Kembali ke Halaman Utama

Kembali ke Halaman Utama
Klik Gambar ini

Minggu, 17 Agustus 2008

Dan Revolusi Budaya Itupun Masih Berlanjut

Catatan singkat aktifitas Mawale Movement

Oleh: Andre GB*

Dunia harus paham dan pada akhirnya harus mengakui bahwa sentralisme dan homogenisasi yang sementara mereka lakukan sedang menemui kegagalannya. Pekerja-pekerja seni muda di seantero Sulawesi Utara dan Gorotanlo yang tergabung dalam Mawale Movement kemudian mampu membuktikan diri bahwa ini adalah gerakan budaya sistematik yang kemudian menyebar dan sedang merambah luas di daerah sebaran bahasa Malayu Manado yang tersebar dari Miangas (Nanusa) sampai ke (Gorontalo). Gerakan seni yang memuat kampanye-kampanye budaya yang mau tidak mau telah mengeser meski sedikit peta kebudayaan yang selama ini dalam teritori klaim orang ataupun golongan tertentu.

Dan di Manado sendiri yang kemudian secara sepihak menahbiskan diri sebagai kota yang menjadi pusat seni di Sulawesi Utara, ternyata juga ikut terseret dengan besarnya gelombang salju yang menggelinding karena kesadaran yang ternyata lebih masif meluas di daerah luar daripada Manado sendiri. Jujur, yang lebih banyak bertambah dan meluas di Manado adalah berdirinya puluhan mall-mal baru di sepanjang sisiran pantai Boulevard dan makin banyaknya kemiskinan mewabah akibat kesenjangan sosial, kebijakan politik yang tidak memihak, sistem ekonomi yang kini terbukti gagal, demokrasi yang ternyata di kemudian hari bukanlah jawaban mendasar dari berbagai masalah ini dan kesalahan analisa dan pembacaan peta budaya oleh orang-orang yang mengaku paham dan mengerti benar tentang masalah kebudayaan itu sendiri.
Ruang apresiasi seni juga tak kunjung membaik karena pada kenyataannya, selain gagalnya institusi/lembaga kesenian bentukan negara tak lepas dari kegagalan secara proses kreatif inovatif dari para pekerja seni “tua” yang berada di Manado. Berbagai ruang kreasi kemudian dibelenggu dengan semangat kompetisi/perlombaan yang lebih menekankan pada menang kalah, bukan pada nilai positif eksperimental, nilai revolusioner atau proses menuju penciptaan hasil kreatif di kancah seni. Berbagai kejuaraan dan lomba diadakan dengan jumlah peserta yang makin banyak namun ternyata tak diiringi peningkatan kualitas kesenian itu sendiri. Festival yang kemudian kehilangan makna sejatinya sebagai pesta seni terlanjur diperkosa oleh pemaknaan destruktif dari kelangan-kalangan yang sok tahu dan konservatif yang salah kaprah dalam teori maupun praktek keseniannya.

Berbagai lomba dan kejuaraan dibidang kesenian telah silih berganti diadakan. Namun ekses positif dengan meningkatnya iklim apresiasi masyarakat terhadap seni itu justru makin mundur ratusan tahun kebelakang. Belum juga ditambah dengan penyakit akut para pekerja seni yang terlanjur terkooptasi dengan semangat komersialisasi dan akumulasi. Seni kemudian dijadikan komoditi untuk mencari keuntungan lipat berganda dan meninggalkan landasan sejati dari hadirnya sebuah kesenian. Sungguh ironis ketika begitu banyak lomba-lomba kesenian yang berlangsung, namun jumlah pekerja seni semakin menipis. Yang makin marak justru adalah para pekerja seni dadakan. Banyak kelompok seni dadakan, tahunan, ataupun kelompok seni proyek. Kalaupun masih ada pekerja seni yang bertahan dari gempuran ini, kebanyakan justru gagap dengan perkembangan dan inovasi karena tak mempunyai kebesaran hati untuk mengakui bahwa dialektika seni di Sulawesi Utara terdesak mundur jauh kebelakang.

