Oleh Subronto Aji*
Sungguh malang benar tanah Nusantara belakangan ini. Sungguh sedih dan sengsara nasib rakyatnya yang terus menjadi tumbal malapetaka besar tanpa memiliki jeda untuk sejenak merenung dan berbenah. Setidaknya untuk tahun 2006 ini, belum lagi habis derita gempa Jogjakarta, menyusul banjir di Sinjai, Sulawesi. Belum lagi kering, banjir datang menghajar Sulut dan Gorontalo. Belum habis semua itu direkonstruksi, pecah lagi gempa dan tsunami di pantai Pangandaran. Ditengah panik Pangandaran di Jawa Barat, Banten dihajar lagi dengan gempa karena pergeseran lempengan Australia.Wajah-wajah duka, panik, dan ketakutan hadir lagi memenuhi benak lewat halaman utama (headlines) surat kabar dan berita utama semua stasiun televisi.
Menghadapi daya ledak ekologis bumi, tsunami yang ditandai dengan pergeseran lempengan dibawah laut, gempa bumi, air bah yang mengalir deras, manusia praktis tak bisa melakukan apa-apa selain menyelamatkan apa saja yang mungkin. Dalam tekanan daya ledak (bencana) bumi yang seolah berkala, segenap kita penghuni gugusan Nusantara justru mengalami ketidakpastian dan kekhawatiran, karena tak cukupnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita miliki. Ketidakpastian, kekhawatiran dan ketakutan yang menghantui makin diperkuat dengan ‘kelambanan politis (negara)’ dalam teknologi mendeteksi, rekonstruksi paska bencana maupun mengevakuasi korban daya ledak ekologis. Bukankah segenap kita disini juga Papua tidak tahu kapan lempeng dibawah dibawah titik hunian kita akan bergeser atau bertumbukan?. Kita bahkan ‘mesti siap mati sewaktu-waktu !!’, kata Romo Budi Purnomo.
Bencana Ekologis, Negara dan Masyarakat Sipil.
Dari situasi bencana ekologis yang tampak mulai berlangsung berkala dan periodik, terutama sejak tsunami besar mematikan 250.000 jiwa di Aceh dan Nias dua tahun silam, kita bisa melacak itu hingga bencana gempa dan tsunami yang terjadi sejak tahun 1992 di Flores-NTT dengan korban 2.080 jiwa (Aloys Budi Purnomo, Negeri Gempa dan Tsunami, Kompas, 20/7/2006). Dalam gejala ‘bencana periodik’ menjadi penting untuk memikirkan pelibatan sumberdaya yang memungkinkan meminimalisasi situasi bencana dan paska bencana. Dua sumberdaya utama itu adalah institusi negara dan masyarakat sipil yang memiliki peran besar didalam setiap ledakan bencana ekologis dimana pun.
Pertama, dalam ranah negara, ketika kekuasaan adalah basis pengendalian kebijakan yang effektif, jelas terlihat kegagalan negara menyiapkan instrumen perlindungan dan keamanan warganya terhadap daya ledak bencana ekologis.
Dalam pada itu, yang bisa disebutkan sebagai instrumen perlindungan dan keamanan warga terhadap bencana, bukanlah mengalokasikan anggaran nanti ketika jatuh korban ratusan ribu jiwa, tetapi terutama penyiapan infrastruktur deteksi darimana bencana datang menjemput. Terkait dengan tsunami, sejauh ini, pemerintah baru memasang sistem deteksi dini (early warning system) dipantai Sumatera. Ketika tsunami mengamuk lagi dipantai selatan Jawa baru pemerintah lewat Menko Kesra Aburizal Bakrie berjanji akan memasang diseluruh titik rawan, seperti halnya Sulawesi dan Papua (Kompas 20/7/2006). Kata Aburizal Bakrie, pemerintah berjanji dalam tiga tahun kita sudah memasang sistem deteksi dini seluruh titik rawan.
Pernyataan aparatur negara seperti ini, lewat corong kementerian terkait, bukankah menunjukan pemerintah belum juga memprioritaskan ‘bencana ekologis’ sebagai agenda politik mendesak ?. Tampaknya dalam pemaknaan aparatur negara bencana akan menjadi prioritas ketika jumlah jiwa yang menjadi tumbal sudah ribuan dan saat bersamaan pendanaan dalam jumlah banyak dibutuhkan secepatnya. Kebijakan aparatur negara terus saja bersifat tambal sulam ditengah korban yang makin tak terbilang lagi.
Bukan apa-apa, dalam kasus pendanaan bagi korban bencana ekologis, budget besar adalah kemutlakan dan darurat. Sementara itu rakyat korban mesti bergulat dengan derita dan penanganan terbatas pemerintah propinsi, pendanaan pemerintah pusat mesti menunggu pembahasan dengan DPR. Ketika disalurkan mesti melalui rantai korupsi pula. Bisa dikatakan setiap tiba bencana ekologis setiap itu pula mesti ada rapat penyiapan budget-nya juga kemungkinan dikorupsi nantinya. Terlepas dari itu, dalam gaya penanganan bencana pemerintah kita, mesti ada negoisasi utang baru atau setidaknya ada anggaran kementrian yang dipotong.
Masalahnya bukan sebatas pada mekanisme atau prosedur pendanaan korban bencana yang kadang terlambat tiba, masalah dasarnya adalah pemerintah tak memiliki visi makro dan strategis atas bencana ekologis karena, sekali lagi, bencana ekologis memang bukan prioritas kebijakan. Ironisnya bencana ekologis justru datang dengan banyak rupa dan dengan interval waktu yang relatif pendek.
Jika terus saja berulang bencana dan berulang juga jatuh korban (jiwa dan materi) yang banyak elit negara dapat di justifikasi gagal. Justifikasi itu sah-sah saja mengingat dalam negaralah kekuasaan memungkinkan mobilisasi segenap sumberdaya, bukan hanya budget, tetapi juga mobilisasi ilmuwan, teknologi, dan pembangunan infrastruktur.
Kedua, ada kecenderungan peran masyarakat sipil (organisasi-organisasi sosial) akan makin diuji mengelola energi dalam melewati bencana beruntun. Dapat cenderung menurun mengambil bagian, pada situasi terlibat langsung mengevakuasi atau menyalurkan bantuan dari tempat-tempat diluar bencana. Ataupun dapat menjadi lebih kuat membangun kanopi solidaritas terhadap sesama anak negeri.
Bencana ekologis yang datang bertubi-tubi seolah tak memberi jeda untuk rekonstruksi melebihi kapasitas emosional dan material organisasi-organisasi sosial. Selain itu titik ledak bencana yang sporadis juga menyulitkan untuk mempersiapkan diri. Ada dua kecenderungan dalam ledakan berentetan bencana, yang satu dengan asumsi bahwa bencana membawa sisi positif dan yang kedua justru akibat sebaliknya.
Pertama, ledakan bencana akan memberi efek penguatan solidaritas lintas anak negeri, dan yang kedua, justru secara negatif melahirkan ‘kejenuhan empati dan fatalisme sosial’ kelompok-kelompok sipil terhadap alam dan korban itu sendiri.
Yang pertama sudah terlalu sering diulas, mari melihat yang kedua. Kejenuhan empati dimungkinkan karena ledakan bencana sudah terlalu sering hadir, mulai dari banjir badang, tsunami, dan gempa bumi, dengan membawa korban yang banyak. Secara fungsi-organisasional, organisasi-organisasi sosial jelas memiliki kapasitas kerja dan daya pelibatan yang terbatas, apakah terlibat dalam pengevakuasian korban atau sebatas menggalang dana bantuan bagi korban. Bukan tidak mungkin kehadiran bencana ekologis yang terlalu sering dapat memberi efek pembiasaan dan fatalisme saat mana negara juga gagal memberi perlindungan ekologis.
Setidak-tidaknya bagi mereka yang secara sukarela turun ke jalan-jalan mengumpulkan bantuan dari warga yang juga sukarela memberi bantuan juga akan berfikir bolak-balik. Tidak setiap saat orang memiliki kesiapan memberikan bantuan, bahkan dalam kategori paling minimalis sekalipun. Sudah banyak model-model penggalangan dana dilakukan, mulai dari kelas ‘penggalangan yang elitis’ layaknya stasiun televisi dengan menjejalkan artis-artis ibukota. Maupun model kelas gembel : membawa kotak-kota, mementaskan teater pas-pasan, dan menyuarakan keprihatinan di jalan, mall, dan pertokoan. Lantas kurang apalagi untuk menggali dana?. Tetapi bencana terus hadir, dan bukan tak mungkin, fatalisme sudah menjangkiti dan meluas perlahan ditengah masyarakat sipil. Orang perlahan kehabisan energi, kehilangan kreatifitas, dan mulai membiasakan diri ‘menikmati’ korban dan bencana sebatas informasi, selingan rutinitas kerjaan dengan televisi atau surat kabar.
Sebaliknya, bagi mereka yang terus bertahan, dalam kepungan bencana ekologis kita dipaksa untuk terus me-rocovery struktur dan energi empati hingga batas-batas melampaui kemanusiaan dan, barangkali, menjadi sekuat malaikat. Tapi saya justru sangsi itu bisa bertahan lama, bukankah hidup dalam krisis model Indonesia adalah pertarungan eksistensial yang sangat keras tiap harinya. Dan celakanya bukan semata menghadapi bencana ekologis?. Tetapi juga kemungkinan menghadapi ‘bencana politis dan bencana ekonomis’ yang bisa menjemput sewaktu-waktu karena inti elit nasional kita yang rapuh dan bermental petualang tak bermoral?.
Semoga aparatur negara cepat tersadarkan menyiapkan desain keamanan ekologis warganya dan berhenti berjanji diatas derita korban. Dan semoga Tuhan cepat membawa kita secepatnya keluar dari malapetaka ini. Sudah terlalu banyak air mata, sudah terlalu banyak anak-anak yang pergi tanpa menikmati indahnya pertumbuhan hidup. Tinggal pada-Nya kita bersandar ketika seluruh yang duniawi adalah kehampaan yang menyiksa, bukan ?!!. Walau begitu BENCANA BUKAN TAKDIR saudaraku !!.
Menghadapi daya ledak ekologis bumi, tsunami yang ditandai dengan pergeseran lempengan dibawah laut, gempa bumi, air bah yang mengalir deras, manusia praktis tak bisa melakukan apa-apa selain menyelamatkan apa saja yang mungkin. Dalam tekanan daya ledak (bencana) bumi yang seolah berkala, segenap kita penghuni gugusan Nusantara justru mengalami ketidakpastian dan kekhawatiran, karena tak cukupnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita miliki. Ketidakpastian, kekhawatiran dan ketakutan yang menghantui makin diperkuat dengan ‘kelambanan politis (negara)’ dalam teknologi mendeteksi, rekonstruksi paska bencana maupun mengevakuasi korban daya ledak ekologis. Bukankah segenap kita disini juga Papua tidak tahu kapan lempeng dibawah dibawah titik hunian kita akan bergeser atau bertumbukan?. Kita bahkan ‘mesti siap mati sewaktu-waktu !!’, kata Romo Budi Purnomo.
Bencana Ekologis, Negara dan Masyarakat Sipil.
Dari situasi bencana ekologis yang tampak mulai berlangsung berkala dan periodik, terutama sejak tsunami besar mematikan 250.000 jiwa di Aceh dan Nias dua tahun silam, kita bisa melacak itu hingga bencana gempa dan tsunami yang terjadi sejak tahun 1992 di Flores-NTT dengan korban 2.080 jiwa (Aloys Budi Purnomo, Negeri Gempa dan Tsunami, Kompas, 20/7/2006). Dalam gejala ‘bencana periodik’ menjadi penting untuk memikirkan pelibatan sumberdaya yang memungkinkan meminimalisasi situasi bencana dan paska bencana. Dua sumberdaya utama itu adalah institusi negara dan masyarakat sipil yang memiliki peran besar didalam setiap ledakan bencana ekologis dimana pun.
Pertama, dalam ranah negara, ketika kekuasaan adalah basis pengendalian kebijakan yang effektif, jelas terlihat kegagalan negara menyiapkan instrumen perlindungan dan keamanan warganya terhadap daya ledak bencana ekologis.
Dalam pada itu, yang bisa disebutkan sebagai instrumen perlindungan dan keamanan warga terhadap bencana, bukanlah mengalokasikan anggaran nanti ketika jatuh korban ratusan ribu jiwa, tetapi terutama penyiapan infrastruktur deteksi darimana bencana datang menjemput. Terkait dengan tsunami, sejauh ini, pemerintah baru memasang sistem deteksi dini (early warning system) dipantai Sumatera. Ketika tsunami mengamuk lagi dipantai selatan Jawa baru pemerintah lewat Menko Kesra Aburizal Bakrie berjanji akan memasang diseluruh titik rawan, seperti halnya Sulawesi dan Papua (Kompas 20/7/2006). Kata Aburizal Bakrie, pemerintah berjanji dalam tiga tahun kita sudah memasang sistem deteksi dini seluruh titik rawan.
Pernyataan aparatur negara seperti ini, lewat corong kementerian terkait, bukankah menunjukan pemerintah belum juga memprioritaskan ‘bencana ekologis’ sebagai agenda politik mendesak ?. Tampaknya dalam pemaknaan aparatur negara bencana akan menjadi prioritas ketika jumlah jiwa yang menjadi tumbal sudah ribuan dan saat bersamaan pendanaan dalam jumlah banyak dibutuhkan secepatnya. Kebijakan aparatur negara terus saja bersifat tambal sulam ditengah korban yang makin tak terbilang lagi.
Bukan apa-apa, dalam kasus pendanaan bagi korban bencana ekologis, budget besar adalah kemutlakan dan darurat. Sementara itu rakyat korban mesti bergulat dengan derita dan penanganan terbatas pemerintah propinsi, pendanaan pemerintah pusat mesti menunggu pembahasan dengan DPR. Ketika disalurkan mesti melalui rantai korupsi pula. Bisa dikatakan setiap tiba bencana ekologis setiap itu pula mesti ada rapat penyiapan budget-nya juga kemungkinan dikorupsi nantinya. Terlepas dari itu, dalam gaya penanganan bencana pemerintah kita, mesti ada negoisasi utang baru atau setidaknya ada anggaran kementrian yang dipotong.
Masalahnya bukan sebatas pada mekanisme atau prosedur pendanaan korban bencana yang kadang terlambat tiba, masalah dasarnya adalah pemerintah tak memiliki visi makro dan strategis atas bencana ekologis karena, sekali lagi, bencana ekologis memang bukan prioritas kebijakan. Ironisnya bencana ekologis justru datang dengan banyak rupa dan dengan interval waktu yang relatif pendek.
Jika terus saja berulang bencana dan berulang juga jatuh korban (jiwa dan materi) yang banyak elit negara dapat di justifikasi gagal. Justifikasi itu sah-sah saja mengingat dalam negaralah kekuasaan memungkinkan mobilisasi segenap sumberdaya, bukan hanya budget, tetapi juga mobilisasi ilmuwan, teknologi, dan pembangunan infrastruktur.
Kedua, ada kecenderungan peran masyarakat sipil (organisasi-organisasi sosial) akan makin diuji mengelola energi dalam melewati bencana beruntun. Dapat cenderung menurun mengambil bagian, pada situasi terlibat langsung mengevakuasi atau menyalurkan bantuan dari tempat-tempat diluar bencana. Ataupun dapat menjadi lebih kuat membangun kanopi solidaritas terhadap sesama anak negeri.
Bencana ekologis yang datang bertubi-tubi seolah tak memberi jeda untuk rekonstruksi melebihi kapasitas emosional dan material organisasi-organisasi sosial. Selain itu titik ledak bencana yang sporadis juga menyulitkan untuk mempersiapkan diri. Ada dua kecenderungan dalam ledakan berentetan bencana, yang satu dengan asumsi bahwa bencana membawa sisi positif dan yang kedua justru akibat sebaliknya.
Pertama, ledakan bencana akan memberi efek penguatan solidaritas lintas anak negeri, dan yang kedua, justru secara negatif melahirkan ‘kejenuhan empati dan fatalisme sosial’ kelompok-kelompok sipil terhadap alam dan korban itu sendiri.
Yang pertama sudah terlalu sering diulas, mari melihat yang kedua. Kejenuhan empati dimungkinkan karena ledakan bencana sudah terlalu sering hadir, mulai dari banjir badang, tsunami, dan gempa bumi, dengan membawa korban yang banyak. Secara fungsi-organisasional, organisasi-organisasi sosial jelas memiliki kapasitas kerja dan daya pelibatan yang terbatas, apakah terlibat dalam pengevakuasian korban atau sebatas menggalang dana bantuan bagi korban. Bukan tidak mungkin kehadiran bencana ekologis yang terlalu sering dapat memberi efek pembiasaan dan fatalisme saat mana negara juga gagal memberi perlindungan ekologis.
Setidak-tidaknya bagi mereka yang secara sukarela turun ke jalan-jalan mengumpulkan bantuan dari warga yang juga sukarela memberi bantuan juga akan berfikir bolak-balik. Tidak setiap saat orang memiliki kesiapan memberikan bantuan, bahkan dalam kategori paling minimalis sekalipun. Sudah banyak model-model penggalangan dana dilakukan, mulai dari kelas ‘penggalangan yang elitis’ layaknya stasiun televisi dengan menjejalkan artis-artis ibukota. Maupun model kelas gembel : membawa kotak-kota, mementaskan teater pas-pasan, dan menyuarakan keprihatinan di jalan, mall, dan pertokoan. Lantas kurang apalagi untuk menggali dana?. Tetapi bencana terus hadir, dan bukan tak mungkin, fatalisme sudah menjangkiti dan meluas perlahan ditengah masyarakat sipil. Orang perlahan kehabisan energi, kehilangan kreatifitas, dan mulai membiasakan diri ‘menikmati’ korban dan bencana sebatas informasi, selingan rutinitas kerjaan dengan televisi atau surat kabar.
Sebaliknya, bagi mereka yang terus bertahan, dalam kepungan bencana ekologis kita dipaksa untuk terus me-rocovery struktur dan energi empati hingga batas-batas melampaui kemanusiaan dan, barangkali, menjadi sekuat malaikat. Tapi saya justru sangsi itu bisa bertahan lama, bukankah hidup dalam krisis model Indonesia adalah pertarungan eksistensial yang sangat keras tiap harinya. Dan celakanya bukan semata menghadapi bencana ekologis?. Tetapi juga kemungkinan menghadapi ‘bencana politis dan bencana ekonomis’ yang bisa menjemput sewaktu-waktu karena inti elit nasional kita yang rapuh dan bermental petualang tak bermoral?.
Semoga aparatur negara cepat tersadarkan menyiapkan desain keamanan ekologis warganya dan berhenti berjanji diatas derita korban. Dan semoga Tuhan cepat membawa kita secepatnya keluar dari malapetaka ini. Sudah terlalu banyak air mata, sudah terlalu banyak anak-anak yang pergi tanpa menikmati indahnya pertumbuhan hidup. Tinggal pada-Nya kita bersandar ketika seluruh yang duniawi adalah kehampaan yang menyiksa, bukan ?!!. Walau begitu BENCANA BUKAN TAKDIR saudaraku !!.
* Wakil Sekjend PB PMII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar