati untuk mengakui bahwa dialektika seni di Sulawesi Utara terdesak mundur jauh kebelakang.

Sekarang, banyak pekerja seni yang akhirnya tidak mampu mempertahankan diri dan memilih perkerjaan sambilan, entah sebagai makelar politik, ataupun makelar kesenian itu sendiri. Dari segi material karya, masyarakat yang telah dihadapkan dengan sistem penerbitan mayor yang elitis, akumulatif, menindas dan anti humanisasi ikut dihajar dengan kesombongan pekerja seni yang membangun kastil-kastil megahnya, namun tak mampu sekedar memberi sekerat roti kepada orang yang kehilangan arah.

Gerakan Sastra Malayu Manado yang adalah anak kandung dari gerakan counter culture Mawale Movement telah membuktikan bahwa segala kemungkinan itu belum mati. Kemajuan tetaplah sebuah keniscayaan. Terakhir adalah berdirinya sebuah sanggar seni bernama Bukit Berbunga di kelurahan Lewet Amurang di kbaupaten Minahasa Selatan. Dan ini belum akhir. Tanggal 14 telah diluncurkan sebuah buku kumpulan puisi berbahasa Malayu Manado berjudul Jongen Spoken karya Chandra Dengah Rooroh yang berasal dari desa Treman Minahasa Utara. Kemudian disambung di bulan ini masih ada pementasan musikalisasi puisi dengan tiga genre sekaligus (blues, hip-rock, dan reggae) tanggal 16 Agustus di Aula Tunas Karya Tomohon. Lalu tanggal 24 Agustus akan ada peluncuran buku berjudul Mimpi Anak Negeri karya Altje Wantania di Tondano kabupaten Minahasa. Itu hanya agenda bulan Agustus saja. Beberapa waktu yang lalu, 4 orang pekerja seni Mawale Movement (Huruwaty Manengkey, Patricia Picauly, Andy dan Dean Kalalo) berangkat ke Jambi untuk mengikuti perhelatan Pekan Seni Mahasiswa Nasional (PEKSIMINAS). Dan masih banyak lagi kegiatan yang telah berlangsung di waktu-waktu yang lalu.

Dan tidak hanya dengan membukukan karya sebagai solusi tunggal mempublikasikan karya. Lewat dunia maya/cyber, di situs Sastra Manado (sastramanado.co.nr), Sastra Minahasa (sastra-minahasa.blogspot.com), Sastra Gorontalo (sastra-hulondalo.blogspot.com), Pinawetengan Muda (pinawetengan-muda.blogspot.com) dan masih ada lagi berbagai galery karya pribadi dari beberapa orang (yang bisa anda lihat link-nya di blog-blog di atas) hampir semua karya-karya sastra dipublikasikan kepada dunia. Pengunjung yang datang dan mengunjungi situs dan berbagai blog inipun tak hanya datang dari Sulut-Gorontalo saja, tapi dari berbagai belahan dunia. Mawale Moement membangun sendiri jaring-jaring kesenian dengan semangat kemandirian. Membuktikan bahwa usaha serius dan konsisten pasti akan membuahkan hasil.

Yang saya tuliskan bukan untuk menyombongkan diri. Tidak. Ini hanya upaya kecil untuk memberikan ruang apresiasi kepada semua orang muda yang telah memberikan waktu, tenaga, dan sumbangan materi dari kantong pribadi hanya agar kesenian di Sulawesi Utara dan Gorontalo tak surut. Kerja-kerja dengan nafas kebersamaan yang berlangsung dalam kesadaran bersama, bukan karena paksaan. Karena kami yakin bahwa membangun kesenian secara tulus adalah sebuah jalan lain membangun kebudayaan. Lagipula yang kami lakukan hanyalah sebuah invesatasi kecil untuk hari esok. Yang jelas, kami telah memulai dan masih terus bergerak tanpa menutup diri. Kami percaya bahwa tanggung jawab membangun peradaban adalah tanggung jawab bersama. Dan dengan semangat IDENTITAS, KREATIFITAS, KONTEMPORERITAS, kami akan terus mendorong maju kereta Mawale Movement sejauh mungkin. Dan karena kami berbuat meski minimal, maka akan sangat wajar jika kami berteriak : SO TORANG NO TU BAROL!!!

*Penulis adalah sastrawan, Pemred MAWALE: Jurnal Sastra Manado