Kembali ke Halaman Utama

Kembali ke Halaman Utama
Klik Gambar ini

Minggu, 24 Agustus 2008

KEMARAU NILAI POLITIK

Kuatkan Posisi Tawar Rakyat

Oleh: Daniel Kaligis

SUDAH kita mendengar janji kekuasaan. Segelintir tanya tentang ekonomi kerakyatan yang cuma jadi bumbu politik. “Dalam tahun 2009, kebijakan dana alokasi khusus akan di-prioritaskan antara lain untuk; pertama, menunjang percepa-tan pembangunan sarana dan prasarana di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil, daerah per-batasan darat dengan negara lain, daerah tertinggal dan ter-pencil, daerah rawan banjir dan longsor; dan kedua mendorong penyediaan lapangan kerja, me-ngurangi jumlah penduduk mis-kin, serta mendorong pertum-buhan ekonomi di daerah,” kata pemimpin kita tentang kebijakan pembangunan daerah. Mimpi kesejahteraan yang sekian lama ditunggu, namun larut oleh se-jumlah persoalan, termasuk soal perpolitikan di negara ini. Rak-yat berpolitik seperti arus, me-ngikut alir dari hulu menuju laut lepas glabalisasi yang meng-hantamkan gelombang pasang yang sudah pasti tak dapat ditang-kis pilar-pilar yang tersisa di tata-ran rakyat. Politik juga sering ber-pakaian apik dan mewah, namun pernah juga berdandan semraut, pakai topeng laksana badut.

Sekian lama sistem yang kita anut menjadikan ideologi negara sebagai alat untuk mengobrak-abrik dan melumpuhkan potensi politik masyarakat sipil. Kekuatan oposisi setengah hati bermuncu-lan dari kalangan purnawirawan militer dan pengusaha. Kalangan mahasiswa dan pekerja pun me-ngorganisasi diri dalam rangka me-nentang sistem. Namun hampir semua dapat disapurata, dan membekas di sisa generasi yang gagal berpolitik dan hanya menja-di pecandu hutang, penggila dan pecandu kursi kekuasaan belaka.

Perpolitikan di wilayah rakyat da-tang bagai musim. Bila hujan, ia membanjir dan berlumpur, bahkan boleh jadi merontokkan gundukan yang sekian lama tegak tandus. Kalau kemarau tiba, ia aus dan kering. Perpolitikan menelantar-kan banyak realita dan membiar-kan banyak pesertanya jadi tum-bal, ramai dan lenggang, sepi lalu marak lagi, seperti permainan di masa kanak-kanak yang menyisa-kan malam untuk beristirahat dan berganti muka, agar boleh bangun dengan senyum dan tawa atau bermuram durja karena belum habis mimpi yang tak dimengerti.

Terminologi “koalisi” sekali waktu pernah dituduh berpotensi mengancam demokrasi, karena kepentingan rakyat bertabrakan dengan kepentingan elite partai. Padahal koalisi itu adalah keputu-san banyak orang dari beragam institusi. Namun koalisi pun pernah dikritik sebagai sesuatu yang bersifat manipulatif karena suara rakyat telah diwakilkan kepada partai politik. Perpolitikan di mana pun tempat selalu panas, dan barahnya itu dapat membakar hingga ke tataran rakyat paling kecil. Di satu ruang ia jadi misteri.

Lupakan sejenak terminologi itu. Mari masuk dan menyimak perpo-litikan lebih dalam lagi. Haryatmo-ko, seorang penulis, dalam baha-sannya pernah memuat tentang etika politik. Fenomena perpoliti-kan di mana tempat ia menggejala. Sebenarnya tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup yang baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memper-luas lingkup kebebasan dan mem-bangun institusi-institusi yang adil. Definisi etika politik ini mem-bantu menganalisis korelasi anta-ra tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Dalam perspektif ini, pe-ngertian etika politik mengandung tiga tuntutan, yaitu, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain, kemudian ada upaya mem-perluas lingkup kebebasan; dan membangun institusi-institusi yang adil. Tentang etika politik itu, Haryatmoko mengemukakan tiga alasan mengapa hal tersebut jadi penting dibahas. Pertama, betapa pun kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya tetap membutuhkan legitimasi. Legiti-masi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai, hukum atau peraturan perundangan. Di sinilah letak celah di mana etika politik dapat berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation, atau terusik dan protes terhadap ketidakadilan. Keberpihakan pada korban tidak akan menoleransi politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Hal ketiga yang membuat etika politik jadi penting yaitu pertarungan kekua-saan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan mem-bangkitkan kesadaran tentang perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian tidak akan terwujud bila tidak mengacu pada etika politik. Dari tiga alasan ini dapat disimpulkan yang mana etika politik tidak mungkin diabaikan begitu saja.

Ber”etika”kah perpolitikan yang lagi mengalir dan diminati banyak kalangan di negara kita? Bertanya-lah pada sejarah dan catatan yang sudah dianggap usang. Realita berbicara lain tentang perpolitikan yang sering disebut sebagai pu-nya rakyat, namun real memperda-yai dan menenggelamkan banyak keyakinan dan kreasi generasi yang masih tersisa dari kiat gasak habis para penentang. Jalan pan-jang sebuah peradaban yang runtuh dari sebuah realita tak ter-bantahkan di ranah sebuah sistem perpolitikan sebuah negara berna-ma Indonesia, di mana dalam wak-tu yang sekian lama, episode pe-nistaan rakyat dibungkus kesatu-an maya. Lalu menderas teriak ketidakadilan meremukcabikkan waktu yang digumuli sistem yang sekian lama bertahta dan men-cekramkan ketidakadilan itu.

Realita yang kita jalani dan dapat kita rasakan di negeri ini yaitu sistem yang terpusat, menguasai, dan mengontrol basis sosial, ekonomi dan politik lewat berbagai cara, lalu poranda. Sesuatu alasan untuk menemu perubahan. Na-mun, perpolitikan masih saja me-nularkan racun lama sebuah sis-tem dan masih merasuk hingga hari ini. Boleh jadi, kita butuh ke-sempatan untuk sekedar menyi-mak sistem dan memberi sedikit sanggahan, supaya kita sama-sama berproses untuk menguat-kan posisi tawar rakyat secara politik. Ada waktu cukup panjang untuk kita berpikir, merenungkan kembali, sembari menunggu ke-putusan politik terpilihnya seorang pemimpin di tahun akan datang, yang juga, secara politik, sudah pasti, ia akan menentukan posisi tawar rakyat, susah atau senang.

Penulis, Redaktur Senior SKH Swara Kita

Tidak ada komentar: