Sebuah Usaha Melanjutkan Pemikiran Sam Ratu Langie
Oleh: Denni Pinontoan
(Disampaikan pada diskusi terbuka bertajuk “Sam Ratu Langie, Siapa yang Melanjutkan?” yang diselenggarakan oleh Gerakam Minahasa Muda (GMM), Selasa, 11 November 2006 di Hotel Tou Dano, Tondano - Minahasa)
I. Tantangan Kita
Sejumlah pertanyaan tentang eksistensi Orang Muda Minahasa dan manusia Minahasa pada umumnya dalam pergaulan nasional, baik soal gerakan dan pemikirannya beberapa waktu terakhir ini kembali mengemuka. Pertanyaan ini bukan tanpa alasan yang rasional. Sebab, sebagai sebuah bangsa yang terkenal cerdas dan berani, tentu ketika suara-suara dari Minahasa hampir tidak lagi terdengar di level nasional bahkan internasional, maka ini tentu memunculkan pertanyaan. Soal siapa bangsa Minahasa tempo dulu, seorang jurnalis sekaliber Rosihan Anwar, yang waktu itu pemimpin Harian Pedoman dan Mingguan Siasat Djakarta, dalam Ipphos Report tahun 1949, memuji Minahasa dengan berkata, ”Satu-satunya daerah agaknya juga diseluruh Indonesia yang ketjerdasan penduduknja rata-rata sangat tinggi adanja.”
Meski memang kedatangan bangsa Barat yang bersamaan dengan Kekristenan pada abad 16 (Portugis dan Spanyol) dan setelah itu Belanda telah menggeser sejumlah sistem nilai budaya Minahasa, tapi karena kecerdasannya, maka invasi politik itu bisa dimanfaatkan oleh orang Minahasa untuk membangun peradabannya. Karena itulah sehingga pendidikan modern yang diperkenalkan bangsa Barat itu bisa membuat kecerdasan orang Minahasa semakin meningkat. Dari tanah Lumimuut-Toar inilah kemudian dikirim guru-guru ke sejumlah pelosok daerah. Bahkan dari Tanah Minahasa inilah lahir seorang Sam Ratu Langie, pemikir dan tokoh pergerakan Indonesia. Dari tanah inilah lahir juga sejumlah generasi yang pernah duduk di kabinet Orde Lama dan beberapa di antaranya di zaman Orde Baru. Dan sejumlah kenangan kejayaan bangsa Minahasa yang bisa kita tambah lagi.
Tapi, kejayaan-kejayaan itu agaknya hampir menjadi kenangan indah untuk hanya menjadi bunga tidur bagi generasi Muda Minahasa kini. Fenomena terkini yang bisa kita lihat, anak muda kita lebih gampang ber-loe gue, dari pada ber-makatana. Atau kenapa kemudian para keke-keke yang cantik dan pinter-pinter itu lebih dikenal sebagai wanita penghibur di club-club malam di Papua atau di pulau Jawa, bahkan yang lainnya menjadi korban trafiking? Dan lebih dari pada itu, kenapa kemudian para generasi muda lulusan perguruan-perguruan tinggi terbaik di Tanah Minahasa dan atau bahkan dari luar negeri yang menguasai disiplin ilmunya masing-masing tampak tak berselera untuk menjadi pelopor bagi sebuah pembaruan dan kebangkitan massal di Tanah Minahasa? Bahkan barangkali beberapa di antaranya akhirnya menjadi kaki tangan rezim di Jakarta untuk melemahkan semangat ke-Minahasa-an. Mereka lebih suka memakai bahasa politik rezim di Jakarta, ketimbang bersikap kritis terhadap banyak yang hal yang mengancam identitas Minahasa dengan semangat dan spirit ke-Minahasa-an. Ini barangkali beberapa persoalan yang ada di hadapan kita sebagai gambaran betapa Minahasa kini telah menjadi sangat jauh dari kejayaannya masa lalu. Tapi, untuk suatu kebangkitan, tentu kita tidak perlu mengulang dan memoleas-moles masa lalu itu, melainkan terpenting adalah melakukan sebuah pembaruan pemikiran dan gerakan untuk sebuah lompatan yang jauh ke depan.
Tapi, menurut hemat saya, persoalan-persoalan ini, tidak sekali jadi. Dia terjadi secara sistematis dalam waktu yang cukup panjang. Ada 3 faktor yang bisa saya rangkum sebagai penyebab dari kebuntuan peran Tou Minahasa pasca era kolonial Belanda, yaitu: 1). Sentralisme kekuasaan negara; 2). bersamaan dengan itu semakin menguatnya gerakan sektarian kelompok agama tertentu, 3). Dan terakhir semakin berwujudnya globalisasi ekonomi dalam bentuk pasar bebas (liberalisme pasar)
1. Sentralisme Kekuasaan Negara
Sentralisme kekuasaan negara, pertama-tama sebenarnya terjadi di wilayah politik, yaitu sejak UUD 45 kita memfinalkan sistem kesatuan (NKRI) untuk Tata Negara Indonesia. Tapi ini kemudian berdampak juga pada sentralisme di bidang ekonomi, dan bahkan budaya. Dengan sistem yang sentralistik ini, cara pikir akhirnya harus berkiblat ke pusat, begitu juga dengan sumber daya alam daerah yang di masa-masa orde baru sebagian besarnya di angkut ke pusat. Sistem yang sentralistik ini telah menyebabkan rezim yang korup dan terberangusnya nilai-nilai budaya lokal. Dan, sistem yang masih di anut oleh Indonesia sampai sekarang ini seolah-seolah sedang melanjutan hegemoni dan imprealisme bangsa Barat di masa kolonial.
Terkait soal dampak pada masyarakat adat, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan pada peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia 9 Agustus 2007 silam menyebutkan tiga persoalan besar yang dihadapi masyarakat adat. “Pertama, berlangsungnya kolonisasi di wilayah masyarakat adat dan sangat sarat berbagai kepentingan. Kedua, masyarakat adat juga mengalami eksploitasi sumber daya alam, mengingat sumber kekayaan seperti hutan dan bahan tambang berada dalam wilayah tanah adat. Ketiga, masyarakat adat mengalami pemaksaan nilai-nilai. Ada nilai-nilai global yang merampas nilai-nilai mereka. Masyarakat adat, misalnya, dipaksa untuk menyangkal kepercayaan yang dianut sejak lama dan memilih satu dari lima agama yang diakui di Indonesia.” (Kompas, Jumat, 10/8/2007). Sementara Sekretaris Bersama Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh Budi Arif menyebut sejumlah kebijakan pemerintah pusat yang telah menghancurkan kearifan lokal dalam membentuk struktur sosial dan pemerintahannya (Kompas, 23 Maret 2007).
Persoalan-persoalan ini juga terjadi pada masayarakat adat Minahasa selama berpuluh-puluh tahun ini. Sudah bergeser sejumlah sistem nilai budaya Minahasa akibat kolonialisme Belanda, diperparah lagi dengan hegemoni dan dominasi kekuasaan negara yang sentralistik itu selama orde lama, orde baru bahkan masih berlanjut hingga sekarang. Makanya sekarang ini telah sangat jarang Tou Minahasa yang melakukan aksi dan gerakannya dengan berpijak pada kearifan lokal Minahasa. Kita bahkan telah dipaksa untuk menyembah nasionalisme Indonesia yang sangat Jawanistik yang feodal. Sekarang pun, partai politik yang banyak itu tidak lebih dari sebagai alat hegemoni negara untuk membius kesadaran kita agar tak lagi berpikir dan bertindak lokal. Sehingga perlu barangkali didiskusikan lebih lanjut tentang wacana partai lokal untuk membendung arus politik yang hegemonistik itu. Dalam kondisi inilah perlu kembali ada usaha pencarian dan penggalian identitas Minahasa yang fungsional menghadapi sejumlah kebuntuan itu.
Tapi kita barangkali akan berkata, “Sekarang ‘kan telah diterapkan sistem desentralisasi lewat otonomi daerah?” Ya, benar! Tapi, desentralisasi pun tidak lebih dari sebuah usaha resentralisasi. Henk Schulte Nordhot dan Gerry van Klinken ketika menulis pendahuluan dalam buku Politik Lokal di Indonesia (Jakarta: 2007) agaknya harus mempertimbangkan pendapat para pengamat lain yang menyangkal optimisme terhadap desentralisasi. Seperti dituliskan mereka, desentraliasi itu tak akan berhasil karena usaha ini berhadapan dengan apa yang mereka sebut: ”...sabotase birokratis, politik kekuasaan yang korup, oportunisme jangka-pendek, dan tiadanya kesamaan visi yang luas tentang masa depan.” Sementara meski setuju dengan desentralisasi, tapi Francis Fukuyama mengingatkan untuk juga mewaspadai resiko yang muncul daripadanya. Menurut Fukuyama, pendelegasian otoritas kepada pemerintah pusat ke pemerintahan lokal di negara-negara berkembang sering kali penguatan para elit lokal. Ini memungkinkan elite lokal untuk terus memegang kendali atas berbagai kepentingan mereka tanpa ada kontrol dari luar (Fukuyama, Jakarta: 2005, 92).
Dalam logika berpikir seperti ini, pemekaran daerah yang menurut saya merupakan salah tafsir atas kebijakan desentralisasi (pembagian kewenangan) barangkali perlu dipertimbangkan lagi. Pemekaran daerah pada akhirnya hanya memunculkan sejumlah persoalan baru, antara lain semakin mewabahnya praktek korupsi oleh elit-elit lokal, dan juga pada banyak hal mengancam kesadaran dan persatuan kultural kita bangsa Minahasa. Namun, kalau kita masih menaruh harapan dengan desentralisasi dan otonomi daerah barangkali perlu juga kita diskusikan lebih lanjut tentang wacana Provinsi Minahasa Raya yang telah diwacanakan oleh sejumlah kalangan di Minahasa sejak awal tahun 2000-an lalu.
2. Gerakan Sektarian Kelompok Agama
Kondisi bernegara yang sentralistik seperti yang digambarkan di atas seolah-olah selalu menyediakan ruang bagi menguatnya gerakan sektarian kelompok dalam Islam yang sejak negara ini terbentuk tahun 1945 lalu sangat getol memperjuangkan syariat Islam menjadi ideologi negara. Agaknya, usaha sejak tahun 1945 itu tidak kemudian selesai ketika Pancasila sebagai dasar negara menjadikan Indonesia bukan sebagai negara agama dan juga bukan sebagai negara sekuler. Tapi ternyata semangat kelompok Islam konservatif di masa pra kemerdekaan terus berlanjut hingga sekarang di kalangan kelompok Islam yang fundamentalis. Terakhir kita dikejutkan dengan pengesahan UU Pornografi yang kontroversial itu.
Selain kita memang selalu dibuat was-was dengan gerakan kelompok Islam fundamentalis yang konservatif untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasar syariat Islam, tapi juga lebih pada itu, kita masih harus selalu waspada dengan aksi brutal para terorisme kelompok radikal Islam. Meski Minggu (9/11) dini hari tiga orang teroris telah dihukum mati, tapi barangkali kita belum yakin kalau terorisme di Indonesia sudah berakhir.
Persoalan menguatnya sektarian kelompok agama ini, secara langsung tentu telah berdampak pada kehidupan sosial dan politik kita. Kosentrasi berpikir untuk membuat pembaruan pemikiran dan gerakan bagi Tanah Minahasa dalam konteks Indonesia tentu sangat terganggu dengan adanya persoalan tersebut. Barangkali, selain kita tetap berharap ketegasan dari aparat untuk menyikapi persoalan kekerasan akibat menguatnya paham-paham yang sektarian kelompok keagamaan itu, ini juga tentu bisa menjadi semacam evaluasi dalam model beragama kita semua. Bagaimanapun primodialisme keagamaan yang sempit menjadi ancaman besar bagi pluralisme Indonesia.
3. Globalisasi
Perubahan politik dan ekonomi dunia bagaimanapun sangat berpengaruh pada kehidupan bernegara dan lokalitas kita. Sebagai negara berkembang, Indonesia rupanya masih terjebak pada politik ekonomi negara-negara kapitalis. Ini terjadi karena sistem negara yang diterapkan selama ini keliru sehingga negara menjadi lemah menghadapi gempuran kapitalisme global. Coba kalau Indonesia yang terdiri dari bangsa-bangsa ini menerapkan prinsip negara persatuan¸ yang sejak dari berdirinya telah memberi otonomi penuh pada masing-masing daerah barangakali kondisinya tak akan separah seperti sekarang ini. Logikanya, negara akan menjadi kuat kalau daerah-daerahnya kuat pula. Begitu juga daerah akan menjadi kuat kalau desa-desanya sebagai komunitas masyarakat adat juga kuat karena negara tidak menjadikannya murni sebagai komunitas politik.
Istilah globalisasi yang ramai dibicarakan sekarang terutama menunjuk pada semakin terglobalnya masyarakat dunia yang diakibatkan runtuhnya tembok-tembok pemisah antar negara dan bangsa dengan adanya kemajuan teknologi informasi serta pasar bebas (liberalisme).
Globalisasi, meski memang mengancam pada kehidupan kita di sini, antara lain karena pasar bebas yang menyertainya, tapi bagaimanapun dia adalah sesuatu yang tak bisa ditolak lagi. Yang harus kita lakukan adalah memaknai fenomena ini secara cerdas dengan memperkuat persatuan kultur kita. Faisal Basri ketika menuliskan kata pengantar dalam buku karya Thomas L. Friedman, The World is Flat, terjemahan dalam bahasa Indonesia mengatakan, globalisasi yang merupakan keniscayaan itu, tak semua aspeknya harus kita hadapi secara pasrah. Basri kemudian merujuk pada potensi-potensi lokal sebagai antara lain kekuatan dalam menghadapi globalisasi.
Salah satu yang menjadi ancaman dari globalisasi adalah pasar bebas. Pasar bebas atau liberalisme telah membuat negara-negara di dunia ketiga harus tunduk pada kekuatan pasar global yang dikuasai oleh negara-negara maju yang kapitalistik seperti Amerika. Para kapitalis dalam negeri maupun perusahan-perusahan transnasional yang sangat sulit dihadapi oleh negara kita, terus saja melakukan aksinya mengekploitasi sumber daya alam negara ini dan tak hentinya menjajah kehidupan rakyat kecil. Sementara pembangunan yang digalakkan agaknya bukan untuk rakyat, tapi hanya untuk mereka sendiri saja (para elit itu). Krisis ekonomi di tahun 1997 sepertinya menggambarkan kepada kita kegagalan pembangunanisme yang digalakkan oleh negara (lihat tulisan Mansour Fakih dalam Jurnal Wacana Edisi 2 tahun 2000, hal. 3.). Setelah sadar dengan kegagalan itu, negara-negara di dunia ketiga, hampir terpesona dengan globalisasi yang telah melembaga sejak tahun 1994, ketika ditandataganinya perjanjian pedagangan bebas di Marrakesh, Maroko. Tapi, bagaimanapun globalisasi bukan hanya ancaman tapi juga mengandung peluang.
II. Melawan dengan Gerakan Kultural: Bangkit dengan Spirit Sam Ratu Langie
Gerakan kultural yang saya maksudkan adalah gerakan pembaruan pemikiran dan aksi dalam melawan berbagai ancaman yang berpotensi menaklukan identitas kultur yang berpijak dari spirit dan semangat kearifan budaya Minahasa. Yang dimaksud dengan kearifan budaya Minahasa tentu tidak secara harafiah hanya menunjuk pada waruga, maengket, kabasaran, mazani dan sejumlah artefak kebudayaan Minahasa lainnya, tapi lebih kepada sistem nilai, kesadaran intelektual dan komitmen diri yang diperoleh dari kerja interpretasi terhadap Minahasa secara utuh.
Hampir mirip dengan logika berpikirnya Basri, menghadapi semua itu (maksudnya tiga persoalan besar yang diuraikan di atas), Mansour Fakih dalam Jurnal Wacana Edisi 2 tahun 2000, menguraikan trend gerakan kultural dalam menghadapi globalisasi. Thomas L. Friedman dalam bukunya The World is Flat (2006), juga mengatakan, meski ketakutan banyak orang globalisasi berbahaya terciptanya keseragaman global, namun dia berkeyakinan bahwa globalisasi lebih berpotensi untuk menumbuhkan suburkan keanekaraman yang ada di masing-masing kebudayaan. Kenapa bisa begitu? Salah satunya, menurut Friedman, karena perkembangan teknologi informasi, misalnya internet yang menyediakan fasilitas bagi masyarakat dunia yang ada di lokalnya masing-masing untuk meng-upload pemikiran, karya tulis, dan opininya yang bersifat lokal tapi menjangkau dunia global. Friedman kemudian memberi contoh India dan China yang bisa memaknai globalisasi secara bijak dengan berangkat dari kesadaran kulturnya.
Tapi, tak hanya untuk menghadapi globalisasi, gerakan kultural juga ampuh melawan sentralisme kekuasaan negara dan bahkan paham sektarian kelompok agama tertentu. Sam Ratu Langie bersama sejumlah tokoh pemikir di Indonesia Bagian Timur, di tahun 1945, ketika UUD 45 akan diresmikan untuk dijadikan sebagai dasar hukum Indonesia, dengan kesadaran kulturalnya memberikan penegasan untuk menolak bergabung dengan Indonesia kalau Piagam Jakarta dipakai dalam UUD. Aksi ini berhasil! Piagam Jakarta tidak jadi dipakai, meski ternyata bagi kelompok konservatif Islam masih menganggap itu hanya untuk menunda cita-cita mereka.
Maka, gerakan kultural agaknya masih menjadi pilihan tepat dan jitu untuk usaha melawan semua usaha pemberangusan identitas Minahasa. Dr. GSSJ Sam Ratu langie (5 Nopember 1890 - 30 Juni 1949), barangkali bisa kita sebut sebagai salah satu anak keturunan Lumimuut-Toar yang merepresentasi nilai-nilai khas budaya Minahasa. Nilai-nilai budaya Minahasa tersebut adalah egaliter, demokratis dan pluralis. Nilai-nilai ini kemudian melembaga dalam praktek dan system nilai mapalus. Semuanya itu terangkum dalam prinsip hidup “Si Tou Timou Tumou Tou”.
Sam Ratu Langie lahir dan menemukan banyak inspirasi tentang makna hidup di Minahasa, sebuah masyarakat adat yang demokratis dan egaliter. Budaya Mapalus yang masih tumbuh subur di zamannya memperlihatkan keterbukaan terhadap partisipasi aktif anggota kelompok dalam memikirkan tujuan bersama. Sam Ratu Langie, seperti juga yang disebut oleh sejumlah literatur, akhirnya menjadikan semangat ke-Minahasa-an dalam usahanya mencari makna hidup di dunia yang lebih luas, nasional dan internasional.
Nasionalisme Sam Ratu Langie berproses dari kesadaran pada jati diri bangsa Minahasa yang demokratis dan egaliter. Nilai kekristenan sebagai agama yang dipercayainya, adalah juga unsur penting dalam membentuk karakter dan watak tegas nasionalisme seorang Sam Ratu Langie. Kolonialisme yang adalah musuh besar semua bangsa di nusantara pada masa pra kemerdekaan, memicu Sam Ratu Langie untuk melakukan refleksi terhadap kesadaran berbangsa dan bernegara. Eropa sebagai ruang dan waktu pada zaman itu adalah medan juang Sam Ratu Langie dalam usaha pembentukan intelektualnya yang brilian. Sehingga nasionalisme Sam Ratu Langie dalam wujudnya terakhir dan ini yang kemudian menginspirasikan dia untuk aktif terlibat dalam pergerakan Indonesia merdeka adalah nasionalisme hasil dialektika antara regionalisme Minahasa, kekristenan, Indonesia dan internasionalisme. (lih. B.A. Supit, Melawan Arus: Wacana Federalisme untuk Indonesia, Manado, Yayasan Suara Nurani, 2004, hal. 43-56)
Keunikan nasionalisme Sam Ratu Langie terletak pada keteguhannya pada usaha menjaga identitas diri Keminahasaan, keterbukaanya pada yang lain di bumi nusantara ini, kekritisan dan ketegasan menolak dominasi asing (kolonialisme) dan kepinterannya dalam membaca dan membuat proyeksi perubahan politik internasional. Sam Ratu Langie dalam tulisannya pada harian “Fikiran”, Manado, 31 Mei 1930 dan juga terbitan yang dikelolahnya Nationale Commentaren (26 November 1938) berkata: ”Persatuan nasional dari bangsa Indonesia adalah suatu persatuan politis. Kenyataan ini disadarkan pada kemauan politis yang sukarela untuk membentuk suatu persatuan bangsa dan negara Indonesia yang berdaulat. Dengan mengakui dan menghormati akan perbedaan etnis dan budaya pluralitas bangsa Indonesia yang bersatu dengan segala konsekuensinya...”
Interpretasi terhadap pemikiran dan karya Sam Ratu Langie barangkali bisa kita rangkum pada beberapa nilai, yaitu spirit anti penjajahan, spirit berintelektual (ngaasan) dengan kesadaran sumekolah, dan spirit nasionalisme yang pluralis (nasionalisme yang menghargai kemajemukan, beda dengan Soekarno yang tampil dengan nasionalisme yang intergralistik). Inilah barangkali modal social atau kearifan lokal kita dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman terhadap Minahasa.
Spirit anti penjajahan memang bukan khas seorang Sam Ratu Langie, sebab siapapun manusia itu ketika berada dalam kondisi terjajah, selalu ada usaha melawannya. Tapi, yang khas dari seorang Sam Ratu Langie adalah kesadaran untuk membangun kekuatan dalam melakukan perlawanan. Penjajahan dalam bentuk apapun, termasuk kekuasaan negara yang berpotensi untuk menaklukan identitas kultur Minahasa, harus dilawan. Minahasa adalah bangsa Merdeka, bukan bangsa jajahan, dan sebisa mungkin tak boleh menjadi bangsa penjajah. Gerakan kultural yang hendak kita bangun haruslah berjuang dalam semangat itu.
Spirit berintelektual atau sumekolah adalah kesadaran berpengatahuan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan cerdas dan taktis dalam menyiasati kondisi. Kegagalan yang dihadapi oleh sejumlah kelompok gerakan Minahasa beberapa waktu terakhir ini selain karena tidak kuat berpijak pada kearifan dan semangat ke-Minahasa-an, dan tapi juga karena tidak ber-ngaasan dalam arti cerdas, komit dan idealis memperjuangkan cita-cita. Berintelektual yang dimaksud di sini tentu tidak hanya terbatas dalam pengertian berpengetahuan secara teoritis dari bangku-bangku pendidikan secara formal (misalnya dengan gelar-gelar yang mentereng seperti bergelar Sarjana, Magister, Doktor dan bahkan Profesor), tapi cerdas, berkomitmen dan idealis serta paham pada persoalan yang dihadapi sehingga selalu berusaha membangun strategi untuk keluar dari persoalan itu.
Spirit Nasionalisme yang pluralis, adalah penghargaan terhadap kemajemukan. Nama Minahasa dalam pemaknaannya bahkan adalah pluralisme itu sendiri. Dalam gerakan kultural yang hendak kita bangun, mestinya juga bersemangatkan keberagaman, karena keberagaman sesungguhnya mengandung potensi yang besar dalam menghadapi tantangan dan ancaman. Dan karena memang juga gerakan kultural kita lahir dari refleksi atas usaha penyeragaman terhadap keberagaman oleh paham dan ideologi kelompok tertentu dalam negara ini.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip apa yang pernah dikatakan oleh Sam Ratu Langie di “Fikiran” (31 Mei 1930): “Setiap bangsa yang ingin mempertahankan jati dirinya, harus menghargai warisan suci tradisi dan budaya para leluhurnya; kita harus mempertahankan tradisi dan budaya bangsa Minahasa dengan segenap kemampuan dan semangat, karena semangat itu sendiri tidak lain mengandung tradisi dan budaya Minahasa.”
Tomohon, 9 November 2008