Sekarang, banyak pekerja seni yang akhirnya tidak mampu mempertahankan diri dan memilih perkerjaan sambilan, entah sebagai makelar politik, ataupun makelar kesenian itu sendiri. Dari segi material karya, masyarakat yang telah dihadapkan dengan sistem penerbitan mayor yang elitis, akumulatif, menindas dan anti humanisasi ikut dihajar dengan kesombongan pekerja seni yang membangun kastil-kastil megahnya, namun tak mampu sekedar memberi sekerat roti kepada orang yang kehilangan arah.

Gerakan Sastra Malayu Manado yang adalah anak kandung dari gerakan counter culture Mawale Movement telah membuktikan bahwa segala kemungkinan itu belum mati. Kemajuan tetaplah sebuah keniscayaan. Terakhir adalah berdirinya sebuah sanggar seni bernama Bukit Berbunga di kelurahan Lewet Amurang di kbaupaten Minahasa Selatan. Dan ini belum akhir. Tanggal 14 telah diluncurkan sebuah buku kumpulan puisi berbahasa Malayu Manado berjudul Jongen Spoken karya Chandra Dengah Rooroh yang berasal dari desa Treman Minahasa Utara. Kemudian disambung di bulan ini masih ada pementasan musikalisasi puisi dengan tiga genre sekaligus (blues, hip-rock, dan reggae) tanggal 16 Agustus di Aula Tunas Karya Tomohon. Lalu tanggal 24 Agustus akan ada peluncuran buku berjudul Mimpi Anak Negeri karya Altje Wantania di Tondano kabupaten Minahasa. Itu hanya agenda bulan Agustus saja. Beberapa waktu yang lalu, 4 orang pekerja seni Mawale Movement (Huruwaty Manengkey, Patricia Picauly, Andy dan Dean Kalalo) berangkat ke Jambi untuk mengikuti perhelatan Pekan Seni Mahasiswa Nasional (PEKSIMINAS). Dan masih banyak lagi kegiatan yang telah berlangsung di waktu-waktu yang lalu.

Dan tidak hanya dengan membukukan karya sebagai solusi tunggal mempublikasikan karya. Lewat dunia maya/cyber, di situs Sastra Manado (sastramanado.co.nr), Sastra Minahasa (sastra-minahasa.blogspot.com), Sastra Gorontalo (sastra-hulondalo.blogspot.com), Pinawetengan Muda (pinawetengan-muda.blogspot.com) dan masih ada lagi berbagai galery karya pribadi dari beberapa orang (yang bisa anda lihat link-nya di blog-blog di atas) hampir semua karya-karya sastra dipublikasikan kepada dunia. Pengunjung yang datang dan mengunjungi situs dan berbagai blog inipun tak hanya datang dari Sulut-Gorontalo saja, tapi dari berbagai belahan dunia. Mawale Moement membangun sendiri jaring-jaring kesenian dengan semangat kemandirian. Membuktikan bahwa usaha serius dan konsisten pasti akan membuahkan hasil.

Yang saya tuliskan bukan untuk menyombongkan diri. Tidak. Ini hanya upaya kecil untuk memberikan ruang apresiasi kepada semua orang muda yang telah memberikan waktu, tenaga, dan sumbangan materi dari kantong pribadi hanya agar kesenian di Sulawesi Utara dan Gorontalo tak surut. Kerja-kerja dengan nafas kebersamaan yang berlangsung dalam kesadaran bersama, bukan karena paksaan. Karena kami yakin bahwa membangun kesenian secara tulus adalah sebuah jalan lain membangun kebudayaan. Lagipula yang kami lakukan hanyalah sebuah invesatasi kecil untuk hari esok. Yang jelas, kami telah memulai dan masih terus bergerak tanpa menutup diri. Kami percaya bahwa tanggung jawab membangun peradaban adalah tanggung jawab bersama. Dan dengan semangat IDENTITAS, KREATIFITAS, KONTEMPORERITAS, kami akan terus mendorong maju kereta Mawale Movement sejauh mungkin. Dan karena kami berbuat meski minimal, maka akan sangat wajar jika kami berteriak : SO TORANG NO TU BAROL!!!

*Penulis adalah sastrawan, Pemred MAWALE: Jurnal Sastra Manado

Tidak ada komentar: