Oleh : Daniel A Kaligis
Kita masih di sini, meramu kata bagi rasa, mata yang membaca dalam kantuk yang tertahan, karena takut itu sudah beralasan, jangan-jangan "kesalahan" diberitakan sebagai "kebenaran", naif kata ejakulasi dan orgasme lupa tersalur, berita yang menghentar banyak tanya tentang mereka yang sudah duduk di kursi empuk dan menjadi lupa diri untuk meresapi sendiri. Bagaimana kebangkitan itu?
Mungkin saja berdiri dan jalan-jalan. Atau ia ada di alam sesudah kematian, lalu bangkit dan menjadi hantu-hantu penasaran. Alinea mula ini mungkin lebih tepat bagi perfilman dan pesinetronan kita yang dipenuhi dengan hantu-hantu, badut yang kocak, pada beberapa waktu terakhir ini marak, sehingga kita menyebutnya "bangkit dari kubur".
Hanya pembuka sebuah kenangan, lupakan saja ratusan tahun masa ketika kita dijajah. Cerita kebangkitan nasional yang kontroversial. Ada yang menyebut 20 Mei 1908 tak pantas sebagai hari kebangkitan nasional sebab organisasi yang mengusung nasionalisme di zaman itu, tokoh-tokoh yang berdiri di balik pergerakan itu adalah Vritmejselareen alias pro penjajah.
Berseberangan dengan pandangan itu, ada yang menganggap 20 Mei 1908 sebagai tonggak di mana bangkitnya semangat untuk bersatu sebagai bangsa-bangsa yang terjajah untuk sadar memperjuangkan kemerdekaan, dampak politik etis yang menderas sejak Multatuli.
Kini! Jangan tanya berapa hutang luar negeri kita yang sudah memaksakan kemiskinan semakin mengental. Jangan tanya good govenance yang sudah disinyalir sebagai sebuah pesanan yang juga akan mencabut subsidi rakyat sehingga ketergantungan kaum kecil itu boleh di-drive negara. Kritik pedas tentang negeri ini adalah ketika penerapan sistem kapitalisme sudah merajai dan kita masih mengelak dengan berbagai argumen sambil terlena pada sistem yang hanya mengarah pada konsentrasi kekayaan dan kemakmuran, sambil menumbuhsuburkan marginalisasi, penegasian dan mengerasnya perbedaan kaya dan miskin.
Tapi, dalam kondisi yang ada saat ini kita hanya dapat melihat "kebangkrutan nasional". Demo ada di mana-mana meneriakkan kemiskinan dan daya beli yang sudah ambruk. Perekonomian rakyat yang jadi wacana di mana-mana cuma semir berbalut program yang tak kena sasaran. Merdu suara bantuan langsung tunai kembali berdendang untuk kenaikan yang jelas-jelas tidak berimbang. Rakyat bisa bikin apa di situasi yang semakin resah ini?
"Kita layak belajar dari pengalaman sejarah". Ini cerita saya dengan seorang hukum tua di salah satu wanua di Minahasa Tenggara, kemarin siang. Temmy Naray nama hukum tua itu. Ia mendera pengalaman sejarah. The Great Depression yang terjadi pada awal 1928 di Amerika Serikat dan puncaknya terjadi pada 29 Oktober 1929 dengan pemicu market crash yang dikenang sebagai Black Tuesday.
Layaknya sebuah negara Adidaya, bila Amerika Serikat terpelanting, dunia pun ikut terjungkal dalam lumpur krisis. "Amerika Serikat pernah mengalami krisis yang hebat, tapi ia tak menghentikan pembangunan," urai Naray bersemangat ketika saya mengatakan apa yang disebut Agus Poputra, pakar ekonomi Unsrat di media tiga dimensi beberapa malam silam, bahwa, menunda pembangunan adalah inefisiensi.
Inilah yang membuka wawasan kita dari pengalaman krisis di tahun 30-an itu, yang mana Amerika Serikat justru membuka banyak lapangan pekerjaan. Subsidi diubah menjadi proyek padat karya dan rakyat terus bekerja memutar perekonomian dan pembangunan. Ketika badai krisis berlalu, infrastruktur sudah siap, dan mereka melaju lagi dengan langkah tegap.
Tak layakkah pengalaman ini dicontoh pemerintah kita? Sudah terbukti bantuan langsung tunai dan berbagai pengaman sosial di periode yang sudah lewat bukanlah salah satu solusi yang tepat bagi rakyat miskin di Indonesia. Ada gunanya memang, tapi ada yang hanya jadi pulsa handphone, ada yang menguap percuma. Itulah sehingga kita punya ide untuk 'mencontek' apa yang dilakukan
Amerika Serikat di masa lampau itu. Gantinya memberikan bantuan langsung tunai yang tak jelas arah dan juntrungannya, mengapa pemerintah tak membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi banyak tenaga produktif yang sementara ini menganggur.
"Proyek padat karya musti diperbanyak, bila masuk di akal, mesin digantikan dengan tenaga manusia," tegas Naray. Betul! Setuju! Karena bila dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa, usai badai krisis ini, bila lapangan kerja dibuka maka pembangunan di negeri kita mudah-mudahan sudah mengalami kemajuan pesat. Krisis yang berguna sebagai pembangkit semangat.
Segala teori lagi menghantui dengan wacana. Kita hanya terbelalak dan kaget pada kemajuan negeri seberang yang berlipat ganda, kemudian kita tertarik untuk jalan-jalan ke sana untuk cari pengalaman? Wah, ini memang sudah menjadi sesuatu yang hebat di negeri kita ini. Proyek jalan-jalan yang makan biaya. "Berbagai kunjungan bila lewat dengan sirene pasti iring-iringannya banyak. Padahal yang 'penting' di situ hanya satu dua orang saja." Di tengah meroketnya harga BBM, kondisi jalan-jalan seperti itu masih saja marak!
Pengalaman krisis di negara Paman Sam seperti ditulis Aprilian Hermawan, seorang wartawan Bisnis Indonesia yang mana negara-negara korban resesi adalah mereka yang tergantung dengan industri berat. "Ekspor bahan baku pada perdagangan internasional menurun tajam. Sektor konstruksi mandek di banyak negara. Industri sektor primer: pertanian, pertambangan dan pengangkutan menderita paling parah. Permintaan anjlok dengan sedikit alternatif pengalihan pekerjaan sehingga pengangguran meluas.
Ekspor Amerika Serikat merosot dari US$5,2 miliar pada 1929 menjadi US$1,7 miliar pada 1993. Harga komoditas pertanian seperti gandum, kapas, dan tembakau turun. Petani pun ikut merugi. Kondisi seperti inilah yang sudah dikhawatirkan Alan Greenspan, mantan Chairperson Federal Reserve, jauh sebelum peringatan IMF muncul. Perlambatan ekonomi global akibat meluasnya krisis kredit subprime mortgage, tingginya harga minyak dan risiko resesi di Amerika Serikat menjadi faktor utama yang memberi peluang terjadinya peristiwa seperti depresi besar. Faktor lain yang perlu dicermati adalah kecenderungan kenaikan harga beberapa komoditas pangan.
Berbeda dengan era resesi, di mana harga komoditas cenderung menurun, kenaikan harga bahan pangan membuat tekanan inflasi sehingga menjadi faktor tersendiri yang perlu diwaspadai, tidak terkecuali buat Indonesia," urai Hermawan.
Beda masa, beda waktu antara Indonesia dan Amerika Serikat. Itu benar-benar saya sadari. Namun, saya berharap krisis di negeri tercinta ini segera berakhir. Kita niscaya bangkit, bukan karena kenangan sejarah kebangkitan nasional, tapi dengan kerja keras yang disusun strategis dan terencana berdasarkan skala prioritas.
Demikian pula, kita boleh berangan-angan, semoga pemerintah berada pada posisi menentukan pilihan-pilihan prioritas dengan kebijakan yang benar-benar membuat rakyat bangkit dari tidur panjang "kemalasan" karena sistem yang mendesak punahnya partisipasi rakyat. Bila tidak, bersiaplah untuk kebangkrutan nasional yang berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar