Kembali ke Halaman Utama

Kembali ke Halaman Utama
Klik Gambar ini

Sabtu, 23 Agustus 2008

Jangan Pilih Politisi Busuk!

Oleh Erny Jacob, SE

Meski Pemilu nanti akan diselenggarakan tahun depan, namun sejumlah tahapan pesta demokrasi itu telah dilaksanakan. Antaranya, pada tanggal 19 Agustus lalu, KPU dan KPUD di masing-masing daerah telah menerima nama-nama bakal calon anggota legislatif yang akan diusung oleh setiap Partai Politik untuk menjadi anggota legislatif. Ada yang menarik dalam proses pencalegkan sekarang, bahwa KPU memberikan kesempatan kepada publik untuk mengenal dan menilai bakal-bakal caleg yang didaftarkan Parpol sebelum ditetapkan di Daftar Caleg Tetap (DCT). Meski memang, kita belum tahu sejauh mana efektifitas cara ini untuk mendapatkan caleg yang pro rakyat dan bersih dari perilaku korup dan zinah. Tapi setidaknya, ini adalah pintu masuk bagi rakyat atau para pemilih untuk mengenal lebih jauh caleg yang akan dipilihnya nanti. Jangan salah pilih, sebab politisi busuk masih banyak yang berambisi untuk duduk lagi dikursi panas kantor dewan.

Siapa dan bagaimana politisi busuk itu? Kata “politisi busuk” muncul dan sempat membikin jantung deg-deggan para politisi jelek itu pada Pemilu 2004. Di Sulut, kata yang sepadan pernah digaungkan oleh sejumlah aktivis pro demokrasi adalah “Politisi Ca’Beres”. Pertama-tama kata ini menunjuk pada politisi-politisi lama yang masih berambisi maju lagi menjadi anggota dewan padahal track record-nya sebenarnya tidak layak lagi menyandang jabatan sebagai wakil rakyat. Politisi Busuk adalah mereka-mereka yang memiliki sejarah berpolitik yang jelek, korup, suka berzinah dan sudah tentu hanya ingin kaya sendiri dan mengkhianati kepercayaan rakyat yang memilih dia dengan menggunakan kekuasaan yang diberikan rakyat itu untuk kenikmatan dan kekayaan diri, keluarga dan kelompok sendiri. Tapi, ketika menjadi anggota legislatif agaknya semakin mudah, setidaknya yang penting nama sudah terdaftar dan gambar yang cantik dan ganteng bisa tercetak di kertas suara, maka politisi busuk bisa juga menunjuk pada politisi-politisi dadakan dan instan yang pernah terlibat pada kasus-kasus yang membuat dia tidak pantas menjadi wakil rakyat, misalnya selingkuh, narkoba, kekerasan rumah tangga atau luar rumah, pelaku illegal logging dan berbagai bentuk kejahatan lainnya.

Tapi hal-hal yang saya sebut tadi sebagai ciri-ciri politisi busuk adalah antara lain dari begitu panjang daftar ciri untuk seseorang bisa disebut politisi busuk. Dan, hal-hal lain bisa ditambah sendiri oleh publik. Sebab, publiklah yang kenal dan tahu sepak terjang tetangga atau kenalannya yang tibat-tiba menjadi anggota legislatif. Tapi, satu yang pasti, politisi busuk adalah orang yang tidak pantas menjadi wakil rakyat, karena perilaku dan moral yang tidak baik.

Mencari tahu apakah seorang caleg memiliki ciri-ciri politisi busuk atau tidak sangatlah penting bagi pemilih atau rakyat pada umumnya. Sebab, hasil salah pilih pada Pemilu 2004 sudah kita lihat dan bahkan rasakan sekarang. Wakil rakyat yang terlibat seks bebas, korupsi atau menerima suap, dan wakil rakyat yang lupa diri dan tidak melakukan apa-apa terhadap, minimal daerah pemilihan, yang mencuat sekarang ini adalah bukti betapa Pemilu 2004 masih didominasi oleh para politisi busuk. Dan politisi busuk itu tidak pandang laki-laki atau perempuan. Jenis kelamin tidak menjadi ukuran apakah seseorang baik atau jahat.

Tapi memang ini kompleks sifanya, bahwa rakyat kita yang sedang lapar sehingga memilih hanya karena telah mendapatkan uang dan sembako, ditambah memang demokrasi kita yang belum sehat maka jadilah demokrasi menjadi democrazy. Partai baru akan tampil dimuka publik ketika Pemilu akan digelar. Pada waktu usai Pemilu atau Pilpres mereka melupakan rakyat. Padahal salah satu fungsi Parpol adalah pendidikan politik. Tapi parpol memang sengaja tidak melaksanakan pendidikan politik. Partai takut untuk melakukan itu, sebab kalau rakyat sudah pandai berpolitik, maka rakyat pasti tidak mudah lagi akan dibodohi dengan janji manis dan uang seratus ribu rupiah atau sekilo sembako. Begitulah sehingga partisipasi politik yang ada sampai sekarang di Pilkada maupun Pemilu adalah partisipasi politik yang dimobilisasi oleh uang dan perasaan, bukan partisipasi politik secara sadar. Rakyat memang sengaja dibuat mabuk dengan uang, dan janji-janji manis, sehingga ketika dibilik suara, rakyat memilih dalam keadaan mabuk, bukan karena sadar dan rasional. Jadilah dia salah pilih!

Saatnya kita merubah motivasi dan cara kita berpartisipasi dalam Pemilu. Kita tidak mungkin ingin melihat desa atau daerah kita dalam keadaan memprihatinkan terus, hanya karena kita memilih politisi busuk: korup, pengguna narkoba dan pelaku zinah. Kalau kita sudah tahu politisi itu kerjanya cuma memikirkan uang dan tidak pernah berjuang dengan idealisme demi rakyat, kenapa kita harus memilih dia? Kalau kita sudah tahu, bahwa tetangga kita hobi berselingkuh dan dugem, kenapa kita mendukungnya? Kalau kita sudah tahu caleg itu pernah terlibat illegal logging, kenapa dia yang harus kita dukung menjadi anggota dewan? Kalau kita tidak mempertimbangkan itu, maka sama saja kita akan membiarkan gedung dewan menjadi kantornya para penjahat.

Tapi ini tidak mudah kita lakukan selagi partai-partai kita hanya mengejar kuantitas: suara dan kursi untuk mengukuhkan kekuasaanya. Sebab, kita sudah lihat sendiri, bahwa nomor urut akhirnya masih sangat menentukan seseorang bisa terpilih atau tidak. Dan, faktanya, nomor urut satu, selalu ditempati oleh pejabat partai, yang mestinya kita ragukan komitmen kerakyatannya. Yang bertengger di nomor urut satu, menurut proyeksi partai adalah orang-orang yang punya duit sehingga punya massa, dan tidak pusing apakah dia idealis, bermoral atau tidak. Sementara orang-orang yang sebenarnya masih punya komitmen dan masih bisa diharapkan, selalu berada di nomor urut paling bawah. Sebenarnya ada sejumlah parpol yang mewacanakan suara terbanyak, tapi itu ternyata berbenturan dengan aturan KPU dan Undang-undang Pemilu, sehingga rawan konflik.

Memang disadari bahwa kalau kita akhirnya berpijak pada idealisme untuk memilih politisi yang baik, maka kita akhirnya akan berada pada posisi yang dilematis. Sebab di satu pihak, pilihan kita untuk memilih politisi yang baik: prorakyat dan bermoral baik sudah sangat sulit, tapi di lain pihak, fakta bernegara sampai hari, kita masih harus dipimpin oleh orang-orang itu. Sehingga, akhirnya persoalan ini harus ditarik lagi pada sentralisme negara. Kenapa begitu? Ya, kita rakyat daerah kan hanya mematuhi apa kata Partai yang berkedudukan di Pusat, dan KPUD yang hirarkis dengan KPU di Jakarta dan dominasi negara yang dikendalikan oleh rezim.

Semua akhirnya dikembalikan pada kecerdasan kita yang tidak ingin menderita oleh kelakuan para politisi busuk untuk pinter-pinter memilih mana caleg yang baik di antara banyak caleg yang busuk. Waktu cukup panjang untuk menilai caleg-caleg mana yang terbaik di antara banyak yang sudah tidak beres.

Sayang, partai lokal masih berlaku di Aceh, belum di sini!

Penulis, aktivis LSM, Tinggal di Tomohon

Tidak ada komentar: